Rabu, 02 November 2016

[NOVEL] I Love You Before - Bab I


Bab I

Go Far!
            Aku memandang batu nisan itu tanpa berkedip. Mengenang semua yang telah aku lalui bersama seseorang yang telah terkubur dibawah batu nisan itu, semua kenangan ku, semua cintaku, semua kebahagiaanku.
            Celana jeansku sudah kotor oleh tanah yang sejak tadi menjadi tempatku bertumpu. Aku adalah orang terakhir yang masih berada di pemakaman ini. Seakan aku tak akan rela meninggalkan malaikat kebahagiaanku pergi, tak rela ia terkubur di dalam sana tanpa cahaya, aku tidak rela ia sendirian di dalam sana, namun sesungguhnya aku sangat tidak rela ia tak berada di sisiku lagi, saat ini . . .

            “Sherly, kamu baik-baik aja kan? Kamu harus baik-baik ya disana, oke? …” aku memejamkan mataku sejenak, menahan air mata yang sejak awal pemakaman sudah memaksa untuk menyeruak keluar dari mataku. “aku janji, aku akan sering mengunjungimu” aku kembali memejamkan mata dan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “I Love You, Sherly”
***
            Satu minggu aku terpuruk dalam kesedihan. Kehilangan seseorang yang sangat aku cintai, apa sangat menyakitkan seperti ini? Saat inilah aku merasakan apa itu arti dari kehilangan.
            Apapun yang aku rasakan, aku tetaplah seorang aktor dan harus tetap bekerja sesuai kontrak yang sudah aku tanda tangani sendiri. Tak akan ada yang peduli tentang perasaanku, tentang perasaan kehilangan yang baru saja aku alami. Walau banyak kata simpati yang datang kepadaku, namun simpati mereka, hanya sekedar simpati basa basi. Karena tak akan ada orang yang mengerti perasaan ini, tak seorangpun yang belum pernah kehilangan seseorang yang sangat dicintai.
            “Danny!” Aku menoleh ke sumber suara yang tak asing lagi bagiku. Aku tersenyum pada pemilik suara itu seraya berjalan menghampirinya.
            “Ben” sapaku sambil tersenyum seramah mungkin. Dia adalah Beni, kakak dari gadis yang aku cintai selama ini dan disisinya adalah Sarah, adiknya yang juga merupakan kakak dari Sherly ku.
            “Lo udah ketemu lawan main lo, belom?” Beni merangkul pundakku sambil melanjutkan perjalanan kami menuju lokasi Shooting yang hanya 50 meter dari tempat kami sekarang, tempat mobil kami di parkir.
            Aku memasukan kedua tanganku pada saku jaket coklat muda pemberian Sherly. “Belum” jawabanku singkat, mungkin dianggap tak menarik bagi Beni dan Sarah, karena terdengar datar dan…. Tak peduli (?).Ya, Aku memang tidak peduli dengan siapapun aku akan beradu akting saat ini. Aku menerima pekerjaan ini hanya untuk menenangkan perasaanku, perasaan kehilangan yang teralalu menyakitkan jika aku hanya diam dan terpuruk di dalam rumah.
            “Kak Beni !!!!” saat Beni ingin mengatakan sesuatu, suara seorang gadis yang berjarak hanya 10 meter dari kami membuat kami semua melihat ke arah gadis itu. Gadis dengan rambut kecoklatan dan panjang, terdapat sebuah pita merah bersimpul di kepalanya. Gadis itu menggunakan kaos sabrina hitam dan rok mini merah, dipadukan dengan sepatu casual converse low maroon. Dia berlari secepat yang ia bisa, seolah tahu apa yang akan gadis itu lakukan, Beni melepaskan rangkulan tangannya dari pundakku dan merentangan kedua tangannya. Tanpa aku sadari, tiba-tiba saja gadis itu sudah berada dalam pelukan Beni.
            “Kak Beni, I miss you so much.. I miss you so bad kak” ucap gadis itu dengan nada yang sangat riang, seolah ia baru saja menemukan boneka teddy nya yang hilang beberapa tahun. Anak kecil.
            Mereka berpelukan cukup lama dan aku cukup lama pula memandangi mereka berpelukan, hingga akhirnya Sarah membuka percakapan kembali.
Ben, kita harus kenalkan dahulu miss sweet itu pada Danny” aku menoleh ke arah Sarah dengan pandangan menuntut sebuah jawaban. Aku seperti dijadikan sebuah alasan untuk memisahkan dua makhluk yang sedang melepas rindu. Aku bahkan tak meminta dikenalkan oleh gadis kekanak-kanakan itu, tidak sama sekali.
            “ohh yaa” Beni melepaskan pelukannya dengan gadis berambut coklat itu. Sang gadis memajukan bibirnya perlahan, ia cemberut.
“Danny kenalkan dia adalah lawan main lo di film ini, Kiran Amora Alexandra. Dan Kiran ku sayang, ini Danny yang kamu tanyain beribu-ribu kali semalam” perasaanku sedikit bangga mendengar Beni memperkenalkan kami, karena kalimat terakhirnya, bisa saja gadis ini adalah salah satu fans ku bukan? Tidak salah bukan jika aku terlalu ‘PeDe’ toh aku memang seorang aktor yang terkenal di Indonesia.
            Gadis bernama Kiran ini tersenyum dengan sangat manis dan menjulurkan tangannya.
Namaku Kiran” setelah menyebutkan namanya ia tersenyum lagi dengan memperlihatkan sedikit gigi putih ratanya, aku bukanlah orang yang pandai berbohong, jadi percayalah senyuman yang terakhir itu sangat sweet. Baru pertama kali aku melihat seorang gadis dewasa dapat tersenyum semanis itu. Pengecualian pertama untuk Sherly dan  mungkin ini yang kedua. Tuhan, apa yang aku pikirkan.
            Aku memandang tangannya sesaat, menimbang apa harus aku berjabat tangan dengan gadis ini? Tapi aku seharusnya menunjukkan manner ku. Aku pikir ia terlalu childish untuk menjadi lawan mainku di film yang bergenre romance ini walau sempat aku akui, gadis ini manis.  Bermain film dewasa dengan gadis kecil seperti ini? Apa kru film ini sudah gila.?
            “kau ini…” secara tiba-tiba gadis itu menarik tangan kananku dan memaksaku menjabat tangannya. Oh My God!
Nice to Meet You Danny....,” aku terbelalak melihat tingkahnya yang diluar dugaan, apakah dia benar-benar seorang gadis dewasa? Berapa usia gadis ini? 17 tahun? 18? Atau bahakan ia masih di bawah umur, mungkin hari ini adalah awal dari hari-hari ku yang aneh dan berisik. Percayalah, aku tidak suka kebisingan dan aku yakin, gadis inilah penyebab kebisingan itu.
            Tanpa menunggu reaksiku, gadis itu sudah melepaskan jabatan tangannya dan langsung merangkul lengan Beni dengan semangat yang menggebu, seolah ia sudah tidak bertemu dengan Beni puluhan tahun lamanya dan aku hanya memandang mereka berjalan bersama dari belakang. Jika ada orang yang memperhatikanku, mungkin aku sudah seperti pengawal sepasang pengantin baru.
***
            Hari pertamaku shooting benar-benar membuatku tercengang dengan tingkah laku lawan mainku. Sepanjang hari ia berlari kesana kemari, berbicara dengan lincah dan ramah pada semua orang, membuat semua orang selalu tersenyum bahkan tertawa jika berbicara padanya, benar-benar seperti anak kecil.
            “Danny! Kamu mau gak?” ia menyodorkanku sebuah keripik kentang dengan bumbu rumput laut yang jelas terlihat. aku memundurkan badanku sedikit, heran melihat seorang gadis yang sangat hyperactive bahkan sok kenal seperti dia.
            “gak” aku menjawab dengan sesantai dan sedatar mungkin, agar ia tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan makanan itu dan aku tidak tertarik sama sekali dengan obrolannya apalagi dengan dirinya.
            Gadis bernama Kiran itu hanya terdiam terpaku setelah jawabanku dan aku langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan menjauh darinya. Semakin aku jauh dari dirinya, semakin aku jauh dari keributan yang terjadi sejak tadi pagi setelah gadis itu tebar pesona keseluruh kru, semakin aku bisa relax tanpa mendengar keributan yang ia timbulkan.
            Aku duduk di kursiku, menyandarkan bahu dan kepalaku sejenak. Kegaduhan pagi ini, akan terus berlangsung samapai film ini selesai, dan kehidupanku akan terusik selama berbulan-bulan lamanya.
            “Danny!” sentak aku membuka mataku yang sebelumnya sudah terpejam. Tak usah bertanya suara siapa itu, suara itu sudah terdengar berjam-jam lamanya sejak tadi, Kiran.
            “kamu mikirin apa? Aku dengar pacar kamu meninggal dunia sekitar seminggu yang lalu, tak usah heran, Om Toni yang cerita tadi” aku melihatnya dengan tatapan setajam mungkin, namun sepertinya hal itu bukanlah hal yang ia takuti, ia justru tersenyum semanis mungkin yang ia bisa lakukan. Gadis ini benar-benar aneh. Bukankah seharusnya ia merasa ‘tidak enak hati’ atas pertanyaannya.
            “tenang aja, kamu pasti akan menemukan wanita yang lebih baik dari dirinya” sontak aku menepis tangannya yang sempat menepuk pelan pungggungku dan menatap matanya yang kaget karena tepisanku yang sepertinya membuat tangannya sakit.
            “tak akan ada yang lebih baik dari Sherly!!!” aku membentaknya cukup keras sampai make up artis yang baru saja lewat terkejut. Namun, gadis yang menjadi sasaran amarahku hanya menatapku bingung. Aku melihat matanya bertanya, aku melihat bibirnya bergetar seperti ingin menanyakan sesuatu. Ia takut atau bingung?
            “tunggu, Sherly?” tanyanya, “Sherly mana?”
            Aku hanya diam, aku tidak ingin terlibat perbincangan panjang dengan gadis ini.
            “jawab aku Danny!” suaranya agak meninggi, membuatku sedikit tersentak.
Apa  Sherly? Apa  Sherly yang kuliah di Universitas Negeri Jakarta? Apa  Sherly yang berteman dekat dengan Ardit Prasetya? Aku cuma mau mastiin kalo dunia ini memang sempit” sejenak aku merubah tatapan tajamku menjadi tatapan yang terkejut dengan semua pertanyaanya. Bagaimana ia bisa menanyakan hal-hal yang semua jawabannya adalah ‘iya’.
            “Danny?” aku sontak tersadar dari ketakjubanku.
            “bagaimana lo tahu semua itu?” pertama kalinya aku bertanya serius pada gadis ini. Aku kira semua ucapannya hanyalah omong kosong dan dibuat-buat semanis mungkin. Tapi kali ini, ia menanyakan hal yang membuatku tertarik untuk mengetahui siapa dia sebenarnya? Gadis ini mulai membuatku bertanya.
            “berarti, Sherly sudah meninggal dunia?” tanpa menjawab pertanyaanku, ia kembali bertanya seolah tak percaya. Aku semakin penasaran dengan isi pikirannya saat ini, apa yang ia pikirkan? Dalam beberapa detik terakhir, ia menjadi orang yang 180 derajat berubah, tatapan matanya sangat menuntut tapi bukan hanya itu, ia seperti…. Menahan air mata (?). Sejak aku melihatnya untuk pertama kali, dia tidak pernah menunjukan tatapan mata seperti ini.
            “ya…” aku menyadari bahwa seketika itu juga Kiran menahan nafas dan tatapannya lebih terkejut dari sebelumnya, mungkin karena terkejut, tapi kenapa? “lo kenal?”
            Kiran menatapku, saat ini tatapannya berbeda, bukan tatapan menuntut namun matanya sendu, seperti ia sedang menahan air matanya keluar. “enggak, aku enggak kenal…” Kiran menarik nafas sejenak mencoba menenangkan dirinya sendiri, perlahan namun pasti, ia kembali berbicara “aku gak tahu harus senang, sedih atau bahkan kecewa
            “apa sih maksud lo?” aku bertanya lagi, gadis ini mengucapkan kata-kata yang tak bisa langsung aku mengerti.
            “aku benci sama dia, Dan”
            “what?...” aku membelalakan mataku, mencoba menelaah apa yang selanjutnya akan ia katakan. “lo gak kenal tapi lo bisa benci, kenapa?” tanyaku lebih jelas, ia pasti mengenal Sherly.
            Ia memejamkan matanya seolah mencari sesuatu dalam logikanya agar ia cepat keluar dari keadaan ini. Beberapa detik kemudian, ia membuka mata dan tersenyum semanis yang ia bisa lakukan saat ini, namun tetap saja tidak seperti senyum sebelumnya “aku harus mengahafal naskahku.. ohh hampir aja aku lupa” Kiran berbalik.
            “Lo tahu Sherly itu adiknya Beni?” tanyaku yang tak aku duga membuat ia kembali menghadapku dan memandang tidak percaya, Ya! Sudah ku duga.
            Tak ada yang tahu jika Sherly adalah adik kandung dari Beni dan Sarah. Hingga ketika aku muncul bersama Sherly di rumah sakit, kampus dan rumah Beni. Semenjak itu para pencari berita terutama gosip menerbitkan tulisan mengenai Sherly dan dari situ lah diketahui bahwa Sherly adalah adik dari dua artis yang sedang naik daun, Beni dan Sarah. Mungkin masyarakat Indonesia mengetahui hal itu, bahwa Sherly tidak pernah ingin identitas dirinya sebagai adik dari artis yang saat itu tengah booming, namun untuk Kiran yang baru saja kembali ke Indonesia, dia seperti balita yang tidak tahu menahu mengenai semua itu dan hal itu memang tidak terlalu penting untuk ia ketahui seharusnya. Namun, beda ceritanya jika ternyata Kiran dekat dengan Beni tetapi ia membenci Sherly yang merupakan adik Beni, kecuali dia tidak tahu mengenai hal itu.
            “percaya atau enggak, aku gak tahu” sepertinya Kiran sangat terkejut, ini hari pertamanya shooting kembali di Indonesia namun ia tidak tahu apa-apa tentang segala hal yang sebelumnya terjadi.
            Beberapa detik ia terdiam, ia kemudian kembali tersenyum. “aku kira aku akan lepas dari bayang-bayang Sherly, namun ternyata semua orang yang sekarang berada di dekatku adalah orang-orang yang lebih dekat dengan Sherly.” Tanpa ia menjelaskan lebih lanjut dan tanpa aku bisa bertanya lebih jauh, Kiran sudah berlari mejauh dari tempatku saat ini.
            Dia datang jika ia ingin datang dan ia pergi ketika ia memang ingin pergi.
***
            Tanpa rasa canggung, Kiran beracting sangat baik, apa ini acting yang ia pelajari di korea? Tempat yang notabennya untuk laki-laki pucat yang joget-joget gak jelas. Namun, Ia dapat merubah karakternya hanya dalam satu kali take, it’s amaze me.
            Kiran menunduk berterimakasih setelah semua adegan selesai untuk hari ini. Masih sama seperti sebelumnya, ia tersenyum ke semua orang sambil mendoakan mereka tetap sehat selalu dan bersemangat untuk hari berikutnya.
            Gadis itu berbincang sebentar dengan Beni, lalu perlahan aku melihatnya berjalan ke arahku.
            “Danny” akhirnya giliranku yang di panggil setelah sebelumnya ia mengobrol sebentar dengan Beni. Ia berjalan dengan riang ke arahku, tapi Beni tetap memperhatikan Kiran.
            “aku beli ini tadi, satu untuk kamu” ia menyodorkan sebuah minuman kaleng. Dengan memandang senyumnya yang tidak pudar sejak tadi, aku menerima minuman itu sambil mengucapkan terimakasih. Yaa, setidaknya aku masih memiliki hati yang baik untuk tidak menolak pemberiannya ketika ia memberinya dengan  tersenyum seperti itu.
            Kiran berlari cepat menuju mobilnya lalu berlalu bergitu saja. Ini hari pertamanya, namun ia sukses membuatku bertanya-tanya. Bukankah seharusnya aku kesal karena ia membenci Sherly? Mungkin jika ia memiliki sebuah alasan, itu akan dapat dimengerti, namun mengapa ia bisa membenci Sherly tanpa mengenalnya? Dan sikapnya sangat cepat berubah, ia seperti bunglon yang dapat berubah warna dengan cepat sesuai tempat dimana ia berpijak.
***
            Kiran sudah membawa sebuah cup plastik berisi pudding dan membagikannya keseluruh kru serta pemain dalam film ini. Saat ini ia sedang berjalan ke arah ku dengan tersenyum. Aku tahu ia ingin memberiku pudding yang sekarang berada di tangan kanannya.
            “ini untuk kamu” ia menyodorkan pudding itu tepat dihadapanku. Aku melihat bibirnya yang masih tersenyum, lalu aku melihat matanya yang memancarkan kebahagiaan, namun apa dia benar-benar bahagia? Karena jika dilihat lebih lama, di dalam matanya yang bulat, ada sesuatu yang ia sembunyikan.
            “kamu enggak suka pudding ya? Walau ini bukanlah pudding terenak di dunia, tapi ini benar-benar lezat. Kamu harus mencobanya, ini” ia meraih tangan kananku dan meletakkan pudding itu tepat di telapak tanganku.
            Aku tidak tahu siapa dia, aku tidak tahu mengapa ia masih bisa ramah terhadapku padahal kemarin ia seakan mengatakan bahwa ia seharusnya tidak berada di dekatku lebih lama lagi. Padahal kemarin aku dan dia membahas hal yang sensitif.
            Tanpa aku sadari, Kiran sudah berjalan memunggungiku. Tidak seperti biasanya, ia berjalan terlalu lambat, biasanya ia sudah berlari ke sisi Beni. Ia kembali membuatku penasaran, apa aku harus tanyakan masalahnya dengan Sherly? Walau Sherly sudah tiada, namun mengetahui ada orang yang membencinya seperti ini, membuatku tidak nyaman.
***
Beberapa hari aku berbeda lokasi Shooting dengan Kiran, padahal aku sudah berniat ingin menanyakan masalahnya dengan Sherly. Walau aku bisa meminta nomor handphone Kiran pada Beni, namun itu terlalu mencurigakan, bisa-bisa Beni dan Sarah mengira hal yang bukan-bukan. Aku akan menjadi bahan olok-olokan mereka nantinya, ya mereka selalu seperti itu.
“Danny!” aku menoleh kesumber suara yang memanggilku. Terlihat sosok Pak Bram selaku sutradara, beliau berjalan mengahampiriku, aku langsung menjabat tangannya memberi salam.
“ah, Pak Bram” sapaku.
“ada sedikit perubahan jadwal dan naskah film. Hanya sedikit, ini” Pak Bram memberikan beberapa lembar kertas naskah padaku. Hal yang aneh, biasanya asistennya yang mengarahkan naskah mana yang di ganti, namun kali ini Pak Bram sendiri yang memberikannya.
“tidak perlu heran. Sengaja gue kasih langsung sama lo. Kita akan shooting di Bali minggu depan untuk menyelesaikan naskah yang barusan gue kasih. Tapi, mau minta kerjasama lo” sontak aku menatap Pak Bram dengan tatapan bingung dan bertanya, bukankah sejak awal kita sudah bekerja sama untuk menyelesaikan film ini? Lalu kerja sama apa lagi yang ia butuhkan? Akhirnya aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“jangan kasih tahu Kiran tentang ini” semakin aneh, mengapa Kiran tidak boleh tahu? Bukankah ia pemeran utama dalam film ini? Aku baru ingin menanyakan, Pak Bram berlari menghampiri asistennya.
***
“Danny!!!” aku sedang serius membaca naskah untuk hari ini sampai akhirnya aku dikejutkan oleh suara yang beberapa hari ini tidak ku dengar, ya Kiran.
Aku menoleh memandangnya yang sudah melambaikan tangannya ke arahku. Musnah sudah ketenanganku beberapa hari ini. Ia berlari kecil seraya tersenyum pada staf-staf yang ia lewati. Aku baru saja berdiri dari kursiku dan ingin melangkah pergi, namun gagal saat tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengan jaketku. Ya, lagi dan lagi, Kiran.
“Mau kemana? Kamu enggak denger ya tadi aku manggil kamu? Aku bawain ini buat kamu, tadi pagi aku masak cukup banyak dan aku janji bahwa aku akan memberikan sisanya pada artis yang pertama kali aku lihat di lokasi shooting.” Ohh NO! seharusnya aku datang lebih siang. “karena kamu yang pertama aku lihat, so This is it!” Kiran sudah menyodorkan beberapa kotak makan dengan kedua tangannya.
gak mau, udah sana!” jawabku sesinis mungkin, namun Kiran tetap pada posisinya. Ia masih tidak mau pergi.
gue bilang……” aku sangat ingin menyuruhnya pergi dan memberikan makanan itu pada orang lain saja, namun kata-kata ku terpotong karena melihat beberapa plester yang ada di jari sebelah kirinya. “kenapa?” Bodoh! Aku mengutuk diriku karena bertanya padanya, seharusnya aku lanjutkan saja mengusirnya.
            “kenapa apanya danny?” tanya Kiran bingung
“itu..”
“oh! Tadi pagi aku masak sambil ngahafalin naskah, terus jarinya sedikit terluka karena ceroboh pake pisaunya” Ia menjawab tanpa menggerakan tangannya yang masih memegang tempat makan yang disodorkan padaku.
“ohh, oke!” tanpa ingin melanjutkan perbincangan lebih lanjut, aku segera mengambil tempat makannya lalu pergi sejauh mungkin dari Kiran. Aku sudah tidak peduli dengan masalahnya dengan Sherly, karena aku yakin bukan Sherly yang salah, Sherly terlalu baik untuk membuat orang membencinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar