Her Fears
Dua hari tidak
bertemu Kiran sepertinya adalah hadiah dari Tuhan karena aku berhasil
memanfaatkan pinjaman hati malaikatnya dengan baik. Aku tidak bisa tidur setelah
kejadian malam itu, aku seperti bicara pada gadis lain bukan Kiran. Aku tidak
mungkin bersikap sebaik itu pada Kiran, gadis itu tidak mungkin setenang itu. Kiran
yang aku kenal sebelumnya adalah Kiran yang berisik dan berenergi. Tapi malam
itu, aku melihat Kiran diam, aku melihat matanya memancarkan kelelahan, aku
melihat pandangannya kosong. Kiran malam itu bukanlah Kiran si pembuat
kebisingan.
“Danny!!” baru
saja aku berpikir bahwa Kiran bukanlah pembuat kebisingan, pagi ini dia datang dengan
suara yang bising.
“kamu kok udah sampe sih? Jalanan cukup macet pagi ini, aku bahkan hampir
telat” ucapnya bertubi-tubi, apakah ia sudah lupa bahwa malam itu ia sadar
bahwa aku tidak suka ia berisik?
“Kiran, kamu akhirnya datang” Tuhan memang baik, Beni mengalihkan
perhatian Kiran dariku.
“iya
nih kak, kita akan shooting dimana? Kenapa harus membawa perlengkapan untuk satu minggu? Ini
sangat berat” aku memperhatikan gerak gerik manja Kiran pada Beni, sikap yang
ditunjukan Kiran untuk Beni memang sudah tidak asing lagi, setiap satu lokasi
dengan Beni, ia pasti bergelayutan manja. Tapi kali ini, aku tidak merasa jijik
dan mual, aku justru merasa, risih?
“aku juga tidak
tahu.. semoga saja tempat yang bagus” ucap Beni yang dibalas dengan anggukan
kepala Kiran. Beni pun mengusap kepala Kiran dan si
pemilik kepala itu tersenyum manis menandakan ia suka dengan perlakukan Beni.
Mengapa mereka
tidak tahu tujuan kami, apa Pak Bram hanya memberitahuku seorang? Bagaimana bisa? Apa yang
dirahasiakan Pak Bram? Dan mengapa ia harus merahasiakannya?
Setelah semua
kru dan para pemain masuk ke dalam pesawat, ada hal aneh yang terjadi. Beni
berusaha mencari Pak Bram dengan mimik wajah yang marah, ada apa sebenarnya? Pak
Bram memang sudah
berada di Bali sejak kemarin untuk mencari lokasi yang tepat bersama
beberapa kru. Beni baru duduk tenang setelah pesawat ingin take-off .
Aku berjalan
menuju kursi Beni untuk menanyakan apa yang terjadi, namun saat melalui kursi Kiran,
aku melihat gadis itu gemetar, ia menarik nafas dan menghembuskannya
berkali-kali, mungkin untuk menenangkan diri namun tidak berhasil. Kiran
memejamkan matanya, ia seperti takut untuk membuka mata, namun mengapa? Apa ia
takut dengan ketinggian? Tapi, jika iya, dia tidak akan dengan ceria datang
kebandara tadi.
“are
you okay?” aku
memberanikan diriku duduk di sampingnya, tapi ia tidak menjawab, ia hanya terus
menarik nafas dan menghembuskannya, kedua tangannya yang terkepal yang berada
dipangkuannya pun masih gemetar. Ia kembali membuatku bertanya, gadis ini
terlalu membuatku penasaran.
“Kiran?” aku
memberanikan diriku menggenggam tangannya, aku hanya berpikir bahwa ia butuh
seseorang sekarang. Perlahan Kiran membuka matanya, dengan nafas yang masih
tidak beraturan, Kiran menatapku. Oh
Tuhan! Mata itu. Aku melihat ketakutan dalam matanyanya, ia menatapku
seolah berkata ‘tolong aku, please’ dan itu membuat aku menguatkan genggamanku pada
tangannya.
Kiran kembali
memejamkan matanya, aku masih menggenggam tangan kirinya
dan tangan kanan Kiran menggenggam tanganku. Semakin lama genggamannya semakin kuat, deru
nafasnya semakin terdengar. Aku menolak semua yang ada dilogikaku saat ini,
tidak peduli siapa Kiran tidak peduli ia adalah pembuat kebisingan yang sangat
aku benci, yang aku peduli saat ini adalah Kiran membutuhkanku, setidaknya
sampai ia benar-benar tenang.
“Kiran” aku
mendongak mendapati Beni sudah berada disampingku.
“Ben, dia kenapa? dia terus gemetar dan ketakutan, dia takut ketingggian?” kesempatanku bertanya, aku yakin Beni
tahu alasannya.
“bukan, nanti gue ceritain, lo bisa duduk ditempat lo lagi, biar gue yang jagain dia” ucapan Beni seolah menjadi perintah yang takbisa aku
elakan.
Aku mencoba
melepaskan genggaman Kiran, namun gadis ini justru semakin kuat menggenggam
tanganku. “jangan” aku mendengar suara Kiran lirih, gemetar dan penuh
dengan nada ketakutan. Aku mendongak menatap Beni, seolah berkata ‘Lo
dengar? Dia enggak mau gue pergi’
“Kiran …. Aku
akan mengomeli Pak Bram setelah sampai di Bali, aku janji sama kamu” ucap Beni bersemangat dengan penuh kemarahan.
“jangan” suara Kiran, “don’t do it, I’m professional and I’m
sure I can do it ,so don’t do it, please. For me” ini adalah kalimat
terpanjang yang Kiran ucapkan setelah ia duduk di dalam pesawat.
Kiran tetap
memejamkan matanya, ia juga masih gemetar dan menggenggamku erat. Beni lebih
tenang dari sebelumnya, walau terkadang ia masih mendengus kesal. Aku sangat
ingin bertanya pada Kiran, apa sebenarnya yang terjadi? Dan apakah ia baik-baik
saja?
“are
you okay” aku
menoleh menatap Kiran, gadis itu perlahan membuka matanya. Masih seperti tadi,
masih ada ketakutan di dalam matanya. “I’m okay Danny” ia tersenyum, memaksa untuk tersenyum sebenarnya.
***
Kiran terus
menggenggam tanganku, ia tidak pernah melepasnya walau sedetikpun. Dulu,
mungkin aku yang akan mengibaskan tangannya agar berhenti menggenggamku, karena
aku tidak suka berdekatan dengan pembuat kebisingan. Namun, saat ini aku
merelakan diriku, Kiran sedang membutuhkanku dan lagi pula ia tidak sedang
menjadi gadis bising, ia diam bahkan terlampau menjadi pendiam yang justru
membuatku takut.
Kami menuju Jimbaran,
Bali. Kiran semakin
mengeratkan genggamannya, aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, harus ada
seseorang yang menjelaskan mengenai hal ini.
“kalian udah
sampai? Akhirnya, istirahat dulu, satu jam dipesawat pasti membuat badan kalian pegal.
Sore nanti ada take untuk Kiran dan Danny,
jangan lupa itu.” Pak Bram menyambut dengan senyuman bahagia.
“Pak
Bram! Gue mau ngomong sama Lo!” Beni berteriak, tatapannya memancarkan kemarahan.
“Kak
Ben!! Aku udah
bilang bukan tadi di pesawat? Dan aku mohon kamu enggak perlu berlebihan!” Kiran yang berada di sebelah
kiriku memandang Beni, tatapannya memohon.
“cantik sekali!
Aku yakin Kiran memang artis yang profesional” ucap Pak
Bram yang langsung
berbalik dan berlalu begitu saja.
“Kiran, apa
maksudmu dengan….”
“shut up! Aku cape
kak, aku ingin
istirahat” Kiran sedikit membentak Beni, ini pertama kalinya aku melihatnya
membentak Beni.
Kiran berjalan
menuju resort, entah disengaja atau
tidak sekarang ia berjalan di depan ku dengan menggandeng tanganku. Sejak tadi
memang Kiran belum melepaskan tangannya. Hari ini Kiran menjadi orang yang
tidak aku kenal, perubahan sikapnya membuatku semakin ingin tahu tentang
dirinya. Sepertinya ini bukan masalah ia membenci Sherly lagi, ini masalah
diriku yang ingin tahu lebih banyak tentangnya, tentang Kiran.
“Kiran” aku
memberanikan diri memanggil namanya.
“ya? Ohh maaf Danny,” sentak Kiran melepaskan
genggaman tangannya setelah berbalik dan menyadari ia sedang menggandengku. Ada
sedikit merasa kecewa dalam hatiku namun mendengar ia menyebut
kembali namaku, itu sepertinya lebih baik.
“it’s
okay, istirahatlah” aku tersenyum dan ia mengangguk mengiyakan.
Aku memandang
punggungnya semakin menjauh. Apa yang terjadi pada Kiran harus segera aku
tanyakan pada Beni dan juga Sarah yang sejak tadi hanya diam.
***
Setelah puas
beristirahat dan hari sudah hampir sore, aku bersiap menuju pantai untuk shooting. Sambil berjalan menuju pantai
aku memandang sekitar resort ini, lebih sepi dari biasanya, mungkin karena hari
ini adalah hari kerja dan belum masuk liburan sekolah. Aku hampir sampai di
pantai, ku melihat Beni dan Sarah sedang duduk agak jauh dari tepi pantai.
Mereka berdua melihat ke arah pantai dengan pandangan khawatir, sontak saja aku
mengikuti arah pandang mereka, dan benar saja dugaanku, Kiran berada disana
tidak jauh dari tepi pantai.
Aku duduk di
samping Sarah sambil membaca script ku.
Aku membaca bagian Kiran, ia hanya disuruh berdiri di bibir pantai, merendam
kakinya dan ia diperintahkan untuk menangis disana. Ya, memang film ini
menceritakan seorang wanita yang mencintai seorang pria, namun dalam pikiran
wanita itu sang pria tidak memiliki perasaan terhadapnya.
Bagian
selanjutnya adalah bagianku, aku berjalan mengamhampirinya, berdiri di
sampingnya dan menenangkannya. Aku kembali menatap Kiran yang sudah berjalan
perlahan ke bibir pantai, tidak terlalu dalam, Kiran yang perlu merendam
kakinya satu jengkal dari mata kaki. Sutradara sudah memulai merekam sebelum ia
mengatakan ‘action’, mungkin hal ini dianggap menarik dan lebih natural. Aku
memperhatikan dengan seksama, pandanganku langsung tertuju pada tangan Kiran
yang terkepal dan terlihat gemetar. Aku sontak menoleh menatap Sarah, seolah
bertanya ‘ada apa dengan Kiran?’
“Dia takut sama pantai, dia trauma dengan pantai dan air laut” tanpa aku bertanya
Sarah menjelaskan apa yang aku ingin tahu sejak kami berada di pesawat.
Aku kembali
memperhatikan Kiran, ia sudah merendam kakinya sesuai naskah. Namun ia tetap
berjalan, tangannya semakin gemetar. Aku membanting script ku dan langsung berlari ke arah Kiran, ini sudah tidak lucu,
Kiran bisa histeris dan sakit, aku tahu mengenai orang-orang yang memiliki
trauma.
“Kiran!” aku
berlari dan berhenti didepan Kiran lalu berbalik menatapnya. Aku melihat mata Kiran
berair, bibirnya gemetar begitu pula tangannya yang ternyata mengepal lebih
keras dari pada saat di pesawat, ia gemetar dan lebih ketakutan daripada yang
aku lihat di pesawat.
Sontak aku
memeluknya, aku langsung memeluknya tanpa berpikir tanpa memperdulikan kru dan
sutradara yang protes. Aku memeluknya seerat mungkin dan saat ini aku merasakan
tubuhnya bergetar, nafasnya tidak teratur, Kiran mematung. Aku tidak tahan
melihat Kiran seperti ini, aku tidak kuat melihat tatapan matanya yang sangat
ketakutan.
“it’s
okay, Gue disini” ucapku seraya terus memeluk Kiran dan
mengusap rambut panjangnya. Dengan keadaan seperti ini, aku bisa mendengar
detak jantung Kiran yang sangat cepat, ia benar-benar ketakutan.
“jangan takut, Gue
sama Lo Kiran” ucapku
lagi,
“cut!” aku
mendengar sutradara menghentikan proses shooting
ini.
Aku melepaskan
pelukanku, aku memegang kedua lengannya dan menatapnya. Ia menangis , oh Tuhan.. aku
tidak bisa melihatnya seperti ini.
“Danny” aku
masih bisa mendengar suara itu walau Kiran mengucapkannya dengan sangat lirih.
Aku tersenyum menatapnya, aku menatap tepat di bola matanya aku ingin
mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja karena ada aku disini.
“ayo, kita kembali” aku menggandeng tangan kirinya, namun Kiran
tidak bergerak sama sekali. Aku kembali berdiri dihadapannya, melihatnya yang
masih menatap dengan ketakutan. Aku memindahkan pandanganku pada kakinya, ia gemetar . sekarang aku tahu mengapa
ia tidak segera berjalan tadi. Aku harus segera membawanya pergi dari sini.
Aku melepaskan
genggaman tanganku lalu aku memposisikan tangan kananku di pundaknya, setelah
itu aku sedikit membungkuk untuk meraih belakang lutut Kiran, ya Aku
membopohnya.
“Danny” ucap Kiran
mencoba memprotes, tapi aku tetap membopohnya.
Perlahan Kiran
menggenggam kaosku dengan tangan kanannya, wajahnya disembunyikan di dadaku. Aku
dapat merasakan ia terisak, tangisnya akhirnya pecah. Tubuhnya benar-benar kaku
dan gemetar, aku harus segera membawanya kembali ke kamar.
“Kiran!” Beni
dan Sarah bersamaan mengampiri kami. “ada apa dengannya? Kiran, kamu
baik-baik aja kan?”
“Dia gemetar, lebih baik kita bawa ke dalam kamar”
ucapku sambil terus membopoh Kiran dan berjalan menuju resort. Beni dan Sarah
berjalan terlebih dahulu.
Sesampainya di
kamar, Sarah membereskan sebentar tempat tidur dan memposisikan bantal dengan
benar. Perlahan aku menurunkan Kiran di atas tempat tidur, tangannya masih
menggenggam kaosku dan masih sama seperti tadi, tubuh Kiran masih gemetar
hebat. Aku mencoba memegang tangan kanannya yang masih meremas kaosku, aku
mencoba melepaskannya.
“jangan” suara Kiran yang memohon, aku melepaskan genggaman
tangannya di kaosku lalu aku menggenggam tangannya erat. Tubuhnya kaku, dingin
dan gemetar. Ia hanya menatapku, air matanya terus mengalir dan seolah
berbicara bahwa ia sangat takut. Aku meletakan tangan kanan Kiran di perutnya,
kemudian ku genggam tangan kirinya, tidak ada bedanya, masih kaku dan gemetar.
“Kiran..” Beni
duduk di pinggir tempat tidur sebelah kanan Kiran lalu meraih tangan kanannya, Beni
menggenggamnya.
Kiran tetap diam
sambil memandangku, oh Tuhan… sadarkan Kiran.
Aku menyentuh pipinya yang sudah basah karena air mata, ia kembali terisak dan
dalam sekali gerakan Kiran melepaskan genggaman tangan Beni dan langsung duduk
lalu memelukku.
“aku takut, aku
takut Danny … aku.. aku..” Kiran terbata, isakannya semakin terdengar dan
pelukannya semakin erat.
Aku membalas
pelukannya, sangat erat, agar ia tahu bahwa aku ada disini dan ia tidak perlu
takut. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, tapi aku tahu bahwa saat ini Kiran
memerlukan seseorang untuk menenangkannya.
“aku takut…aku
tidak.. ingin kesana… aku.. akuu”
“sstttt..
tenanglah, Lo gak akan kesana lagi, Gue jamin Lo enggak akan menyentuh pantai itu lagi” aku mengusap
rambutnya mencoba menenangkan Kiran dan itu cukup berhasil karena Kiran tidak
lagi mengatakan apapun. Untuk sementara ini lebih baik, karena ia bisa saja
histeris jika terus berbicara tentang ketakutannya.
Aku terus
memeluk Kiran dengan erat dan mengusap rambutnya, sesaat aku melirik Sarah yang
mengajak Beni untuk keluar dari kamar. Awalnya Beni sedikit menolak, tapi
sepertinya Sarah berhasil meyakinkannya bahwa Kiran saat ini sedang
membutuhkanku. Perlahan mereka berdua berjalan keluar pintu.
Beberapa menit
aku memeluk Kiran, gadis ini sudah melonggarkan pelukannya, ia juga sudah tidak
terisak lagi.
“Kiran.”
Panggilku pelan, hanya untuk memastikan ia tertidur atau tidak. Namun tidak ada
jawaban, sepertinya ia benar-benar tertidur.
Aku melepaskan
pelukanku dan membantu Kiran agar berbaring di tempat tidur, perlahan ku tarik
selimut untuk menutupi tubuhnya. Ku rapihkan rambut yang sedikit berantakan di
sekitar wajahnya, menyelipkan helaian rambut di telingannya. Ku perhatikan
wajahnya yang sendu dan masih ada garis-garis wajah ketakutan. Dulu, aku pernah
melihat wajah seperti ini, wajah ketakutan.
Sherly berdiri menegang di depan
pintu mobilku, aku sudah membukakan pintu mobil untuknya, namun ia tidak segera
masuk.
“Sherly,
are you okay?” ia tidak
menjawab, ia hanya menggeleng tidak pasti, perlahan Sherly pun masuk dan duduk
di dalam mobil. Aku sedikit berlari menuju tempatku untuk mengendarai mobil
ini.
Aku memasang shift beltku dan
memutar kunci, saat aku ingin menginjak gas, kulihat Sherly hanya diam dan
menatap ke depan dengan pandangan kosong. Aku melihatnya belum menggunakan
shift belt, akupun berinisiatif untuk memasangkannya. Setelah aku berhasil
mengunci shift belt Sherly aku segera menginjak gas, dan tiba tiba ….
“jangan!!!!” Sherly berteriak yang sontak membuatku langsung
menginjak rem.
“kamu kenapa?” tanyaku, Sherly menggenggam tali shift belt dengan
gemetar, ia menatap kedepan dengan pandangan takut.
“jangan!!!! jangan!!! ini bukan salahku, … bukan!!!” Sherly memegang kepalanya dengan kedua tangannya,
ia histeris.
“Sherly,
kamu kenapa?” aku
melepaskan shift belt ku dan
memegang pundak Sherly dan memutarnya menghadap ke arahku. Ia menatapku dengan
pandangan takut. “are you okay?”
“Keluarkan aku!!!! Ini bukan
salahku!!!! cepat!! Keluarkan
akuuuu dari siniii!!!” Sherly menarik tangan kiriku dan menggenggamnya. Ia berteriak,
ia histeris dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Aku segera keluar dan membukakan
pintu mobil untuknya, ku lepas shift belt miliknya, ku bantu ia keluar dari
mobil. Namun, tiba-tiba ia terjatuh, ia pingsan. Aku segera membopohnya dan
berlari ke dalam rumah Sherly lagi.
“Danny! Ada apa dengan Sherly??” Sarah
bertanya dengan panik.
“aku tidak tahu! Buka pintu kamar Sherly!!”
pintaku cepat, Sarah berlari dan segera membuka kamar Sherly. Aku masuk dan
langsung membaringkannya di tempat tidur.
Ku tarik selimut dan membersihkan peluh yang membanjiri kening Sherly.
“ia tiba-tiba saja histeris saat
duduk di dalam mobil, aku tidak tahu kenapa” aku menjelaskan pada Sarah yang terlihat tidak kalah panik denganku.
“kau membawanya ke dalam mobil?
Kursi depan?” tanya Sarah dan aku hanya
mengangguk.
“jangan lakukan itu lagi” ucap Sarah,
aku menengok menatap.
“kenapa? Ada yang salah?” tanyaku, aku memang belum tahu
banyak mengenai Sherly.
“Dia tidak bisa duduk di depan, ia
trauma dan akan histeris” aku tetap menatap Sarah, menuntut jawaban yang lebih
jelas.
“saat itu, Aku dan Beni sedang
berada di sebuah acara penghargaan. Mama berjanji akan menyusul namun supir kami sedang sakit
dan akhirnya mama mengajak Sherly.
Saat itu, mama selalu
berteriak pada Sherly untuk lebih cepat karena ia sudah terlambat. Sherly tidak
pernah menyetir dengan kecepatan tinggi, ia selalu berhati-hati, namun Sherly
memaksakan dirinya karena mama selalu berteriak cepat. Lalu, tiba-tiba ada sebuh
truk besar berhenti dan Sherly tidak bisa mengendalikan mobilnya dan terlambat
mengerem, akhirnya mereka kecelakaan dengan menabrak truk itu, dalam kecelakaan
itu Sherly selamat namun mama akhirnya meninggal dunia.”
“Danny” aku
kembali tersadar dari kenanganku, Kiran menggenggam tanganku namun ia belum
membuka matanya. Kudengar deru nafasnya tidak beraturan, lipatan ketakutan di
wajahnya semakin jelas, peluh mulai bercucuran membanjiri wajahnya. Ia
menggenggamku semakin erat.
“Kiran ….
Tenanglah, Gue disini” ku genggam tangan kirinya dengan kedua
tanganku, aku ingin dia tahu bahwa aku masih disini bersamanya. Perlahan desah
nafas Kiran membaik, ku bersihkan peluh di wajahnya. Ia kembali tertidur dan
perlahan garis ketakutan mulai memudar di wajahnya.
Ku lepas
genggamanku pada tangannya, aku akan mengambilkan minum agar dia bisa lebih
tenang. Aku berjalan menuju dapur dan menuangkan air mineral ke dalam gelas. Semoga ini bisa membuatnya lebih tenang.
“enggak!!!!!!” tiba-tiba aku mendengar Kiran berteriak. Aku
berlari sambil membawa segelas air. Ku lihat Kiran sudah terduduk dan menjambak
rambutnya sendiri dengan kedua tangannya.
“Kiran!” aku
menaruh gelas di meja kecil di pinggir tempat tidur Kiran.
Aku memegang
kedua tangannya, mencoba melepaskan tangannya yang menjambak rambutnya sendiri.
“Kiran! Tenanglah!” aku sedikit membentak karena Kiran semakin gemetar dan
ketakutan.
Perlahan aku
berhasil melepaskan tangannya, ku genggam kedua tangannya “Tenanglah Kiran, Lo akan baik-baik aja” perlahan Kiran membuka matanya
yang sejak tadi terpejam. Ia menatapku, wajahnya sudah penuh dengan peluh dan
air mata, matanya memancarkan ketakutan, tidak ada kebahagiaan disana, tidak
ada sama sekali.
“Danny!” seolah
ia baru sadar aku berada disisinya, ia langsung memelukku.
Ada sedikit
keraguan dalam benakku, apa yang harus aku lakukan?, namun aku meyakinkan
diriku dan aku membalas memeluk tubuhnya yang masih gemetar, isakan tangis yang
tertahan masih sangat terasa dan terdengar di pundakku.
“it’s
okay, menangislah. Gue disini Kiran” pelukkannya semakin erat, aku dapat
merasakannya.
Sekarang logika
dan hatiku mulai berperang, tak seharusnya aku memperlakukan Kiran sebaik ini,
bukankah aku membencinya? Namun melihat Kiran yang ceria tiba-tiba histeris dan
menangis, ini justru keadaan yang paling aku benci.
Aku mengusap
lembut rambutnya, aku ingin dia lebih tenang dan nyaman, aku ingin dia kembali
menjadi Kiran yang aku kenal beberapa hari lalu. Hari ini, semuanya berubah,
kebencianku terhadap Kiran mulai memudar.
***
Pagi ini aku
menuju tepi pantai untuk menikmati suasana pagi yang indah di pantai Jimbaran. Shooting disini
seharusnya menjadi tempat yang sangat diinginkan oleh semua artis karena
tempatnya yang indah, namun jika mengingat apa yang terjadi kemarin, sepertinya
kata semua harus dihapus menjadi beberapa.
Aku berjalan
perlahan menyusurui pantai, dari jauh aku melihat sosok Kiran yang terduduk
tidak jauh dari tepi pantai. Ia menekuk kakinya dan menunduk. Apa yang sedang ia lakukan?
Perlahan aku
berjalan mendekat pada sosok Kiran, mungkin karena mendengar ada orang yang
mendekat Kiran pun mendongak untuk mencari tahu siapa yang datang.
“Danny” sapanya,
ia tersenyum. Senyum ini adalah senyum yang aku rindukan, ohh Tuhan! Apa yang aku katakan? Tidak, aku tidak merindukannya.
“ngapain
Lo disini?”
tanyaku langsung, aku harus menunduk untuk bicara dengan Kiran karena gadis ini
tidak berdiri dan tetap saja terduduk di atas pasir.
“tadinya aku
ingin berjalan-jalan di pinggir pantai, tapi….” Kiran tidak melanjutkan
kalimatnya, ia justru melihat kakinya.
“tapi apa?”
tanyaku lagi tanpa tahu apa maksud dari gerak-geriknya.
“aku kena
ranting tajam dan terjatuh lalu kakiku sedikit terkilir” sontak aku langsung
memperhatikan kakinya.
Aku berjongkok
untuk melihat luka yang ada di kaki Kiran, ada sebeset luka di telapak kakinya
dan di pergelangannya sedikit membiru.
“lalu sekarang
Lo mau ngapain?”
tanyaku sambil masih melihat kaki Kiran, mungkin saja ada luka yang lain.
“karena aku
tidak bisa menyusuri pantai, aku mungkin akan duduk disini sampai Beni
membawaku
kembali ke kamar”
Mendengar
jawabannya entah mengapa membuat aku sedikit jengkel.
“Lo masih mau menyusuri tepi pantai?” tanyaku, ia lalu memandangku
dan mengangguk.
Akhirnya, ku
posisikan tubuhku berjongkok membelakanginya.
“apa maksudnya Danny?”
tanyanya,
“naiklah, cepet!” jawabku
“tapi…”
“cepetan!!!!” ku potong kata-katanya, ia sepertinya sedikit
tersentak. Lalu perlahan kurasakan Kiran mulai mendekat ke punggungku.
Ku gendong Kiran
di punggungku, ia melingkarkan kedua tangannya di pundakku yang hampir ke
leher. Perlahan aku jalan menyusuri pantai. Mungkin ini tidak pernah aku
inginkan bahkan aku bayangkan.
“Danny”
“ya..” jawabku.
“mengapa kamu baik sekali sama aku?” Kiran kembali bertanya.
“karena lo sedang kesulitan”
“apa kamu akan menolongku setiap aku kesulitan?”
kini Kiran menyandarkan kepalanya di pundakku
“ya, kalo Lo lagi ada di deket Gue” aku menjawab
dengan perasaan yang campur aduk, aku selalu membencinya, selalu mengharapkan
ia jauh dariku, namun sekarang justru aku yang menawarkan diri untuk dia berada
di punggungku.
“kalau begitu aku akan selalu di dekat kamu, aku
suka kamu baik padaku” mendengar perkataan Kiran membuatku spontan saja
tersenyum. Dulu aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya, sekarang aku
membuat tidak ada jarak di antara kami.
Aku tak dapat menanggapi perkataan Kiran, aku hanya
terus berjalan perlahan agar Kiran lebih nyaman di punggungku.
“Danny, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” kini Kiran
lagi yang memulai percakapan.
“apa?”
“apa yang membuat kamu sangat mencintai Sherly?” aku
berhenti beberapa detik.
Beberapa saat yang lalu aku mulai menyukai
kebersamaanku dengan Kiran, namun hanya dengan sebuah pertanyaan, Kiran
membuatku sadar akan sesuatu, ya aku sangat mencintai Sherly dan seharusnya aku
tidak memiliki perasaan seperti tadi terhadap Kiran.
“kenapa Lo nanyain itu?” aku kembali berjalan
“karena Ardit tidak pernah menjawabnya” perlahan aku
menarik nafas dan menghembuskannya.
“Lo enggak kenal Sherly dengan baik kayak Gue dan Ardit,
saat Lo mengenal Sherly Lo akan merasakan bahwa dia akan dengan mudah membuat
orang jatuh cinta sama dia” kuhentikan ucapanku saat kepala Kiran bergerak
untuk lebih menenggelamkan kepalanya di pundakku.
“Sherly sangat cantik, dia juga baik, Lo harus tahu
bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah kata-kata yang indah. Sherly
bukan gadis pendiam tapi dia juga bukan seorang gadis yang hyperactive. Sifatnya yang ramah dan penuh perhatian adalah alasan
utama Gue mencintainya, mungkin itu juga alasan Ardit” aku berhenti lagi. Kiran
semakin mengeratkan lingkaran tangannya di pundakku. Tak ada sepatah katapun
dari Kiran.
“apa yang mau Lo tahu lagi? Dengan penjelasan Gue
tadi, apa Lo akan tetap membenci Sherly? Gue rasa Ardit enggak suka sama Lo
karena Lo gadis yang berisik, sangat bertolak belakang dengan Sherly” ku
hentikan langkahku, namun Kiran tak menjawab.
“turunkan aku” saat aku mulai melangkah, Kiran
berbicara.
“kaki Lo luka” tanpa mendengarkannya aku tetap
berjalan kembali menuju resort.
“kakiku udah enggak sakit, jadi please turunkan aku Danny” Kiran sedikit meremas pundakku.
Perlahan aku menurunkannya, lebih berbahaya jika Kiran
memaksa turun dan akhirnya terjatuh.
Tanpa mengucapkan apapun, Kiran berjalan menuju
resort. Tak ada yang aneh dengan kakinya, ia berjalan seperti biasanya. Apa yang harus aku lakukan? Apa ia seperti
ini karena perkataanku?
Aku terus memperhatikannya, sampai ku lihat ada
beberapa pecahan kaca yang berada di depan Kiran dan bisa saja ia menginjaknya.
“Kiran!!” aku memanggilnya untuk memperingatkan.
Namun Kiran tak berpaling, ia menginjak pecahan itu dan terus berjalan.
Aku membelalakan mata melihat apa
yang dilakukan gadis itu, ia menginjak pecahan kaca dan tak merasakan apapun.
Kulihat jejak kaki Kiran di pasir bercampur dengan darah.
“Kiran! Berhenti!!!!!” aku berteriak
dan berlari mendekat. Ia sama sekali tak menggubrisku.
“Kiran! Lo gila?!! Hah!!!!” aku
memegang pundaknya dan membalikan tubuhnya agar menghadapku. Kulihat Kiran
menahan air mata, ia berusaha keras agar tak menangis. Apa yang terjadi padanya? Tanpa menunggu lama aku langsung
membopohnya.
Tetesan darah yang dikeluarkan oleh
kakinya membekas pada pasir pantai. Perlahan Kiran menenggelamkan wajahnya di
dadaku, ia memegang kuat kaos yang aku gunakan. Isakan tangis yang tertahan
dari bibir Kiran membuatku semakin panik.
“Kiran!!!” suara Ardit tiba-tiba saja terdengar, aku menengok tepat di
depan pintu resort.
“Kiran, kamu kenapa?” Ardit sudah
berada di hadapanku dan membelai rambut Kiran.
“Ardit.” Kiran melepaskan pegangan
tangannya padaku, gerak tubuhnya seakan mengatakan agar aku menurunkannya.
Tentu saja aku tak akan melakukannya, dia terluka.
“Biar Gue aja” Ardit mengambil alih Kiran,
sekarang Kiran sudah berada dalam tangan Ardit.
Aku tak bisa mengatakan apapun,
mereka berdua saling mengenal, ditambah lagi Kiran mencintai Ardit. Aku hanya
berjalan di depan mereka untuk menunjukan kamar Kiran.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar