Rabu, 02 November 2016

[NOVEL] I Love You Before - Bab III

Bab III

Her Fears
Dua hari tidak bertemu Kiran sepertinya adalah hadiah dari Tuhan karena aku berhasil memanfaatkan pinjaman hati malaikatnya dengan baik. Aku tidak bisa tidur setelah kejadian malam itu, aku seperti bicara pada gadis lain bukan Kiran. Aku tidak mungkin bersikap sebaik itu pada Kiran, gadis itu tidak mungkin setenang itu. Kiran yang aku kenal sebelumnya adalah Kiran yang berisik dan berenergi. Tapi malam itu, aku melihat Kiran diam, aku melihat matanya memancarkan kelelahan, aku melihat pandangannya kosong. Kiran malam itu bukanlah Kiran si pembuat kebisingan.
“Danny!!” baru saja aku berpikir bahwa Kiran bukanlah pembuat kebisingan, pagi ini dia datang dengan suara yang bising.

“kamu kok udah sampe sih? Jalanan cukup macet pagi ini, aku bahkan hampir telat” ucapnya bertubi-tubi, apakah ia sudah lupa bahwa malam itu ia sadar bahwa aku tidak suka ia berisik?
“Kiran, kamu akhirnya datang” Tuhan memang baik, Beni mengalihkan perhatian Kiran dariku.
iya nih kak, kita akan shooting dimana? Kenapa harus membawa perlengkapan untuk satu minggu? Ini sangat berat” aku memperhatikan gerak gerik manja Kiran pada Beni, sikap yang ditunjukan Kiran untuk Beni memang sudah tidak asing lagi, setiap satu lokasi dengan Beni, ia pasti bergelayutan manja. Tapi kali ini, aku tidak merasa jijik dan mual, aku justru merasa, risih?
“aku juga tidak tahu.. semoga saja tempat yang bagus” ucap Beni yang dibalas dengan anggukan kepala Kiran. Beni pun mengusap kepala Kiran dan si pemilik kepala itu tersenyum manis menandakan ia suka dengan perlakukan Beni.
Mengapa mereka tidak tahu tujuan kami, apa Pak Bram hanya memberitahuku seorang? Bagaimana bisa? Apa yang dirahasiakan Pak Bram? Dan mengapa ia harus merahasiakannya?
Setelah semua kru dan para pemain masuk ke dalam pesawat, ada hal aneh yang terjadi. Beni berusaha mencari Pak Bram dengan mimik wajah yang marah, ada apa sebenarnya? Pak Bram memang sudah berada di Bali sejak kemarin untuk mencari lokasi yang tepat bersama beberapa kru. Beni baru duduk tenang setelah pesawat ingin take-off .
Aku berjalan menuju kursi Beni untuk menanyakan apa yang terjadi, namun saat melalui kursi Kiran, aku melihat gadis itu gemetar, ia menarik nafas dan menghembuskannya berkali-kali, mungkin untuk menenangkan diri namun tidak berhasil. Kiran memejamkan matanya, ia seperti takut untuk membuka mata, namun mengapa? Apa ia takut dengan ketinggian? Tapi, jika iya, dia tidak akan dengan ceria datang kebandara tadi.
are you okay?” aku memberanikan diriku duduk di sampingnya, tapi ia tidak menjawab, ia hanya terus menarik nafas dan menghembuskannya, kedua tangannya yang terkepal yang berada dipangkuannya pun masih gemetar. Ia kembali membuatku bertanya, gadis ini terlalu membuatku penasaran.
“Kiran?” aku memberanikan diriku menggenggam tangannya, aku hanya berpikir bahwa ia butuh seseorang sekarang. Perlahan Kiran membuka matanya, dengan nafas yang masih tidak beraturan, Kiran menatapku. Oh Tuhan! Mata itu. Aku melihat ketakutan dalam matanyanya, ia menatapku seolah berkata ‘tolong aku, please’ dan itu membuat aku menguatkan genggamanku pada tangannya.
Kiran kembali memejamkan matanya, aku masih menggenggam tangan kirinya dan tangan kanan Kiran menggenggam tanganku. Semakin lama genggamannya semakin kuat, deru nafasnya semakin terdengar. Aku menolak semua yang ada dilogikaku saat ini, tidak peduli siapa Kiran tidak peduli ia adalah pembuat kebisingan yang sangat aku benci, yang aku peduli saat ini adalah Kiran membutuhkanku, setidaknya sampai ia benar-benar tenang.
“Kiran” aku mendongak mendapati Beni sudah berada disampingku.
Ben, dia kenapa? dia terus gemetar dan ketakutan, dia takut ketingggian?” kesempatanku bertanya, aku yakin Beni tahu alasannya.
“bukan, nanti gue ceritain, lo bisa duduk ditempat lo lagi, biar gue yang jagain dia” ucapan Beni seolah menjadi perintah yang takbisa aku elakan.
Aku mencoba melepaskan genggaman Kiran, namun gadis ini justru semakin kuat menggenggam tanganku. “jangan” aku mendengar suara Kiran lirih, gemetar dan penuh dengan nada ketakutan. Aku mendongak menatap Beni, seolah berkata ‘Lo dengar? Dia enggak mau gue pergi’
“Kiran …. Aku akan mengomeli Pak Bram setelah sampai di Bali, aku janji sama kamu” ucap Beni bersemangat dengan penuh kemarahan.
jangan” suara Kiran, “don’t do it, I’m professional and I’m sure I can do it ,so don’t do it, please. For me” ini adalah kalimat terpanjang yang Kiran ucapkan setelah ia duduk di dalam pesawat.
Kiran tetap memejamkan matanya, ia juga masih gemetar dan menggenggamku erat. Beni lebih tenang dari sebelumnya, walau terkadang ia masih mendengus kesal. Aku sangat ingin bertanya pada Kiran, apa sebenarnya yang terjadi? Dan apakah ia baik-baik saja?
are you okay” aku menoleh menatap Kiran, gadis itu perlahan membuka matanya. Masih seperti tadi, masih ada ketakutan di dalam matanya. “I’m okay Danny” ia tersenyum, memaksa untuk tersenyum sebenarnya.
***
Kiran terus menggenggam tanganku, ia tidak pernah melepasnya walau sedetikpun. Dulu, mungkin aku yang akan mengibaskan tangannya agar berhenti menggenggamku, karena aku tidak suka berdekatan dengan pembuat kebisingan. Namun, saat ini aku merelakan diriku, Kiran sedang membutuhkanku dan lagi pula ia tidak sedang menjadi gadis bising, ia diam bahkan terlampau menjadi pendiam yang justru membuatku takut.
Kami menuju Jimbaran, Bali. Kiran semakin mengeratkan genggamannya, aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, harus ada seseorang yang menjelaskan mengenai hal ini.
“kalian udah sampai? Akhirnya, istirahat dulu, satu jam dipesawat pasti membuat badan kalian pegal. Sore nanti ada take untuk Kiran dan Danny, jangan lupa itu.” Pak Bram menyambut dengan senyuman bahagia.
Pak Bram! Gue mau ngomong sama Lo!” Beni berteriak, tatapannya memancarkan kemarahan.
Kak Ben!! Aku udah bilang bukan tadi di pesawat? Dan aku mohon kamu enggak perlu berlebihan!” Kiran yang berada di sebelah kiriku memandang Beni, tatapannya memohon.
“cantik sekali! Aku yakin Kiran memang artis yang profesional” ucap Pak Bram yang langsung berbalik dan berlalu begitu saja.
“Kiran, apa maksudmu dengan….”
“shut up! Aku cape kak, aku ingin istirahat” Kiran sedikit membentak Beni, ini pertama kalinya aku melihatnya membentak Beni.
Kiran berjalan menuju resort, entah disengaja atau tidak sekarang ia berjalan di depan ku dengan menggandeng tanganku. Sejak tadi memang Kiran belum melepaskan tangannya. Hari ini Kiran menjadi orang yang tidak aku kenal, perubahan sikapnya membuatku semakin ingin tahu tentang dirinya. Sepertinya ini bukan masalah ia membenci Sherly lagi, ini masalah diriku yang ingin tahu lebih banyak tentangnya, tentang Kiran.
“Kiran” aku memberanikan diri memanggil namanya.
“ya? Ohh maaf Danny,” sentak Kiran melepaskan genggaman tangannya setelah berbalik dan menyadari ia sedang menggandengku. Ada sedikit merasa kecewa dalam hatiku namun mendengar ia menyebut kembali namaku, itu sepertinya lebih baik.
it’s okay, istirahatlah” aku tersenyum dan ia mengangguk mengiyakan.
Aku memandang punggungnya semakin menjauh. Apa yang terjadi pada Kiran harus segera aku tanyakan pada Beni dan juga Sarah yang sejak tadi hanya diam.
***
Setelah puas beristirahat dan hari sudah hampir sore, aku bersiap menuju pantai untuk shooting. Sambil berjalan menuju pantai aku memandang sekitar resort ini, lebih sepi dari biasanya, mungkin karena hari ini adalah hari kerja dan belum masuk liburan sekolah. Aku hampir sampai di pantai, ku melihat Beni dan Sarah sedang duduk agak jauh dari tepi pantai. Mereka berdua melihat ke arah pantai dengan pandangan khawatir, sontak saja aku mengikuti arah pandang mereka, dan benar saja dugaanku, Kiran berada disana tidak jauh dari tepi pantai.
Aku duduk di samping Sarah sambil membaca script ku. Aku membaca bagian Kiran, ia hanya disuruh berdiri di bibir pantai, merendam kakinya dan ia diperintahkan untuk menangis disana. Ya, memang film ini menceritakan seorang wanita yang mencintai seorang pria, namun dalam pikiran wanita itu sang pria tidak memiliki perasaan terhadapnya.
Bagian selanjutnya adalah bagianku, aku berjalan mengamhampirinya, berdiri di sampingnya dan menenangkannya. Aku kembali menatap Kiran yang sudah berjalan perlahan ke bibir pantai, tidak terlalu dalam, Kiran yang perlu merendam kakinya satu jengkal dari mata kaki. Sutradara sudah memulai merekam sebelum ia mengatakan ‘action’, mungkin hal ini dianggap menarik dan lebih natural. Aku memperhatikan dengan seksama, pandanganku langsung tertuju pada tangan Kiran yang terkepal dan terlihat gemetar. Aku sontak menoleh menatap Sarah, seolah bertanya ‘ada apa dengan Kiran?’
Dia takut sama pantai, dia trauma dengan pantai dan air laut” tanpa aku bertanya Sarah menjelaskan apa yang aku ingin tahu sejak kami berada di pesawat.
Aku kembali memperhatikan Kiran, ia sudah merendam kakinya sesuai naskah. Namun ia tetap berjalan, tangannya semakin gemetar. Aku membanting script ku dan langsung berlari ke arah Kiran, ini sudah tidak lucu, Kiran bisa histeris dan sakit, aku tahu mengenai orang-orang yang memiliki trauma.
“Kiran!” aku berlari dan berhenti didepan Kiran lalu berbalik menatapnya. Aku melihat mata Kiran berair, bibirnya gemetar begitu pula tangannya yang ternyata mengepal lebih keras dari pada saat di pesawat, ia gemetar dan lebih ketakutan daripada yang aku lihat di pesawat.
Sontak aku memeluknya, aku langsung memeluknya tanpa berpikir tanpa memperdulikan kru dan sutradara yang protes. Aku memeluknya seerat mungkin dan saat ini aku merasakan tubuhnya bergetar, nafasnya tidak teratur, Kiran mematung. Aku tidak tahan melihat Kiran seperti ini, aku tidak kuat melihat tatapan matanya yang sangat ketakutan.
it’s okay, Gue disini” ucapku seraya terus memeluk Kiran dan mengusap rambut panjangnya. Dengan keadaan seperti ini, aku bisa mendengar detak jantung Kiran yang sangat cepat, ia benar-benar ketakutan.
“jangan takut, Gue sama Lo Kiran” ucapku lagi,
“cut!” aku mendengar sutradara menghentikan proses shooting ini.
Aku melepaskan pelukanku, aku memegang kedua lengannya dan menatapnya. Ia menangis , oh Tuhan.. aku tidak bisa melihatnya seperti ini.
“Danny” aku masih bisa mendengar suara itu walau Kiran mengucapkannya dengan sangat lirih. Aku tersenyum menatapnya, aku menatap tepat di bola matanya aku ingin mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja karena ada aku disini.
ayo, kita kembali” aku menggandeng tangan kirinya, namun Kiran tidak bergerak sama sekali. Aku kembali berdiri dihadapannya, melihatnya yang masih menatap dengan ketakutan. Aku memindahkan pandanganku pada kakinya, ia gemetar . sekarang aku tahu mengapa ia tidak segera berjalan tadi. Aku harus segera membawanya pergi dari sini.
Aku melepaskan genggaman tanganku lalu aku memposisikan tangan kananku di pundaknya, setelah itu aku sedikit membungkuk untuk meraih belakang lutut Kiran, ya Aku membopohnya.
“Danny” ucap Kiran mencoba memprotes, tapi aku tetap membopohnya.
Perlahan Kiran menggenggam kaosku dengan tangan kanannya, wajahnya disembunyikan di dadaku. Aku dapat merasakan ia terisak, tangisnya akhirnya pecah. Tubuhnya benar-benar kaku dan gemetar, aku harus segera membawanya kembali ke kamar.
“Kiran!” Beni dan Sarah bersamaan mengampiri kami. “ada apa dengannya? Kiran, kamu baik-baik aja kan?”
Dia gemetar, lebih baik kita bawa ke dalam kamar” ucapku sambil terus membopoh Kiran dan berjalan menuju resort. Beni dan Sarah berjalan terlebih dahulu.
Sesampainya di kamar, Sarah membereskan sebentar tempat tidur dan memposisikan bantal dengan benar. Perlahan aku menurunkan Kiran di atas tempat tidur, tangannya masih menggenggam kaosku dan masih sama seperti tadi, tubuh Kiran masih gemetar hebat. Aku mencoba memegang tangan kanannya yang masih meremas kaosku, aku mencoba melepaskannya.
jangan” suara Kiran yang memohon, aku melepaskan genggaman tangannya di kaosku lalu aku menggenggam tangannya erat. Tubuhnya kaku, dingin dan gemetar. Ia hanya menatapku, air matanya terus mengalir dan seolah berbicara bahwa ia sangat takut. Aku meletakan tangan kanan Kiran di perutnya, kemudian ku genggam tangan kirinya, tidak ada bedanya, masih kaku dan gemetar.
“Kiran..” Beni duduk di pinggir tempat tidur sebelah kanan Kiran lalu meraih tangan kanannya, Beni menggenggamnya.
Kiran tetap diam sambil memandangku, oh Tuhan… sadarkan Kiran. Aku menyentuh pipinya yang sudah basah karena air mata, ia kembali terisak dan dalam sekali gerakan Kiran melepaskan genggaman tangan Beni dan langsung duduk lalu memelukku.
“aku takut, aku takut Danny … aku.. aku..” Kiran terbata, isakannya semakin terdengar dan pelukannya semakin erat.
Aku membalas pelukannya, sangat erat, agar ia tahu bahwa aku ada disini dan ia tidak perlu takut. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, tapi aku tahu bahwa saat ini Kiran memerlukan seseorang untuk menenangkannya.
“aku takut…aku tidak.. ingin kesana… aku.. akuu”
“sstttt.. tenanglah, Lo gak akan kesana lagi, Gue jamin Lo enggak akan menyentuh pantai itu lagi” aku mengusap rambutnya mencoba menenangkan Kiran dan itu cukup berhasil karena Kiran tidak lagi mengatakan apapun. Untuk sementara ini lebih baik, karena ia bisa saja histeris jika terus berbicara tentang ketakutannya.
Aku terus memeluk Kiran dengan erat dan mengusap rambutnya, sesaat aku melirik Sarah yang mengajak Beni untuk keluar dari kamar. Awalnya Beni sedikit menolak, tapi sepertinya Sarah berhasil meyakinkannya bahwa Kiran saat ini sedang membutuhkanku. Perlahan mereka berdua berjalan keluar pintu.  
Beberapa menit aku memeluk Kiran, gadis ini sudah melonggarkan pelukannya, ia juga sudah tidak terisak lagi.
“Kiran.” Panggilku pelan, hanya untuk memastikan ia tertidur atau tidak. Namun tidak ada jawaban, sepertinya ia benar-benar tertidur.
Aku melepaskan pelukanku dan membantu Kiran agar berbaring di tempat tidur, perlahan ku tarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ku rapihkan rambut yang sedikit berantakan di sekitar wajahnya, menyelipkan helaian rambut di telingannya. Ku perhatikan wajahnya yang sendu dan masih ada garis-garis wajah ketakutan. Dulu, aku pernah melihat wajah seperti ini, wajah ketakutan.
Sherly berdiri menegang di depan pintu mobilku, aku sudah membukakan pintu mobil untuknya, namun ia tidak segera masuk.
“Sherly, are you okay?” ia tidak menjawab, ia hanya menggeleng tidak pasti, perlahan Sherly pun masuk dan duduk di dalam mobil. Aku sedikit berlari menuju tempatku untuk mengendarai mobil ini.
Aku memasang shift beltku dan memutar kunci, saat aku ingin menginjak gas, kulihat Sherly hanya diam dan menatap ke depan dengan pandangan kosong. Aku melihatnya belum menggunakan shift belt, akupun berinisiatif untuk memasangkannya. Setelah aku berhasil mengunci shift belt Sherly aku segera menginjak gas, dan tiba tiba ….
jangan!!!!” Sherly berteriak yang sontak membuatku langsung menginjak rem.
kamu kenapa?” tanyaku, Sherly menggenggam tali shift belt dengan gemetar, ia menatap kedepan dengan pandangan takut.
jangan!!!! jangan!!! ini bukan salahku, … bukan!!!” Sherly memegang kepalanya dengan kedua tangannya, ia histeris.
“Sherly, kamu kenapa?” aku melepaskan shift belt ku dan memegang pundak Sherly dan memutarnya menghadap ke arahku. Ia menatapku dengan pandangan takut. “are you okay?”
“Keluarkan aku!!!! Ini bukan salahku!!!! cepat!! Keluarkan akuuuu dari siniii!!!” Sherly menarik tangan kiriku dan menggenggamnya. Ia berteriak, ia histeris dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Aku segera keluar dan membukakan pintu mobil untuknya, ku lepas shift belt miliknya, ku bantu ia keluar dari mobil. Namun, tiba-tiba ia terjatuh, ia pingsan. Aku segera membopohnya dan berlari ke dalam rumah Sherly lagi.
“Danny! Ada apa dengan Sherly??” Sarah bertanya dengan panik.
“aku tidak tahu! Buka pintu kamar Sherly!!” pintaku cepat, Sarah berlari dan segera membuka kamar Sherly. Aku masuk dan langsung membaringkannya di tempat tidur.  Ku tarik selimut dan membersihkan peluh yang membanjiri kening Sherly.
“ia tiba-tiba saja histeris saat duduk di dalam mobil, aku tidak tahu kenapa” aku menjelaskan pada Sarah yang terlihat tidak kalah panik denganku.
“kau membawanya ke dalam mobil? Kursi depan?” tanya Sarah  dan aku hanya mengangguk.
“jangan lakukan itu lagi” ucap Sarah, aku menengok menatap.
kenapa? Ada yang salah?” tanyaku, aku memang belum tahu banyak mengenai Sherly.
“Dia tidak bisa duduk di depan, ia trauma dan akan histeris” aku tetap menatap Sarah, menuntut jawaban yang lebih jelas.
“saat itu, Aku dan Beni sedang berada di sebuah acara penghargaan. Mama berjanji akan menyusul namun supir kami sedang sakit dan akhirnya mama mengajak Sherly. Saat itu, mama selalu berteriak pada Sherly untuk lebih cepat karena ia sudah terlambat. Sherly tidak pernah menyetir dengan kecepatan tinggi, ia selalu berhati-hati, namun Sherly memaksakan dirinya karena mama selalu berteriak cepat. Lalu, tiba-tiba ada sebuh truk besar berhenti dan Sherly tidak bisa mengendalikan mobilnya dan terlambat mengerem, akhirnya mereka kecelakaan dengan menabrak truk itu, dalam kecelakaan itu Sherly selamat namun mama akhirnya meninggal dunia.”
“Danny” aku kembali tersadar dari kenanganku, Kiran menggenggam tanganku namun ia belum membuka matanya. Kudengar deru nafasnya tidak beraturan, lipatan ketakutan di wajahnya semakin jelas, peluh mulai bercucuran membanjiri wajahnya. Ia menggenggamku semakin erat.
“Kiran …. Tenanglah, Gue disini” ku genggam tangan kirinya dengan kedua tanganku, aku ingin dia tahu bahwa aku masih disini bersamanya. Perlahan desah nafas Kiran membaik, ku bersihkan peluh di wajahnya. Ia kembali tertidur dan perlahan garis ketakutan mulai memudar di wajahnya.
Ku lepas genggamanku pada tangannya, aku akan mengambilkan minum agar dia bisa lebih tenang. Aku berjalan menuju dapur dan menuangkan air mineral ke dalam gelas. Semoga ini bisa membuatnya lebih tenang.
enggak!!!!!!” tiba-tiba aku mendengar Kiran berteriak. Aku berlari sambil membawa segelas air. Ku lihat Kiran sudah terduduk dan menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya.
“Kiran!” aku menaruh gelas di meja kecil di pinggir tempat tidur Kiran.
Aku memegang kedua tangannya, mencoba melepaskan tangannya yang menjambak rambutnya sendiri. “Kiran! Tenanglah!” aku sedikit membentak karena Kiran semakin gemetar dan ketakutan.
Perlahan aku berhasil melepaskan tangannya, ku genggam kedua tangannya “Tenanglah Kiran, Lo akan baik-baik aja” perlahan Kiran membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Ia menatapku, wajahnya sudah penuh dengan peluh dan air mata, matanya memancarkan ketakutan, tidak ada kebahagiaan disana, tidak ada sama sekali.
“Danny!” seolah ia baru sadar aku berada disisinya, ia langsung memelukku.
Ada sedikit keraguan dalam benakku, apa yang harus aku lakukan?, namun aku meyakinkan diriku dan aku membalas memeluk tubuhnya yang masih gemetar, isakan tangis yang tertahan masih sangat terasa dan terdengar di pundakku.
it’s okay, menangislah. Gue disini Kiran” pelukkannya semakin erat, aku dapat merasakannya.
Sekarang logika dan hatiku mulai berperang, tak seharusnya aku memperlakukan Kiran sebaik ini, bukankah aku membencinya? Namun melihat Kiran yang ceria tiba-tiba histeris dan menangis, ini justru keadaan yang paling aku benci.
Aku mengusap lembut rambutnya, aku ingin dia lebih tenang dan nyaman, aku ingin dia kembali menjadi Kiran yang aku kenal beberapa hari lalu. Hari ini, semuanya berubah, kebencianku terhadap Kiran mulai memudar.
***
Pagi ini aku menuju tepi pantai untuk menikmati suasana pagi yang indah di pantai Jimbaran. Shooting disini seharusnya menjadi tempat yang sangat diinginkan oleh semua artis karena tempatnya yang indah, namun jika mengingat apa yang terjadi kemarin, sepertinya kata semua harus dihapus menjadi beberapa.
Aku berjalan perlahan menyusurui pantai, dari jauh aku melihat sosok Kiran yang terduduk tidak jauh dari tepi pantai. Ia menekuk kakinya dan menunduk. Apa yang sedang ia lakukan?
Perlahan aku berjalan mendekat pada sosok Kiran, mungkin karena mendengar ada orang yang mendekat Kiran pun mendongak untuk mencari tahu siapa yang datang.
“Danny” sapanya, ia tersenyum. Senyum ini adalah senyum yang aku rindukan, ohh Tuhan! Apa yang aku katakan? Tidak, aku tidak merindukannya.
ngapain Lo disini?” tanyaku langsung, aku harus menunduk untuk bicara dengan Kiran karena gadis ini tidak berdiri dan tetap saja terduduk di atas pasir.
“tadinya aku ingin berjalan-jalan di pinggir pantai, tapi….” Kiran tidak melanjutkan kalimatnya, ia justru melihat kakinya.
“tapi apa?” tanyaku lagi tanpa tahu apa maksud dari gerak-geriknya.
“aku kena ranting tajam dan terjatuh lalu kakiku sedikit terkilir” sontak aku langsung memperhatikan kakinya.
Aku berjongkok untuk melihat luka yang ada di kaki Kiran, ada sebeset luka di telapak kakinya dan di pergelangannya sedikit membiru.
“lalu sekarang Lo mau ngapain?” tanyaku sambil masih melihat kaki Kiran, mungkin saja ada luka yang lain.
“karena aku tidak bisa menyusuri pantai, aku mungkin akan duduk disini sampai Beni membawaku kembali ke kamar”
Mendengar jawabannya entah mengapa membuat aku sedikit jengkel.
Lo masih mau menyusuri tepi pantai?” tanyaku, ia lalu memandangku dan mengangguk.
Akhirnya, ku posisikan tubuhku berjongkok membelakanginya.
“apa maksudnya Danny?” tanyanya,
“naiklah, cepet!” jawabku
“tapi…”
cepetan!!!!” ku potong kata-katanya, ia sepertinya sedikit tersentak. Lalu perlahan kurasakan Kiran mulai mendekat ke punggungku.
Ku gendong Kiran di punggungku, ia melingkarkan kedua tangannya di pundakku yang hampir ke leher. Perlahan aku jalan menyusuri pantai. Mungkin ini tidak pernah aku inginkan bahkan aku bayangkan.
“Danny”
ya..” jawabku.
“mengapa kamu baik sekali sama aku?” Kiran kembali bertanya.
“karena lo sedang kesulitan”
“apa kamu akan menolongku setiap aku kesulitan?” kini Kiran menyandarkan kepalanya di pundakku
“ya, kalo Lo lagi ada di deket Gue” aku menjawab dengan perasaan yang campur aduk, aku selalu membencinya, selalu mengharapkan ia jauh dariku, namun sekarang justru aku yang menawarkan diri untuk dia berada di punggungku.
“kalau begitu aku akan selalu di dekat kamu, aku suka kamu baik padaku” mendengar perkataan Kiran membuatku spontan saja tersenyum. Dulu aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya, sekarang aku membuat tidak ada jarak di antara kami.
Aku tak dapat menanggapi perkataan Kiran, aku hanya terus berjalan perlahan agar Kiran lebih nyaman di punggungku.
“Danny, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” kini Kiran lagi yang memulai percakapan.
“apa?”
“apa yang membuat kamu sangat mencintai Sherly?” aku berhenti beberapa detik.
Beberapa saat yang lalu aku mulai menyukai kebersamaanku dengan Kiran, namun hanya dengan sebuah pertanyaan, Kiran membuatku sadar akan sesuatu, ya aku sangat mencintai Sherly dan seharusnya aku tidak memiliki perasaan seperti tadi terhadap Kiran.
“kenapa Lo nanyain itu?” aku kembali berjalan
“karena Ardit tidak pernah menjawabnya” perlahan aku menarik nafas dan menghembuskannya.
“Lo enggak kenal Sherly dengan baik kayak Gue dan Ardit, saat Lo mengenal Sherly Lo akan merasakan bahwa dia akan dengan mudah membuat orang jatuh cinta sama dia” kuhentikan ucapanku saat kepala Kiran bergerak untuk lebih menenggelamkan kepalanya di pundakku.
“Sherly sangat cantik, dia juga baik, Lo harus tahu bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah kata-kata yang indah. Sherly bukan gadis pendiam tapi dia juga bukan seorang gadis yang hyperactive. Sifatnya yang ramah dan penuh perhatian adalah alasan utama Gue mencintainya, mungkin itu juga alasan Ardit” aku berhenti lagi. Kiran semakin mengeratkan lingkaran tangannya di pundakku. Tak ada sepatah katapun dari Kiran.
“apa yang mau Lo tahu lagi? Dengan penjelasan Gue tadi, apa Lo akan tetap membenci Sherly? Gue rasa Ardit enggak suka sama Lo karena Lo gadis yang berisik, sangat bertolak belakang dengan Sherly” ku hentikan langkahku, namun Kiran tak menjawab.
“turunkan aku” saat aku mulai melangkah, Kiran berbicara.
“kaki Lo luka” tanpa mendengarkannya aku tetap berjalan kembali menuju resort.
“kakiku udah enggak sakit, jadi please turunkan aku Danny” Kiran sedikit meremas pundakku.
Perlahan aku menurunkannya, lebih berbahaya jika Kiran memaksa turun dan akhirnya terjatuh.
Tanpa mengucapkan apapun, Kiran berjalan menuju resort. Tak ada yang aneh dengan kakinya, ia berjalan seperti biasanya. Apa yang harus aku lakukan? Apa ia seperti ini karena perkataanku?
Aku terus memperhatikannya, sampai ku lihat ada beberapa pecahan kaca yang berada di depan Kiran dan bisa saja ia menginjaknya.
“Kiran!!” aku memanggilnya untuk memperingatkan. Namun Kiran tak berpaling, ia menginjak pecahan itu dan terus berjalan.
            Aku membelalakan mata melihat apa yang dilakukan gadis itu, ia menginjak pecahan kaca dan tak merasakan apapun. Kulihat jejak kaki Kiran di pasir bercampur dengan darah.
            “Kiran! Berhenti!!!!!” aku berteriak dan berlari mendekat. Ia sama sekali tak menggubrisku.
            “Kiran! Lo gila?!! Hah!!!!” aku memegang pundaknya dan membalikan tubuhnya agar menghadapku. Kulihat Kiran menahan air mata, ia berusaha keras agar tak menangis. Apa yang terjadi padanya? Tanpa menunggu lama aku langsung membopohnya.
            Tetesan darah yang dikeluarkan oleh kakinya membekas pada pasir pantai. Perlahan Kiran menenggelamkan wajahnya di dadaku, ia memegang kuat kaos yang aku gunakan. Isakan tangis yang tertahan dari bibir Kiran membuatku semakin panik.
            “Kiran!!!” suara Ardit tiba-tiba saja terdengar, aku menengok tepat di depan pintu resort.
            “Kiran, kamu kenapa?” Ardit sudah berada di hadapanku dan membelai rambut Kiran.
            “Ardit.” Kiran melepaskan pegangan tangannya padaku, gerak tubuhnya seakan mengatakan agar aku menurunkannya. Tentu saja aku tak akan melakukannya, dia terluka.
            “Biar Gue aja” Ardit mengambil alih Kiran, sekarang Kiran sudah berada dalam tangan Ardit.

            Aku tak bisa mengatakan apapun, mereka berdua saling mengenal, ditambah lagi Kiran mencintai Ardit. Aku hanya berjalan di depan mereka untuk menunjukan kamar Kiran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar