The Reason
Hari ini tepat dua
minggu aku shooting, dan berarti pula hari ini tepat
dua minggu aku mengenal Kiran. Ia masih seperti kelinci yang ingin sekali
bermain kemanapun ia bisa, dan ia masih seperti burung nuri yang ingin selalu
menyanyi selama ia masih memiliki lagu yang ia hafal.
“harusnya
gue gak usah merhatiin dia kan” gumamku pelan agar tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Ya,
seharusnya aku tidak memperhatikan Kiran. Aku sudah bertahan beberapa jam untuk
tak memperhatikannya, namun pertahananku masih lemah. Hari ini Kiran membawa cake dan hampir saja menyuapiku, jika
saja aku tidak melihat Beni yang tengah menatap tajam ke
arahku, mungkin
aku sudah memakan potongan cake yang
ia potongkan.
“Kiran!!!” Aku kembali terganggu dengan
suara-suara yang berhubungan dengan Kiran, ada
apa denganku sebenarnya? . tanpa mempedulikan runtukanku, aku tetap
memandang ke arah suara yang memanggil Kiran. But, it’s impposible.!
“Ardit”
Kiran berlari ke
arah suara yang memanggilnya, ya! Dari jauh pun aku tahu bahwa orang itu adalah
Ardit. Sahabat sekaligus orang yang sangat mencintai Sherly, kecuali aku dan
keluarganya.
Aku tetap
memperhatikan Kiran dan Ardit. Terlalu banyak kejutan dari Kiran, dan semua kejutan
itu membuat aku semakin penasaran. Dia dekat dengan Beni, Sarah bahkan Ardit.
Namun, ia sama sekali tidak mengenal Sherly dan tanpa mengenal, ia berani
membenci Sherly ku. Lagi dan lagi, aku kembali mempertanyakan masalah Kiran dan
Sherly.
“kenapa baru
datang? Aku udah di Jakarta sejak seminggu yang lalu. Kamu lupa? Kamu lupa aku akan ke Jakarta atau kamu lupa sama aku?” Kiran melepaskan pelukannya pada Ardit dan
langsung berkacak pinggang seraya memandang Ardit penuh tanya.
Ah!! Apa yang aku lakukan? Menguping dan mengintip
kegiatan mereka? Oh tidak
tidak… mereka mengobrol di tempat umum, wajar jika ada yang
memperhatikan. Aku
berbicara dalam hati, aku sudah tidak ingin mendengar dan melihat apa yang
mereka lakukan selanjutnya.
Aku kembali
membuka naskahku, mencoba memahami dan menghafal bagianku. Namun sudah beberapa
menit, aku masih saja memikirkan tentang siapa sebenarnya Kiran itu?
Oke, Kiran
membenci Sherly padahal mereka tidak saling kenal. Kiran tidak tahu jika Sherly
adalah adik kandung dari Beni dan Sarah. Kiran mengenal Ardit, dan Sherly
adalah sahabat Ardit. Apa alasan Kiran membenci Sherly itu berhubungan dengan Ardit?
Yaa! Pasti ada hubungannya, tapi apa?
***
Pagi ini aku
datang lebih lambat agar tidak terjadi hal-hal aneh lagi, seperti memberikan
pudding, cake, atau bahkan makanan
masakannya. Semua tentang gadis itu memang sepertinya sangat aneh
dan hari ini aku sedang tidak mood
untuk meladeni keanehannya, tidak ada yang tahu ia akan membawa apa dan
melakukan janji-janji apa lagi.
Baru saja aku
ingin duduk di kursiku, ada sebuah tangan yang membawa cangkir dihadapanku dan
saat aku menoleh, ya! Tepat! Kiran, lagi. Sepertinya gadis ini memang tidak
bisa disingkirkan bergitu saja, kecuali dengan menyelesaikan film ini secepat
mungkin.
“Good
Morning…..” sapanya dengan senyum yang biasanya yang ia simpulkan di bibirnya,
mungkin jika yang melihat adalah Beni atau bahkan Ardit, mereka akan membalas
dengan senyuman yang sama, tapi itu tidak berlaku padaku.
“Hari ini kamu agak telat, aku baru aja membuat secangkir
cappucino, karena aku melihat kamu tidak bersemangat hari ini, jadi kuputuskan untuk
memberikan cappucino ini buat kamu. Minumlah” Aku ingin cepat-cepat menolaknya, tapi
aku ingat bahwa aku ingin menanyakan sesuatu pada gadis ini.
“Thanks” terpaksa aku menerimanya, walau benar apa yang ia
katakan bahwa aku cukup tidak bersemangat hari ini karena acara reality show semalam yang sangat
melelahkan.
Kiran masih
berdiri dihadapanku, aku tahu ia ingin melihatku meminum cappucino buatannya,
maka aku langsung meminum sedikit dan benar saja! Ia tersenyum lebih manis lalu
berbalik dengan senang.
“tunggu!”
panggilku, mungkin ini akan menjadi hari yang paling berisik dalam hidupku,
karena aku akan banyak bertanya pada gadis ini dan tanpa berpikir lagi pasti
gadis ini akan menjawab dengan ribuan kata yang bahkan bisa langsung dijadikan
novel.
“ya? kamu mau mengobrol sama aku?” yap! Tepat sasaran, gadis ini sepertinya bisa
tahu maksud dari gerak gerik orang di sekitarnya.
“duduk” pintaku.
Aku menaruh cappucino buatannya di atas meja. “sejak kapan Lo Kenal sama Ardit?” tanyaku langsung, aku ingin semua pertanyaan
dalam otakku ini cepat-cepat terjawab tanpa basa basi.
“kamu kenal juga sama Ardit? Oh, aku lupa kamu pacarnya Sherly, pastilah
ya kamu kenal” Jawabannya lebih santai dari yang aku kira.
“So, Lo kenal Ardit tapi Lo enggak kenal sama Sherly. itu aneh kan?” tanyaku lagi, walau pertanyaan awalku tidak
terjawab, tapi aku akan berusaha sabar untuk menemukan jawaban dan akar dari
kebencian Kiran pada Sherly.
“Aku kenal
sama Ardit pas aku SMP, dia kakak kelasku waktu itu dan aku juga menyukai
Ardit sejak saat itu”
oke!! Sekarang aku tahu kemana arah pembicaraan ini nantinya. “aku enggak
kenal sama Sherly mungkin karena Ardit enggak pernah ngenalin aku
sama dia” aku
menunggu kalimat selanjutnya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Kiran akan
melanjutkan ceritanya.
“then, kenapa lo benci sama Sherly?” aku menatap matanya kali ini. Aku tahu mata
adalah titik untuk mengetahui orang itu berbohong atau tidak.
“dia itu orang yang dicintai oleh orang yang aku cintai” Kiran
menatap ke atas, seolah memperhatikan awan yang berada di atas kami saat ini.
Tapi, ternyata dia tidak memperhatikan awan, ia seperti ….. menahan air mata
(?).
Aku sudah tahu
alasannya, aku tahu ia membenci Sherly karena menganggap Sherly merebut Ardit
dari sisinya. “Gue tahu sekarang, tapi Lo harus tahu bahwa…..”
“aku harus
menelpon ibuku di Bogor” Kiran langsung berdiri dan berlari sebelum aku sempat
mengatakan pendapatku, ia pergi dengan alasan yang
hampir tidak masuk akal, bukankah setidaknya ia bisa mendengarkan aku bicara
terlebih dahulu, siapa sebenarnya yang mengajarinya attitude, Aish!
***
Genap dua
puluh hari shooting film ini. Untung saja dalam
seminggu hanya 3-4 hari, jika satu minggu full, mungkin kupingku sudah pengang
dengan suara Kiran ini. Tapi mengingat tentang dia, hari ini ia sama sekali
tidak terlihat. aku yakin bahwa hari ini seharusnya aku satu lokasi dengan dia
lagi, tidak biasanya dia datang lebih dari jam 11 siang.
Saat istirahat
makan siang aku putuskan untuk berkeliling mencari udara segar, ya itu mungkin
terkesan naif saat aku penasaran dengan keberadaan Kiran. Aku tidak tahu
mengapa gadis itu tetap membuatku penasaran padahal aku sudah tahu alasan ia
membenci Sherly ku. Perlahan gadis itu menjadi sosok
yang misterius, bukan seperti orang misterius yang terkenal pendiam, namun ia
justru sebaliknya, ia terlalu ceria terlalu hyperactive
tapi itulah yang membuat ia misterius, bagaimana bisa ia tetap bisa ceria
dan tertawa saat bersama orang yang telah menolak cintanya.
Aku berjalan
menuju sebuah danau kecil yang nantinya juga akan menjadi lokasi shooting ku dengan Kiran tentunya. Danau
ini terbilang kecil maka jarang sekali ada orang yang duduk dan menikmati
pemandangan disini, danau ini terbilang sangat biasa untuk menikmati hari yang
cerah. Intinya, tidak ada yang istimewa dari
danau ini.
“Dia..” gumamku
pelan saat aku sadari ada sosok Kiran yang sedang duduk di bawah pohon dengan
menatap ke arah danau. Ia tidak tersenyum seperti yang
biasa
ia simpulkan, ia
melamun, entah apa yang ia lamunkan, namun aku sangat penasaran dengan itu. Diriku
saat ini dipenuhi oleh semua rasa penasaranku terhadap gadis itu, gadis yang
belum genap satu bulan ku kenal.
“Lo..” panggilku seraya berjalan menghampirinya, Kiran mengerjapkan
matanya sekali lalu menoleh dan mendongak melihatku. Tidak seperti saat ia
melihatku beberapa hari kebelakang, tak ada keceriaan di matanya untuk saat
ini, dia hanya menatapku datar dan aku tidak dapat membaca apa yang ia pikirkan
kali ini, aku hanya diam membalas tatapannya, ia
seolah sedang mencerna sesuatu yang tentunya tidak ku ketahui.
“Ngapain
Lo disini? Bukanknya
lokasi ini
digunain buat nanti sore, kenapa Lo udah ada disini? Sebentar lagi kita ada take di tempat sebelumnya. Lo
engga lagi main petak
umpet kan?” saat aku berbicara dengannya aku terus memikirkan alasan yang logis
mengapa ia menyendiri disini dan alasan paling logis yang aku pikirkan adalah
ia sedang bermain petak umpet dengan para kru.
Kiran hanya
melihatku lalu memejamkan matanya beberapa detik kemudian kembali menatapku.
Perlahan ia menarik garis senyum dibibirnya, “kamu mencariku?” headshot!
Tepat sekali pertanyaannya.
“Enggak! Gue cuma lagi berkeliling dan nemuin Lo disni” aku menjawab secepat mungkin dan setegas
mungkin, tidak mungkin gadis ini benar-benar bisa membaca niat seseorang bukan?
“nemuin
aku?” matanya
mendelik menuntut jawaban dariku. Aku yang salah, mengapa aku banyak bertanya
padanya dan menggunakan kata yang tidak tepat. Aku
lupa gadis ini sangat cerdik membuatku kehabisan kata.
“itu..itu maksud
gue, gue ngeliat lo enggak sengaja! Ngapain Gue nyariin Lo!” jawabanku membuat senyum Kiran bertambah manis, ia
tersenyum lebih manis dari sebelumnya dan ini merupakan kesalahan terbesarku
lagi karena membuatnya tersenyum. Aku mungkin
sudah terbiasa dengan senyumannya, namun percayalah bahwa saat ini ia tersenyum
hingga membuatku lupa untuk mengihirup oksigen. Then, Aku hanya perlu menunggu tiga detik sampai ia
berbicara panjang lebar.
Satu.. dua..
tiga..
“hahaha, aku
hanya bercanda Danny! Kenapa kamu jadi gugup seperti itu, haha” Kiran tertawa seperti
biasanya, ia kemudian berdiri dan sedikit mengibaskan roknya yang kotor terkena
rerumputan.
“ayo, bukankah
kita harus shooting ? Pak
Bram bisa
kebingungan mencari kita” Kiran berjalan riang melaluiku. Ia kembali menjadi Kiran
yang ceria, Kiran yang aku kenal beberapa hari kebelakang, melihatnya melamun seperti tadi membuat aku lupa
bahwa ia adalah sumber keributan di lokasi shooting
yang membuatku penat.
Aku berjalan
agak cepat menuju lokasi, berjalan dibelakang Kiran yang sudah tersenyum kepada
semua orang yang ia temui. Mungkin karena sikapnya yang terlalu berisik, Ardit
tidak menyukainya dan lebih memilih Sherly ku.
“Kiran, Danny, kemana aja kalian?”
sesampainya di lokasi, Beni langsung menghampiri kami. Aku baru saja ingin membuka
mulut untuk menjawab pertanyaannya, namun bisa di tebak bahwa kecepatan bicara Kiran
lebih handal dibandingkan dengan diriku.
“Kak
Ben! Danny nyariin
aku dan ngingetin bahwa kami ada take
bersama hari ini, dia baik banget ya Kak?” lantas saja aku langsung menatap tajam ke arah Kiran.
“apa sih
yang Lo omongin? Enggak! Gue enggak sama sekali nyariin dia,
cih! Buat apa!” aku
menjelaskan dengan suara agak keras , gadis ini benar-benar melatih
kesabaranku. Sejak kapan aku mencarinya? Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa
aku tidak mencarinya? Ahh! Menyebalkan!
“Gue senang kalo Lo ngawatirkan Kiran, tapi lain kali Lo harus ngajak Gue nyarinya, takutnya ia justru ngumpet
lagi di korea” Beni sedikit mencibir ke arah Kiran dan gadis itu
justru menekuk bibirnya, ia cemberut mendengar perkataan Beni . Sedetik
kemudian, Beni sudah mengusap lembut kepala Kiran, membelai rambutnya yang
langsung disambut senyuman Kiran. Oh, aku tidak bisa terus berada di dekat
mereka, ini terlalu membuatku mual.
***
Kiran beracting dengan sangat baik, lebih baik
dari semua artis wanita Indonesia yang pernah beradu acting denganku, pantas saja sutradara dan para kru selalu memperlakukannya dengan baik, mungkin takut
jika gadis periang itu akan kabur seperti yang dikatakan Beni
tadi.
Aku sudah berada
di danau kecil tempat aku tadi menemukan Kiran, NO!! Maksudku melihat Kiran, aku bahkan tidak mencarinya
bagaimana bisa aku menyebut itu ‘menemukan’? runtukan dalam otakku mencoba melawan kenyataan yang
aku lakukan dengan logikaku sendiri.
Kiran adalah
kebisingan dalam hidupku, aku tidak suka kebisingan lalu bagaimana aku bisa mencari
kebisingan itu? Tidak mungkin. Aku tidak boleh lupa bahwa aku
adalah Danny yang membenci kebisingan dan tidak suka dengan gadis itu.
“Kiran coba
berdiri di pinggir
danau itu!” sutradara mengarahkan Kiran yang disambut anggukan oleh Kiran. “Danny,
Lo harus berjalan dengan santai seolah Lo
enggak mau bikin dia terkejut
dan bahkan lari, oke?” aku ikut mengangguk mendengar arahan sutradar.
Kiran sudah
berdiri di pinggir danau dan memandang danau itu dengan pandangan kosong,
pandangan itu sama seperti tadi siang saat ia duduk dan memandang ke arah yang
sama. Ia melamun, keningnya yang sedikit
berkerut seperti menandakan ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat membuatnya
pusing dan itu semua benar-benar seperti yang tertulis di naskah, bahkan lebih
baik dari bayanganku.
Aku berjalan
perlahan mengampiri Kiran, butuh waktu sekitar 15 detik sampai aku benar-benar
berada di sampingnya. Perlahan aku menyebut namanya, ia mengerjap sekali lalu
menoleh menatapku, ia harus sedikit mendongak untuk menatap mataku karena aku
lebih tinggi dari dirinya. Pandangannya datar, aku terus berpikir apa yang ada
dalam benaknya? Apa yang ia pikirkan?
Kiran tetap
menatapku dengan wajah yang tanpa ekspresi, sangat datar bahkan terlalu datar
sampai-sampai aku ingin memeluknya agar tidak melihat tatapan itu. Namun,
perlahan Kiran memejamkan matanya beberapa detik, terdengar jelas ia menghirup
nafas dan perlahan menghembuskannya saat ia membuka mata oh! No! ini seperti de javu. Tidak mungkin! Ia seperti Kiran yang tadi
siang aku lihat. Ia tersenyum dan
“cut!!!” suara
sutradara membuatku sadar bahwa beberapa saat yang lalu aku hanya beracting. Kiran membuat ini semua seolah
kenyataan, ia membuatku merasa bahwa ini bukanlah sebuah adegan dari naskah
yang aku hafal.
“Good Job Kiran!
Lo juga Danny!” Sutradara sudah berputar dan kembali membaca naskah film
dan para kru sudah mulai beramburan merapihkan peralatan, karena shooting hari ini sudah selesai.
“Danny! Kamu sangat baik tadi, Merci untuk hari ini” Kiran berdiri dihadapanku dengan
tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Lalu ia menatapku sekilas dan berbalik
pergi.
“wait!!” reflek aku memanggilnya saat punggung gadis itu
perlahan menjauh dariku. Aku benar-benar bodoh!
“ya?” Kiran berbalik dan melihatku, perlahan aku berjalan
kearahnya, ini akan sangat memalukan jika Beni melihatnya, biasanya Kiran yang
akan berteriak memanggilku dan berlari kearahku, namun sepertinya saat ini bumi
sedang berhenti berputar pada porosnya atau bahkan putaran bumi sedang meleset
dari porosnya karena dengan sebuah keajaiban yang entah berasal dari mana, aku
memanggil Kiran dan berjalan ke arahnya.
“Lo
bukannya gak bawa mobil?” pertanyaan yang sangat menjurus, aku sadari itu, tapi aku sedang
malas bergulat dengan logikaku. Aku ingin bertanya apa yang aku ingin tanyakan
dan melakukan sesuatu sesuai keinginanku tanpa memikirkan logikaku terlebih
dahulu.
Kiran memang
belum memiliki manajemen di Indonesia, walau aku tahu bahwa banyak agensi manajemen yang
menawarkan jasa mereka pada Kiran karena salah satu agensi itu adalah agensi
manajemen ku. Jadi, Kiran selalu pergi ke lokasi shooting dengan mengendarai mobil pribadinya dan menyiapkan segala
keperluannya sendiri.
“iya, enggak bawa, bannya tiba-tiba aja kempes tadi pagi dan aku enggak bisa ganti ban mobilku sendiri. Karena itu aku naik
taxi” jawabnya dengan wajah sedikit di tekuk. Seorang gadis tetaplah seorang
gadis bukan? Ia tidak mungkin tetap ceria saat ia tidak sanggup mengganti ban
mobilnya sendiri.
Mungkin Tuhan
sedang meminjamkan hati malaikat padaku karena aku sedang memiliki niat baik
pada gadis bising ini. “ikut Gue, Gue anterin Lo sampe rumah” ucapku seraya berjalan melaluinya, aku harus tetap cool dihadapannya bukan?
“eh? Oh, engga perlu kok Danny, aku bisa naik taxi” ucapnya mengelak dan itu
bertentangan dengan perkiraanku. Aku kira ia akan berteriak ‘bernarkah? Kamu baik sekali Danny, aku akan buatkan cake
untukmu besok’ atau kata-kata lain yang dapat melambangkan kebahagiaannya.
“ini udah malam,
apa Lo enggak takut naik taxi sendirian? You are an actress” Aku berbalik menghadapnya, kumasukan kedua
tanganku pada saku kanan dan kiri yang ada di celanaku.
“apa kamu enggak akan mengerjaiku? Kamu enggak akan bawa aku ketempat yang terisolasi dan gelap lalu ninggalin
aku kan?” Aku
menatapnya tajam setelah mendengar semua pertanyaan omong kosong itu.
“Lo kira Gue ini apa Kiran!!?? Penculik?
Pembunuh? Atau bahkan pemerkosa? Come on!” sontak aku membentaknya dan ia hanya tersenyum
dengan menunjukan gigi putihnya yang berjajar rapih.
Aku kira ia akan
dengan manja meminta dibukakan pintu namun lagi-lagi pemikiranku salah, ia tak
semanja yang aku pikirkan. Dengan tersenyum ia membuka pintu
mobil sendiri dan segera masuk.
Setelah ia
memberi tahu alamat rumahnya, ia duduk dengan manis tanpa bersuara. Aku hendak
menginjak gasku sebelum aku melihat ia belum memasang sabuk pengamannya.
“pakai Shift
belt nya” ucapku.
“heh? Ohh iya” ia mencoba meraih pengait nya dengan tangan kanannya, sepertinya ia kesusahan untuk menarik pengait
itu.
“Lo
itu ya..” aku
memiringkan tubuhku menghadapnya, ku pegang pundak joknya dengan tangan kiriku serta tangan kananku meraih pengait Shift belt nya. Sepertinya memang agak
tersangkut, dalam beberapa detik wajahku dan wajahnya memang sangat dekat, aku
sadar bahwa Kiran sempat memundurkan tubuhnya agar tidak terlalu dekat
denganku.
“sudah, Cuma
kayak gitu aja lo gak bisa?” ucapku setelah selesai mengaitkan sabuk pengamannya.
Aku mungkin
sudah gila, benar-benar gila!. Jantungku berdetak lebih cepat setelah kejadian shift belt tadi, ini tidak mungkin
terjadi padaku dengan gadis bising ini. Dia hanya seorang gadis childish yang membuat duniaku penat, ya…
aku harus menanamkan itu dalam otakku.
Beberapa menit
setelah aku menginjak gas mobilku, Kiran belum juga membuka suaranya. Ia hanya
duduk, menaruh kedua tangannya di pangkuannya, pandangannya lurus ke depan dan
terkadang menengok ke samping kirinya memperhatikan jalanan di kota Jakarta di kala malam hari.
Aku menunggu,
aku menunggunya mengatakan sesuatu. Melihatnya seperti ini justru lebih
membuatku bingung, aneh dan bertanya-tanya, ada apa dengan gadis ini? Apa yang
sedang ia pikirkan? .
“Kiran”
panggilku lirih, gadis itu tidak menjawab, mungkin karena terlalu lirih.
“Kiran” aku
kembali memanggilnya dengan suara yang sedikit lebih kuat. Perlahan gadis itu
menoleh melihatku, ia menengok sebentar menatapnya. Oh! Ya Tuhan, aku tidak boleh melihat matanya! Runtukku dalam hati,
langsung aku kembali melihat ke depan.
“kenapa
diem aja sih?”
tanyaku, aku tidak berani menatap matanya kembali, terlalu membuatku penasaran,
dia bukan Kiran yang aku kenal saat ini.
“kamu manggil namaku?” bukannya menjawab pertanyaanku, ia
justru menanyaiku dengan pertanyaan bodoh.
“Lo pikir siapa yang Gue panggil? Apa ada orang lain di mobil ini?” tanyaku
dengan suara yang super sinis yang bisa aku keluarkan.
“Amazing! Pertama kalinya kamu manggil aku dengan nama” sontak aku menengok ke arahnya
sebentar lalu kembali pada posisi awal pandanganku.
“apa maksud
Lo? Apa Lo sengaja diam dari tadi Cuma buat ngedenger gue manggil nama Lo?” tanyaku lagi, gadis ini mungkin saja memiliki
trik-trik aneh, seaneh sifat dan kelakuannya.
“Enggak, aku cuma sedang berterimakasih sama
kamu karena sudi
mengantarkanku pulang” sontak aku mengerem setelah mendengarkan jawaban gadis
bising ini.
“Lo berterimakasih dengan diam???” tanya ku dengan suara
agak tinggi serta memutar sedikit tubuh ku mengahadap dirinya.
“Ya, bukannya kamu enggak suka sama aku?” jawaban gadis ini membuatku menyipitkan mata, aku
menuntut jawaban yang lebih jelas.
“kamu enggak suka aku berisik bukan? Kamu bahkan enggak suka dengan keberadaanku disekitar
kamu? Maka dari
itu, aku berterimakasih dengan diam, kamu pasti lebih nyaman, iya kan?”
Aku
menggelengkan kepalaku lalu aku kembali menginjak gas mobilku. Tak ingin
menanggapi perkataannya, walaupun ia benar eh, maksudku walaupun ia sedikit
benar, tapi mengapa ia berpikiran untuk diam? Dan ketika ia diam, mengapa aku
justru lebih terbebani daripada ia berisik?
Saat aku ingin
menanyakan sesuatu lagi pada Kiran, ponsel gadis ini justru berdering.
“Hallo mama!”
suaranya terdengar riang dan bahagia.
Aku tidak
mendengarkan percakapan selanjutnya. Mungkin ini
salah satu attitude yang aku dapat
dari sekolah. Ya, walau sedikit-sedikit aku tetap bisa mendengar percakapannya,
tapi itu bukan salahku, dia yang menelpon di mobilku jadi wajar saja
percakapannya bisa aku dengar kan?
“mama
aku” Kiran berkata
seolah ia tahu apa yang akan aku tanyakan, sepertinya gadis ini benar-benar
bisa tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
“Nyokap Lo di
Bogor kan? Bokap Lo? Di Bogor juga?” tanyaku, entah ada apa dalam otakku, semakin
ia memberi tahu mengenai dirinya, semakin aku penasaran dengan semua hal
tentang dirinya.
“Nyokap? Bokap? Apa itu?” tanya Kiran dengan tatapan
bingung. Aku lupa bahwa ia hampir tidak mengerti bahasa gaul Indonesia.
“maksudnya, mama sama papa”
“ ohh,
iyah mama tinggal di Bogor, kalau Papa.. beliau sudah meninggal sejak aku SMP”
“ohh, Maaf,
aku gak bermaksud begitu”
Kiran hanya
tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Aku menoleh menatapnya sekilas, sekarang
aku tahu mengapa para kru sangat menyukai keceriaan Kiran. Saat Kiran bercerita
dengan semangat, Saat ia tersenyum dan berlari, semua orang akan ikut
tersenyum, mereka pasti menyukai Kiran karena ia seakan membawa kebahagiaan
tersendiri. Walaupun aku tidak merasakannya, namun aku tahu, jika Kiran diam,
jika Kiran tidak tersenyum atau bahkan jika Kiran bercerita tanpa semangat,
seolah-olah orang yang melihat dan mendengarnya dapat merasakan kesedihan yang
ia rasakan. Walau aku sebenarnya sulit untuk mengakuinya, namun Kiran yang
berisik lebih baik daripada Kiran yang diam tanpa suara.
“Itu rumahku”
aku tersentak, aku tidak sadar jika ini sudah sampai di komplek perumahan Kiran.
“ohh, oke” aku
memarkir mobilku tepat di depan rumah Kiran. Gadis itu keluar begitu juga
dengan diriku.
“aku tidak tahu
harus…”
“dimana mobil
Lo?” aku memotong
perkataannya
“ya?” Kiran menatapku ragu, “ohh di sana”
Aku berjalan ke
arah yang ia tunjuk, tepat di bagasi mobilnya. Aku menjulurkan tanganku tepat
dihadapan Kiran, ia menatapku bingung. Pertama kalinya aku melihat tatapan itu
dari wajah Kiran.
“kunci” Kataku, Kiran
masih menatapku dengan tatapan bingung. “Kiran! Mana kunci mobil
Lo??” tanyaku
dengan penekanan disetiap kata.
“untuk apa? Apa
yang ingin kamu lakukin Danny?”
“Gue
mau ngeganti ban mobil Lo, Lo ada ban cadangan kan?” kali ini Tuhan benar-benar meminjamkan hati
malaikatnya, ini bisa di catat dalam sebuah buku yang diberi judul ‘keajaiban
Tuhan’.
“ada, tapi ini
sudah sangat larut. Aku bisa menelpon bengkel mobil besok pagi dan nyuruh
mereka menggantinya. Kamu tidak per….”
“berikan
kuncinya sekarang!!” Kiran kaget dan dengan kecepatan tangannya, ia mencari
kunci di dalam tas jinjingnya.
Aku cepat
mengambil kunci mobilnya, segera saja aku membuka bagasi dan mengambil dongkrak
serta ban. Walau aku ini adalah aktor ternama di Indonesia, namun aku tetaplah lelaki yang sudah terbiasa dengan
pekerjaan semacam ini.
Perlu beberapa
menit untuk mengganti ban mobil Kiran. Saat aku sibuk dengan mobil Kiran, sang
pemilik mobil duduk manis di anak tangga lantai terasnya, di depannya sudah
terdapat dua gelas minuman dengan dua kaleng cemilan. Ia memperhatikanku tanpa
bersuara, tanpa aku sadari sejak tadi aku selalu mencuri pandang terhadapnya,
semakin aku tahu alasan ia membenci Sherly, semakin ia membuatku penasaran
dengan kehidupannya.
Aku merapihkan
semuanya, menaruhnya kembali di dalam bagasi mobil Kiran. Perlahan aku berjalan
menghampirinya, ia sontak berdiri dan memberiku minuman.
“merci, kamu sebenarnya enggak perlu ngelakuin itu
Dann” aku
mengabaikan perkataan Kiran dan segera meminum habis jus jerus tanpa es yang ia
berikan.
“kamu mau lagi? Minum aja punya aku, aku belum meminumnya” Kiran menyodorkan segelas
jus jeruk lagi. Aku menggeleng menolak gelas itu, kemudian Kiran sudah
mengambil tissue dan langsung membersihkan peluh yang sudah bercucuran di
kening ku.
Kiran
membersihkan peluhku dengan hati-hati, sangat berhati-hati sampai aku merasa
nyaman dengan sentuhan tissue itu. Aku menatap matanya, sedetik kemudian Kiran
menatapku.
“ohh Sorry” Kiran menurunkan tangannya yang tadi sibuk
membersihkan peluhku.
“sudah larut,
masuk sana” ucapku yang membuat Kiran kembali menatapku. “Gue
mau pulang,
terimakasih untuk minumannya”
“aku yang
seharusnya berterimakasih, Terimakasih Danny” Kiran membungkukan tubuhnya
sedikit.
Aku tersenyum
lalu berbalik ke arah mobilku, cukup melelahkan mengganti ban mobil, aku akan
segera tidur setelah sampai di apartemen. Sebelum aku keluar dari pintu gerbang
rumah Kiran, aku teringat sesuatu dan berbalik melihat Kiran yang masih berdiri
menungguku pergi.
“Ohh,
ngomong-ngomong, sama siapa Lo tinggal?” tanyaku
“hmm? Oh aku
bersama bibi Atiek” jawabannya membuatku tersenyum puas, setidaknya ia tidak sendiri . Oh Tuhan,
apa yang barusan ku pikirkan? Aku mengkhawatirkannya?
“baguslah, Gue pulang…” aku berpamitan dengan kikuk, “oh ya.. kunci
gerbang Lo dengan benar, begitupula dengan pintu dan jendela”
Aku berlari menuju mobilku dan
segera aku menginjak gas dengan cepat, apa
yang sudah aku lakukan? Oh ya Tuhan, mengapa kau meminjamkan hati malaikatmu
begitu lama padaku?

BalasHapusHanya di ICG88.COM dimana kamu bisa mainkan berbagai permainan di HKB Gaming,IDNPLAY, dan Gudang Poker! tentunya dengan inovasi terbaik.gabung dan buktikan sendiri promo dan bonusnya :
Bonus New Member 20%
* Min Deposit IDR 50.000,-
* Max Bonus IDR 300.000,-
* TurnOver 4X TO Termasuk Modal Dan Bonus
* Bonus Di Berikan Di Depan
* Jika Tidak Mencapai Ketentuan Bonus Maka Bonus Akan Di Tarik Melalui Nominal Withdraw
Bonus Deposit Kedua & Selanjutnya 5%
* Min Deposit IDR 50.000,-
* Max Bonus IDR 100.000,-
* TurnOver 5X TO Termasuk Modal Dan Bonus
* Bonus Diberikan Di Depan
Tunggu apa lagi,gabung dan dapatkan bonus serta jackpotnya!
hubungi kami di :
BBM : e3a9c049
LINE: icg88poker
Whattsapp : 081360618788