Bab I
Go Far!
Aku
memandang batu nisan itu tanpa berkedip. Mengenang semua yang telah aku lalui
bersama seseorang yang telah terkubur dibawah batu nisan itu, semua kenangan ku,
semua cintaku, semua kebahagiaanku.
Celana
jeansku sudah kotor oleh tanah yang sejak tadi menjadi tempatku bertumpu. Aku
adalah orang terakhir yang masih berada di pemakaman ini. Seakan aku tak akan
rela meninggalkan malaikat kebahagiaanku pergi, tak rela ia terkubur di dalam
sana tanpa cahaya, aku tidak rela ia sendirian di dalam sana, namun sesungguhnya
aku sangat tidak rela ia tak berada di sisiku lagi, saat ini . . .
“Sherly, kamu baik-baik aja kan? Kamu harus baik-baik ya disana, oke? …” aku memejamkan mataku sejenak, menahan air mata
yang sejak awal pemakaman sudah memaksa untuk menyeruak keluar dari mataku.
“aku janji, aku akan sering mengunjungimu” aku kembali memejamkan mata dan
menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “I
Love You, Sherly”
***
Satu
minggu aku terpuruk dalam kesedihan. Kehilangan seseorang yang sangat aku cintai,
apa sangat menyakitkan seperti ini? Saat inilah
aku merasakan apa itu arti dari kehilangan.
Apapun
yang aku rasakan, aku tetaplah seorang aktor dan harus tetap bekerja sesuai
kontrak yang sudah aku tanda tangani sendiri. Tak akan ada yang peduli tentang
perasaanku, tentang perasaan kehilangan yang baru saja aku alami. Walau banyak
kata simpati yang datang kepadaku, namun simpati mereka, hanya sekedar simpati
basa basi. Karena tak akan ada orang yang mengerti perasaan ini, tak seorangpun
yang belum pernah kehilangan seseorang yang sangat dicintai.
“Danny!”
Aku menoleh ke sumber suara yang tak asing lagi bagiku. Aku tersenyum pada
pemilik suara itu seraya berjalan menghampirinya.
“Ben” sapaku sambil tersenyum seramah mungkin. Dia adalah Beni, kakak dari gadis yang aku
cintai selama ini dan disisinya adalah Sarah, adiknya yang juga merupakan kakak dari Sherly ku.
“Lo udah ketemu lawan main lo, belom?” Beni merangkul pundakku sambil melanjutkan
perjalanan kami menuju lokasi Shooting
yang hanya 50 meter dari tempat kami sekarang, tempat mobil kami di parkir.
Aku memasukan
kedua tanganku pada saku jaket coklat muda pemberian Sherly. “Belum” jawabanku
singkat, mungkin dianggap tak menarik bagi Beni
dan Sarah,
karena terdengar datar dan…. Tak peduli (?).Ya, Aku memang
tidak peduli dengan siapapun aku akan beradu akting saat ini. Aku menerima
pekerjaan ini hanya untuk menenangkan perasaanku, perasaan kehilangan yang
teralalu menyakitkan jika aku hanya diam dan terpuruk di dalam rumah.
“Kak
Beni !!!!” saat Beni
ingin mengatakan sesuatu, suara seorang gadis yang berjarak hanya 10 meter dari
kami membuat kami semua melihat ke arah gadis itu. Gadis dengan rambut
kecoklatan dan panjang, terdapat sebuah pita merah bersimpul di kepalanya.
Gadis itu menggunakan kaos sabrina hitam dan rok mini merah, dipadukan dengan
sepatu casual converse low maroon. Dia berlari secepat yang ia bisa, seolah
tahu apa yang akan gadis itu lakukan, Beni melepaskan rangkulan tangannya dari
pundakku dan merentangan kedua tangannya. Tanpa aku sadari, tiba-tiba saja
gadis itu sudah berada dalam pelukan Beni.
“Kak
Beni, I miss you so
much.. I miss you so bad kak” ucap gadis itu dengan nada yang sangat riang, seolah
ia baru saja menemukan boneka teddy nya yang hilang beberapa tahun. Anak kecil.
Mereka
berpelukan cukup lama dan aku cukup lama pula memandangi mereka berpelukan,
hingga akhirnya Sarah membuka percakapan kembali.
“Ben, kita harus kenalkan dahulu miss sweet itu pada Danny”
aku menoleh ke arah Sarah dengan pandangan menuntut sebuah jawaban. Aku seperti
dijadikan sebuah alasan untuk memisahkan dua makhluk yang sedang melepas rindu.
Aku bahkan tak meminta dikenalkan oleh gadis kekanak-kanakan itu, tidak sama
sekali.
“ohh
yaa” Beni
melepaskan pelukannya dengan gadis berambut coklat itu. Sang gadis memajukan
bibirnya perlahan, ia cemberut.
“Danny kenalkan dia adalah lawan main
lo di film ini, Kiran
Amora Alexandra. Dan Kiran
ku sayang, ini Danny yang kamu tanyain beribu-ribu kali semalam” perasaanku sedikit bangga
mendengar Beni memperkenalkan kami, karena kalimat terakhirnya, bisa saja gadis
ini adalah salah satu fans ku bukan? Tidak salah
bukan jika aku terlalu ‘PeDe’ toh aku memang seorang aktor yang terkenal di
Indonesia.
Gadis
bernama Kiran ini tersenyum dengan sangat manis dan menjulurkan tangannya.
“Namaku
Kiran” setelah
menyebutkan namanya ia tersenyum lagi dengan memperlihatkan sedikit gigi putih
ratanya, aku bukanlah orang yang pandai berbohong, jadi percayalah senyuman
yang terakhir itu sangat sweet.
Baru pertama kali aku melihat seorang gadis dewasa dapat tersenyum semanis itu.
Pengecualian pertama untuk Sherly dan
mungkin ini yang kedua. Tuhan, apa
yang aku pikirkan.
Aku
memandang tangannya sesaat, menimbang apa harus aku berjabat tangan dengan
gadis ini? Tapi aku seharusnya menunjukkan manner ku. Aku pikir ia terlalu childish untuk menjadi lawan mainku di film yang bergenre romance ini walau sempat aku akui, gadis ini manis. Bermain film
dewasa dengan gadis kecil seperti ini? Apa kru film ini sudah gila.?
“kau
ini…” secara tiba-tiba gadis itu menarik tangan kananku dan memaksaku menjabat
tangannya. Oh
My God!
“Nice
to Meet You Danny....,” aku terbelalak melihat tingkahnya yang diluar dugaan, apakah
dia benar-benar seorang gadis dewasa? Berapa usia gadis ini? 17 tahun? 18? Atau bahakan ia
masih di bawah umur, mungkin hari ini adalah awal dari hari-hari ku yang aneh
dan berisik. Percayalah, aku tidak suka kebisingan
dan aku yakin, gadis inilah penyebab kebisingan itu.
Tanpa
menunggu reaksiku, gadis itu sudah melepaskan jabatan tangannya dan langsung
merangkul lengan Beni dengan semangat yang menggebu, seolah ia sudah tidak
bertemu dengan Beni puluhan tahun lamanya dan aku hanya memandang mereka
berjalan bersama dari belakang. Jika ada orang
yang memperhatikanku, mungkin aku sudah seperti pengawal sepasang pengantin
baru.
***
Hari
pertamaku shooting benar-benar
membuatku tercengang dengan tingkah laku lawan mainku. Sepanjang hari ia
berlari kesana kemari, berbicara dengan lincah dan ramah pada semua orang,
membuat semua orang selalu tersenyum bahkan tertawa jika berbicara padanya,
benar-benar seperti anak kecil.
“Danny! Kamu mau gak?” ia menyodorkanku sebuah keripik kentang dengan
bumbu rumput laut yang jelas terlihat. aku memundurkan badanku sedikit, heran
melihat seorang gadis yang sangat hyperactive
bahkan sok kenal seperti dia.
“gak” aku menjawab dengan sesantai dan sedatar mungkin,
agar ia tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan makanan itu dan aku
tidak tertarik sama sekali dengan obrolannya apalagi dengan dirinya.
Gadis
bernama Kiran itu hanya terdiam terpaku setelah jawabanku dan aku langsung
memanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan menjauh darinya. Semakin aku jauh
dari dirinya, semakin aku jauh dari keributan yang terjadi sejak tadi pagi
setelah gadis itu tebar pesona keseluruh kru, semakin aku bisa relax tanpa mendengar keributan yang ia
timbulkan.
Aku
duduk di kursiku, menyandarkan bahu dan kepalaku sejenak. Kegaduhan pagi ini,
akan terus berlangsung samapai film ini selesai, dan kehidupanku akan terusik
selama berbulan-bulan lamanya.
“Danny!”
sentak aku membuka mataku yang sebelumnya sudah terpejam. Tak usah bertanya
suara siapa itu, suara itu sudah terdengar berjam-jam lamanya sejak tadi, Kiran.
“kamu
mikirin apa? Aku
dengar pacar kamu meninggal dunia sekitar seminggu yang lalu, tak usah
heran, Om Toni yang cerita tadi” aku melihatnya dengan tatapan setajam mungkin, namun
sepertinya hal itu bukanlah hal yang ia takuti, ia justru tersenyum semanis
mungkin yang ia bisa lakukan. Gadis ini benar-benar aneh.
Bukankah seharusnya ia merasa ‘tidak enak hati’ atas pertanyaannya.
“tenang
aja, kamu pasti akan menemukan wanita yang lebih baik dari dirinya” sontak aku
menepis tangannya yang sempat menepuk pelan pungggungku dan menatap matanya
yang kaget karena tepisanku yang sepertinya membuat tangannya sakit.
“tak
akan ada yang lebih baik dari Sherly!!!” aku membentaknya cukup keras sampai make up artis yang baru saja lewat
terkejut. Namun, gadis yang menjadi sasaran amarahku hanya menatapku bingung.
Aku melihat matanya bertanya, aku melihat bibirnya bergetar seperti ingin
menanyakan sesuatu. Ia takut atau bingung?
“tunggu, Sherly?” tanyanya,
“Sherly mana?”
Aku hanya diam, aku tidak ingin
terlibat perbincangan panjang dengan gadis ini.
“jawab aku Danny!” suaranya agak
meninggi, membuatku sedikit tersentak.
“Apa Sherly? Apa Sherly yang kuliah
di Universitas Negeri Jakarta? Apa Sherly yang berteman dekat
dengan Ardit Prasetya? Aku cuma mau mastiin kalo dunia
ini memang sempit” sejenak
aku merubah tatapan tajamku menjadi tatapan yang terkejut dengan semua
pertanyaanya. Bagaimana ia bisa menanyakan hal-hal yang semua jawabannya adalah
‘iya’.
“Danny?”
aku sontak tersadar dari ketakjubanku.
“bagaimana
lo tahu semua itu?” pertama kalinya aku bertanya serius pada gadis ini.
Aku kira semua ucapannya hanyalah omong kosong dan dibuat-buat semanis mungkin.
Tapi kali ini, ia menanyakan hal yang membuatku tertarik untuk mengetahui siapa
dia sebenarnya? Gadis ini mulai membuatku bertanya.
“berarti,
Sherly sudah meninggal dunia?” tanpa menjawab pertanyaanku, ia kembali bertanya
seolah tak percaya. Aku semakin penasaran dengan isi pikirannya saat ini, apa
yang ia pikirkan? Dalam beberapa detik terakhir, ia menjadi orang yang 180
derajat berubah, tatapan matanya sangat menuntut tapi bukan hanya itu, ia
seperti…. Menahan air mata (?). Sejak aku melihatnya untuk
pertama kali, dia tidak pernah menunjukan tatapan mata seperti ini.
“ya…” aku menyadari bahwa seketika itu juga Kiran menahan
nafas dan tatapannya lebih terkejut dari sebelumnya, mungkin karena terkejut,
tapi kenapa? “lo kenal?”
Kiran
menatapku, saat ini tatapannya berbeda, bukan tatapan menuntut namun matanya
sendu, seperti ia sedang menahan air matanya keluar. “enggak, aku enggak kenal…” Kiran menarik nafas sejenak mencoba menenangkan
dirinya sendiri, perlahan namun pasti, ia kembali berbicara “aku
gak tahu harus senang, sedih atau bahkan kecewa”
“apa sih maksud lo?” aku bertanya
lagi, gadis ini mengucapkan kata-kata yang tak bisa langsung aku mengerti.
“aku benci sama dia, Dan”
“what?...” aku membelalakan mataku, mencoba menelaah apa
yang selanjutnya akan ia katakan. “lo gak kenal
tapi lo bisa benci, kenapa?” tanyaku lebih jelas, ia pasti mengenal Sherly.
Ia
memejamkan matanya seolah mencari sesuatu dalam logikanya agar ia cepat keluar
dari keadaan ini. Beberapa detik kemudian, ia membuka mata dan tersenyum semanis
yang ia bisa lakukan saat ini, namun tetap saja tidak seperti senyum sebelumnya
“aku harus mengahafal naskahku.. ohh hampir aja aku lupa” Kiran berbalik.
“Lo tahu Sherly itu adiknya Beni?” tanyaku yang tak aku duga membuat
ia kembali menghadapku dan memandang tidak percaya, Ya! Sudah ku duga.
Tak
ada yang tahu jika Sherly adalah adik kandung dari Beni dan Sarah.
Hingga ketika
aku muncul bersama Sherly di rumah sakit, kampus dan rumah Beni. Semenjak
itu para pencari berita terutama gosip menerbitkan tulisan mengenai Sherly dan
dari situ lah diketahui bahwa Sherly adalah adik dari dua artis yang sedang
naik daun, Beni dan Sarah. Mungkin masyarakat Indonesia mengetahui hal itu,
bahwa Sherly
tidak pernah ingin identitas dirinya sebagai adik dari artis yang saat itu
tengah booming, namun untuk Kiran
yang baru saja kembali ke Indonesia, dia seperti balita yang tidak tahu menahu mengenai
semua itu dan hal itu memang tidak terlalu penting untuk ia ketahui seharusnya.
Namun, beda ceritanya jika ternyata Kiran dekat dengan Beni tetapi ia membenci Sherly
yang merupakan adik Beni, kecuali dia tidak tahu mengenai
hal itu.
“percaya
atau enggak, aku gak tahu” sepertinya Kiran sangat terkejut, ini hari pertamanya shooting kembali di Indonesia namun ia tidak tahu apa-apa tentang segala hal yang
sebelumnya terjadi.
Beberapa
detik ia terdiam, ia kemudian kembali tersenyum. “aku kira aku akan lepas dari
bayang-bayang Sherly, namun ternyata semua orang yang sekarang berada di
dekatku adalah orang-orang yang lebih dekat dengan Sherly.” Tanpa ia
menjelaskan lebih lanjut dan tanpa aku bisa bertanya lebih jauh, Kiran sudah
berlari mejauh dari tempatku saat ini.
Dia datang jika ia ingin datang dan
ia pergi ketika ia memang ingin pergi.
***
Tanpa
rasa canggung, Kiran beracting sangat
baik, apa ini acting yang
ia pelajari di korea? Tempat
yang notabennya untuk laki-laki pucat yang joget-joget gak jelas. Namun, Ia dapat merubah karakternya hanya dalam satu kali take, it’s amaze me.
Kiran
menunduk berterimakasih setelah semua adegan selesai untuk hari ini. Masih sama
seperti sebelumnya, ia tersenyum ke semua orang sambil mendoakan mereka tetap
sehat selalu dan bersemangat untuk hari berikutnya.
Gadis itu berbincang sebentar dengan
Beni, lalu perlahan aku melihatnya berjalan ke arahku.
“Danny”
akhirnya giliranku yang di panggil setelah sebelumnya ia mengobrol sebentar
dengan Beni. Ia berjalan dengan riang ke arahku,
tapi Beni tetap memperhatikan Kiran.
“aku
beli ini tadi, satu untuk kamu” ia menyodorkan sebuah minuman kaleng. Dengan
memandang senyumnya yang tidak pudar sejak tadi, aku menerima minuman itu
sambil mengucapkan terimakasih. Yaa,
setidaknya aku masih memiliki hati yang baik untuk tidak menolak pemberiannya
ketika ia memberinya dengan tersenyum
seperti itu.
Kiran
berlari cepat menuju mobilnya lalu berlalu bergitu saja. Ini hari pertamanya,
namun ia sukses membuatku bertanya-tanya. Bukankah seharusnya aku kesal karena
ia membenci Sherly? Mungkin jika ia memiliki sebuah alasan, itu akan dapat
dimengerti, namun mengapa ia bisa membenci Sherly tanpa mengenalnya? Dan
sikapnya sangat cepat berubah, ia seperti bunglon yang dapat berubah warna
dengan cepat sesuai tempat dimana ia berpijak.
***
Kiran
sudah membawa sebuah cup plastik
berisi pudding dan membagikannya keseluruh kru serta pemain dalam film ini.
Saat ini ia sedang berjalan ke arah ku dengan tersenyum. Aku tahu ia ingin
memberiku pudding yang sekarang berada di tangan kanannya.
“ini
untuk kamu” ia menyodorkan pudding itu tepat dihadapanku. Aku melihat bibirnya
yang masih tersenyum, lalu aku melihat matanya yang memancarkan kebahagiaan,
namun apa dia benar-benar bahagia? Karena jika dilihat lebih lama, di dalam matanya
yang bulat, ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“kamu enggak suka pudding ya? Walau ini bukanlah pudding terenak di dunia, tapi
ini benar-benar lezat. Kamu harus mencobanya, ini” ia meraih tangan kananku dan
meletakkan pudding itu tepat di telapak tanganku.
Aku
tidak tahu siapa dia, aku tidak tahu mengapa ia masih bisa ramah terhadapku
padahal kemarin ia seakan mengatakan bahwa ia seharusnya tidak berada di
dekatku lebih lama lagi. Padahal kemarin aku dan dia
membahas hal yang sensitif.
Tanpa aku sadari, Kiran sudah
berjalan memunggungiku. Tidak seperti biasanya, ia berjalan terlalu lambat,
biasanya ia sudah berlari ke sisi Beni. Ia kembali membuatku penasaran, apa aku
harus tanyakan masalahnya dengan Sherly? Walau Sherly sudah tiada, namun
mengetahui ada orang yang membencinya seperti ini, membuatku tidak nyaman.
***
Beberapa hari
aku berbeda lokasi Shooting dengan Kiran,
padahal aku sudah berniat ingin menanyakan masalahnya dengan Sherly. Walau aku
bisa meminta nomor handphone Kiran pada Beni, namun itu terlalu mencurigakan,
bisa-bisa Beni dan Sarah mengira hal yang bukan-bukan. Aku
akan menjadi bahan olok-olokan mereka nantinya, ya mereka selalu seperti itu.
“Danny!” aku
menoleh kesumber suara yang memanggilku. Terlihat sosok Pak
Bram selaku sutradara, beliau berjalan mengahampiriku, aku langsung menjabat tangannya memberi salam.
“ah, Pak
Bram” sapaku.
“ada sedikit
perubahan jadwal dan naskah film. Hanya sedikit, ini” Pak
Bram memberikan
beberapa lembar kertas naskah padaku. Hal yang aneh, biasanya asistennya yang
mengarahkan naskah mana yang di ganti, namun kali ini Pak
Bram sendiri yang
memberikannya.
“tidak perlu
heran. Sengaja gue kasih langsung sama lo. Kita akan shooting
di Bali minggu depan untuk menyelesaikan naskah yang barusan gue
kasih. Tapi, mau minta kerjasama lo” sontak aku menatap Pak
Bram dengan tatapan
bingung dan bertanya, bukankah sejak awal kita sudah bekerja sama untuk menyelesaikan
film ini? Lalu kerja sama apa lagi yang ia butuhkan? Akhirnya aku hanya
tersenyum dan mengangguk.
“jangan kasih
tahu Kiran
tentang ini” semakin aneh, mengapa Kiran tidak boleh tahu? Bukankah ia pemeran
utama dalam film ini? Aku baru ingin menanyakan, Pak
Bram berlari
menghampiri asistennya.
***
“Danny!!!” aku
sedang serius membaca naskah untuk hari ini sampai akhirnya aku dikejutkan oleh
suara yang beberapa hari ini tidak ku dengar, ya Kiran.
Aku menoleh
memandangnya yang sudah melambaikan tangannya ke arahku. Musnah sudah ketenanganku beberapa hari ini. Ia berlari kecil
seraya tersenyum pada staf-staf yang ia lewati. Aku baru saja berdiri dari
kursiku dan ingin melangkah pergi, namun gagal saat tiba-tiba ada seseorang
yang menarik lengan jaketku. Ya, lagi dan lagi, Kiran.
“Mau kemana? Kamu enggak denger ya tadi aku manggil kamu? Aku bawain ini buat kamu, tadi pagi aku masak cukup banyak dan aku janji bahwa aku akan memberikan
sisanya pada artis yang pertama kali aku lihat di lokasi shooting.” Ohh NO! seharusnya
aku datang lebih siang. “karena kamu yang pertama aku lihat, so This is it!” Kiran sudah
menyodorkan beberapa kotak makan dengan kedua tangannya.
“gak
mau, udah
sana!” jawabku
sesinis mungkin, namun Kiran tetap pada posisinya. Ia masih tidak mau pergi.
“gue
bilang……” aku
sangat ingin menyuruhnya pergi dan memberikan makanan itu pada orang lain saja,
namun kata-kata ku terpotong karena melihat beberapa plester yang ada di jari
sebelah kirinya. “kenapa?” Bodoh! Aku
mengutuk diriku karena bertanya padanya, seharusnya aku lanjutkan saja mengusirnya.
“kenapa
apanya danny?” tanya Kiran bingung
“itu..”
“oh! Tadi pagi
aku masak sambil ngahafalin naskah, terus jarinya sedikit terluka karena ceroboh pake
pisaunya” Ia
menjawab tanpa menggerakan tangannya yang masih memegang tempat makan yang
disodorkan padaku.
“ohh, oke!” tanpa ingin
melanjutkan perbincangan lebih lanjut, aku segera mengambil tempat makannya
lalu pergi sejauh mungkin dari Kiran. Aku sudah tidak peduli dengan masalahnya
dengan Sherly, karena aku yakin bukan Sherly yang salah, Sherly terlalu baik
untuk membuat orang membencinya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar