Rabu, 02 November 2016

[NOVEL] I Love You Before - Bab VI

Bab VI

Tell Me Why
            “Aku nunggu Ardit” ia menjawab dengan ceria. Aku hanya menanyakan, apa yang sedang ia lakukan. Tapi ia justru membuatku ingin loncat ke jurang yang paling dalam, kenapa harus selalu Ardit yang membuatnya begitu ceria.
            “oh” jawabku singkat, Aku segera berjalan dengan cepat ke arah mobilku, tak ada gunanya aku disini, ia tak menungguku, ia menunggu Ardit. Ya Tuhan! Apa yang gue pikirin tadi?
            “Danny... mau kemana?” aku reflek berbalik dan kembali menatapnya. Ini kebiasaan yang buruk, aku seharusnya tidak memperdulikannya.

            “Aku ingin menemui Sherly, sudah lama aku tak menemuinya” Aku ingin tahu reaksi gadis dihadapanku ini, akankah ia cemburu? OMG! Danny, lo mikir apa lagi, mana mungkin Kiran cemburu dengan seseorang yang jelas-jelas sudah meninggal!
            “oh” DOR! Ia membalas perlakuanku. Dan sedetik kemudian, Ardit sudah merangkul Kiran.
            “sorry, Kiran harus pulang” aku tak ingin menjawab, apalagi melihat adegan-adegan mesra kedua orang itu.
***
            Aku menaruh sebuket bunga mawar di samping makam Sherly. Aku masih merindukannya, aku masih menginginkannya, aku masih mencintainya. Jika kehilangan seseorang yang aku cintai akan membuatku seperti ini, aku lebih baik mati bersamanya.
            “Miss you Darl. I miss you .. really” aku mengusap sedikit papan namanya, aku kembali sadar bahwa aku masih sangat mencintai Sherly.
            “aku harus sering kesini bukan? Kau pasti marah karena aku sudah lama sekali tidak mengunjungimu. Maaf, aku tidak akan mengulanginya”
            Aku menghambiskan waktu hampir satu jam di makam Sherly dan kuputuskan untuk pulang saat ini. Aku berbalik dan berjalan perlahan pergi meninggalkan Sherly.
            “hallo” suaraku menjawab sebuah panggilan
            “Danny” tanpa aku bertanya, aku sudah tahu siapa yang menelpon. Kiran, suaranya sudah begitu familiar.
            “Yaa..” jawabku lagi. Aku menghentikan langkahku, Kiran selalu bisa menghentikanku dari segala kegiatan ku.
            “ini aku, Kiran” ya, tanpa ia berkata seperti itu pun aku sudah tahu, suaranya sudah menjadi sangat familiar ditelingaku.
            “hmm ya, kenapa?” tanyaku, ini pertama kalinya Kiran menghubungiku.
            “aku nunggu kamu di parkiran. Bisa kesini?” tanpa menjawabnya, aku reflek berlari secepat mungkin.
            “parkiran? Parkiran mana Kiran?” aku bingung dan kembali menghentikan langkahku, apa mungkin ia menunggu di parkiran tempat kami shooting tadi.
            “makam”
            Satu kata itu membuatku kembali berlari dengan lebih cepat dari sebelumnya.
            Bagaimana mungkin ia tahu aku berada disini, apakah ia mengikutiku? Semua yang ia lakukan bisa membuatku bergerak dengan reflek untuk tak mengacuhkannya. Kiran membuatku memiliki lebih banyak spontanitas, suaranya sudah menjadi perintah bagiku. Ada apa denganku sebenarnya?
            Aku memperlambat langkahku saat aku melihat Kiran sedang bersandar di mobilku, ia sudah mengganti pakaiannya. Kiran menggunakan rok mini hitam dipadukan dengan t-shirt berwarna merah. Aku selalu suka melihatnya memakai warna merah.
            Perlahan aku mendekati Kiran yang menundukan kepalanya, ia tidak menyadari kedatanganku. Pandangan gadis itu kosong menatap flatshoes merah berpadu hitam yang ia gunakan, tak ada gerakan dari Kiran dan aku melangkah semakin dekat dengannya.
            “Kiran?” aku berdiri tepat di depannya. Cukup dekat untuk membuatnya tersadar dari lamunannya.
            “oh, kamu udah disini” Kiran menengadah memandangku, ia menarik garis senyumnya, kaku.. ia tidak sedang tersenyum, aku yakin akan itu.
            “are you okay?” aku menatap tepat di matanya dan aku mendapati ia menahan air mata. Tidak biasanya Kiran menelponku, tak biasanya ia melamun seperti itu, aku pernah melihat ia tersenyum seperti ini dan itu terjadi karena ia memiliki masalah atau bahkan bersedih.
            Kiran mengangguk dan tersenyum lagi. Bibirnya bergetar, ia bukan Kiran, Kiran yang ku kenal tidak pernah tersenyum seperti ini. Aku lebih mendekat padanya, lalu perlahan kutarik tubuhnya dan memeluknya. Kiran hanya diam membisu dalam pelukku, tak ada kata yang terucap dan perlahan aku rasakan Kiran membalas pelukanku.
            “tidak perlu mengatakan apapun, it’s okay Kiran, everything gonna be okay” aku merasakan tubuhnya bergetar, ia terisak, dan aku sadar ia menangis. Semakin lama tubuhnya semakin gemetar, aku mengeratkan pelukanku begitu aku merasakan Kiran meremas baju belakangku dan mengeratkan pelukannya. Banyak pertanyaan di dalam otakku, tapi aku tahan semuanya, ia akan bercerita dengan sendirinya nanti, ya aku tahu She Will.
***
            “Ardit mengatakan ia mencintaiku, bukankah aku harusnya senang? Bukankah aku harusnya menangis gembira, Dann?” Kiran menatapku, kami sudah berada di bangku Taman Suropati dan Kiran sudah bisa menenangkan dirinya setelah beberapa menit di dalam mobil ia hanya diam seraya meremas-remas jari tangannya sendiri.
            “bilang ke aku Dann, kenapa? Kenapa aku harus nunggu begitu lama untuk mendengar kata cinta darinya? Bilang ke aku kenapa aku harus menangisinya bertahun-tahun untuk membuatnya mencintaiku? Bilang ke aku kenapa Dann?” Kiran menggenggam t-shirt  yang aku gunakan.
            Perlahan aku mendekatkan tubuhnya, aku ingin memeluknya, aku tahu aku tak akan mengerti apa yang ia rasakan. Tak ada penolakan dari Kiran, ia hanya diam.
            “kau masih mencintainya?” aku masih memeluknya dan mengusap lembut rambut panjangnya. Pertanyaanku hanya di jawab oleh gelengan kepala. Ia tak mencintai Ardit lagi.
            “Tinggalin dia, jawab enggak. Mungkin lo lelah nunggu lama buat ia ngomong kayak gitu ke lo, tapi lo juga harus inget, kalo dia bener-bener sayang sama lo, dia gak akan ngebiarin lo nunggu, ngebiarin lo nangis, bahkan dia gak akan ngebiarin lo pergi waktu itu.” Kiran memelukku lebih erat.
            Aku membiarkannya tetap seperti ini, aku membiarkan diriku seperti ini. Ini mungkin akan menguatkan perasaanku untuknya, ini mungkin akan membuatku kembali melupakan Sherly, tapi ini mungkin yang bisa membuat Kiran kembali tersenyum, kembali tertawa, kembali ceria.
            Kiran mendorong tubuhnya, ia mungusap air mata yang membasahi pipinya.
            “maaf Dann..” ucapnya seraya berdiri
            “lo mau kemana?” aku pun berdiri meihat ia sudah bersiap untuk melangkah pergi.
            “pulang Dann, maaf dan terimakasih.. aku udah lebih baik”
            Aku langsung mengenggam tangannya, menggandengnya menuju mobil.
            “biar gue anter”
            “gak perlu Dann, aku bisa naik Taxi.” Ia menahan langkahnya
            “bisa gak lo nurut dulu sama gue? Ini udah malem Kiran, lo mau naik taxi malem-malem gini? Lo gak tahu sekarang lagi nghits perampokan dalam taxi? Pemerkosaan? Bahkan sampe pembunuhan, lo mau berakhir kayak gitu??” sontak aku sedikit berteriak yang membuatnya diam dan mulai mengikuti langkahku.
***
            Aku menghentikan mobilku tepat di gerbang rumahnya.
            “makasih ya Dann, maaf jadi ngerepotin kamu.” Kiran membuka sabuk pengamannya.
            “Kiran..”  aku menggenggam tangan kanannya, ia memandangku bingung.
            “inget apa yang gue bilang tadi kan?” kiran memiringkan sedikit kepalanya, seakan berpikir tentang sesuatu.
            “ohh iya Dann, aku akan hati-hati sama taxi, sekarang lagi nghits perampokan, pemerkos...hm”
            Aku menutup mulutnya dengan tangan kananku,
            “Bukan! Tentang Ardit, lo gak akan ner..”
            “engga Dann, iya aku inget kata-kata kamu” kalimatnya yang terakhir itu membuatku lebih lega untuk melepasnya masuk ke dalam rumah.
            “Thanks ya Dann.. besok hari terakhir, semangaaatttt”
            Kiran tersenyum dan itu adalah hal yang aku ingin lihat sejak tadi,
            Aku masih berdiri di depan rumah Kiran, menunggu gadis itu sampai masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ada yang aneh dalam hatiku, Aku merasa Kiran tidak menangis karena hal tadi, ada sesuatu yang lain yang membuat Kiran menangis, tapi apa?
Ku kendarai mobilku dengan perlahan sambil memikirkan apa yang  Kiran tangisi.
“Jika ia menangisi Ardit, bagaimana ia tahu aku berada di makam? Bagaimana ia bisa berganti pakaian dahulu? Bukankah ia pergi bersama Ardit setelah shotting dengan menggunakan pakaian yang berbeda dan.. tunggu..” aku mencari sesuatu yang Kiran pegang sebelumnya.
            “ini dia...”
            Aku memarkirkan mobilku di pinggir jalan untuk membuka kotak yang Kiran bawa. Perlahan aku membuka pita yang menghiasi kota berwarna pink ini, dan..
            “Bunga tuju rupa, untuk apa.. dan.. apa ini? Sebuah cincin? Ini.. ini cincin yang Kiran pernah berikan padaku untuk di berikan pada Sherly, mengapa bisa berada di Kiran lagi? Apa, Kiran berniat mengunjungi Sherly? Tapi, mengapa ia menangis karena Ardit? Ada sesuatu yang aneh dari gadis ini”
            Aku memasukan kotak itu pada dashboard mobil,
“ini sudah terlalu larut untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Besok lebih baik gue tanyakan pada Kiran, ya Besok. Tunggu, Besok? Besok adalah hari terakhir. Ya, tadi Kiran ngomong gitu, oh My God. Kenapa gue jadi gak rela gini? Bukannya ini yang gue mau? Akhhhh!!!! Gue udah gila!”
***
Aku memperhatikan Kiran yang sedang take, hari ini hari terakhir, mungkinkah hari ini juga akan menjadi hari terakhirku melihat senyumannya?. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya, kebisingan yang ia ciptakan, suaranya yang ceria, semua hal yang sebelumnya aku benci menjadi hal yang tak ingin aku lepaskan.
Aku memandang kotak milik Kiran di pangkuanku, aku berniat akan memberikan ini padanya, mengembalikannya. Mengapa ia ingin ke makam Sherly? Aku belum pernah melihatnya disana. Jika ia merasa sedih jika melihat Sherly, mengapa malam itu ia memberanikan diri pergi kesana? Apakah selama ini, ia diam-diam pergi mengunjungi Sherly?
“itu milikku” aku menatap pemilik suara itu, ya tentu saja Kiran, kotak ini miliknya.
“tertinggal di mobilmu?” Kiran menatapku, aku ingin membahas tentang keberadaannya semalam, namun aku takut itu akan membuat Kiran kembali bersedih.
“kamu kok diem Dann? Ada yang mau kamu tanyain?” Kiran kembali bertanya, ia perlahan duduk di sampingku.
“kamu pasti mau nanya masalah kotak itu dan masalah kenapa aku ada di makam semalam ya?” aku spontan megubah posisiku menatapnya takjub, apakah gadis ini benar-benar bisa membaca pikiranku?
“haha, itu kotak isinya bunga sama cincin untuk Sherly, niatnya aku mau ke makam kemarin. Saat aku lihat mobil kamu di parkiran, aku justru kepikiran buat nelpon kamu. And... cincinnya aku temuin di lokasi shooting waktu itu. Aku gak bilang ke kamu karena aku kira kamu sengaja buang cincinnya. Maaf ya Dann”
Kiran menjawab semua pertanyaanku sebelumnya, namun dari jawabannya timbul beberapa pertanyaan dalam otakku.
“untuk apa lo menemui Sherly?” tanyaku
“yaa say hello and say good bye aja tadinya, sekalian ngasih cincin dari Ardit.” Jawabnya santai sambil tersenyum
“So, lo gak niat ketemu gue? Lo spontan nelpon gue pas diparkiran? Kenapa? Kalo lo sedih karena apa yang lo rasain atas ucapannya Ardit, bukannya lo gak harus nelpon gue di parkiran? Bukannya lo bisa ke makan Sherly setelah itu nelpon gue? Tapi lo putusin buat nelpon gue duluan, why? Tell me Why?” aku mengatakan semua yang ingin aku tanyakan, dengan sebuah tekanan nada di pertanyaan terakhir.
Kiran diam, dia tersenyum dan beranjak dari kursi di sampingku. Ia menatapku sebentar dan tersenyum.
“take terakhir Dann, ayoo” Kiran berjalan menuju lokasi terakhir hari ini dan untuk film ini.
Aku mengikuti langkah Kiran yang sudah bersiap di depan kamera. Kami berada di atas gedung. Rooftop, adegan disini Kiran akan menangis dan memelukku dan menutarakan perasaannya. Kami tak pernah berlatih untuk adegan bersama, tidak sekalipun. Apapun yang ada di skenario kami berlatih sendiri-sendiri, namun entah mengapa Kiran selalu melakukannya dengan baik, ya begitu pula aku.
Kiran menatapku, tentu saja ia sedikit menengadah karena tinggi tubuhnya yang tak sebanding denganku. Perlahan Kiran kembali berjalan mendekatiku, saat itu Kiran memelukku erat, sangat erat.
“maaf...” kata pertama dalam skenario.
“aku minta maaf..” kalimat selanjutnya yang Kiran ucapkan, tak ada dalam script namun sutradara membiarkannya. Bibirku sedikit bergetar ingin menanyakan sesuatu, namun langsung terhenti karena Kiran sudah terisak.
“aku salah, aku memang salah, ..” diam, kalimat yang harusnya di ucapkan Kiran terpotong oleh isak tangisnya. Aku seharusnya mengucapkan dialogku saat Kiran menyelesaikan dialognya, namun karena isakan tangisnya membuatku bingung harus bagaimana, reflek aku membalas pelukannya, harusnya aku tak melakukan ini karena tidak ada kata cut yang diucapkan sutradara aku terus memeluknya.
“maafkan aku karena... hm aku... aku menyukaimu, maaf. Aku tak boleh merasakan ini bukan? Aku tak bisa merebutmu dari kekasihmu, tidak.. sungguh aku bersumpah bahwa aku tak berniat merebutmu” Kiran masih terisak, seharusnya aku melepaskan pelukannya dan bertanya ‘kenapa’.
“biarkan tetap seperti ini. Hanya kali ini, please...” kalimat itu tak ada dalam dialog namun tak ada suara sutradara, berarti ia menyetujui apa yang dilakukan Kiran, namun apa yang harus aku lakukan? Ini bukan keahlianku, aku tak bisa mengarang cerita cinta seperti ini.
“aku akan mengatakannya dengan cepat.. jadi kumohon biarkan aku tetap seperti ini..” ucap Kiran. aku membiarkan ia memelukku untuk mengetahui akhir dari kalimatnya.
“aku tidak tahu sejak kapan aku menyukaimu, aku tidak tahu mengapa aku menyukaimu, aku bahkan tidak yakin ini cinta.. namun, melihat kau tersenyum karenanya, melihat kau terus bersamanya, itu membuat hatiku sakit. Apa ini yang disebut cinta? Aku minta maaf karena hal ini, tak seharusnya aku merasakannya bukan? Maafkan aku, aku mohon maafkan aku” Kiran kembali terisak lalu secara perlahan ia merenggankan pelukannya dan entah mengapa aku merasa kecewa.
“aku hanya ingin mengatakan ini satu kali seumur hidupku dan untuk yang terakhir kali” Kiran sedikit berjinjit mengarahkan bibirnya ke telingaku
“sorry. I love you...” dengan cepat Kiran langsung membelakangiku dan berjalan pergi. Aku sontak mengejarnya dan meraih tangannya.
“kau sudah selesai bicara?” ohh tidak, ini tak ada dalam skenario
“giliranku..” aku memegang bahunya dengan kedua tanganku, ia menunduk tak berani menatapku.
“aku tak menerima permintaan maafmu.” Dengan kaget Kiran sontak menengadah menatapku, matanya sedikit terbelalak, aku tak bisa membedakan apakah ia berakting atau tidak.
“karena apa yang kau katakan tidak salah” perlahan aku mendekatinya benar-benar dekat.
“aku mencintaimu.. sangat mencintaimu..” Kiran shock, ya aku tahu ini hanya acting namun ini seperti nyata.
Perlahan aku mendekati bibirnya, ya ini adegan kiss pertamaku, maksudku pertama bersama Kiran. Ia tampak kaget tak berkedip, bahkan saat bibirku sudah menempel di bibirnya. Bibirnya lembut, terasa manis, apakah ia menggunakan lipstik dengan rasa?
”CUT!!!!...finish! good job!”
Aku kaget dan segera melepaskan bibirku dari Kiran. Aku melihat Kiran yang tersenyum padaku. Berbeda saat adegan terakhir tadi, pandangannya lebih bersinar.
“kau hebat Dann.” Tanpa menunggu jawabanku Kiran berbalik berniat untuk pergi, namun dengan kecepatan tanganku yang bagai ninja ini, aku berhasil menahan pergelangan tangannya.
“hanya itu?” aku menatapnya, ia sedikit bingung.
“kita makan malam bersama, jam 8 gue jemput lo” aku langsung beralari tanpa mendengarkan apa yang Kiran katakan.
***
            Aku menatap Kiran yang sudah berdiri dihadapanku dengan gaun midi berwarna hitam bercampur ungu, tak ada pulasan make up yang berarti di wajahnya, bibirnya pun tak menggunakan lipstik, ia mengikat rambutnya yang justru memperlihatkan bahu nya.
            “lepas ikatan ini” aku menarik ikat rambut berwarna hitam yang ia gunakan.
            “Danny.. kembaliin” Kiran ingin meraih tanganku yang memegang ikat rambutnya. Aku segera memasukan ikat rambut itu ke saku belakang celanaku dan saat itu Kiran langsung menatapku dengan tampang cemberutnya.
            “ayo cepat masuk. Gue udah laper” dengan tetap cemberut, Kiran masuk.
            Sepanjang perjalanan Kiran hanya melipat tangannya di dada dan cemberut, menatap lurus ke depan tanpa menengok ke arahku sekalipun. Harusnya aku minta maaf bukan? Tapi melihatnya seperti ini sangat menghibur untukku.
            Aku mengendari mobil dengan serius, namun tiba-tiba aku melihat kalung dengan liontin hati di dashboar mobilku. Aku ingat, ini milik Sherly, ia sangat menyukai benda-benda klasik seperti ini. Sherly selalu menggunakannya, di dalam liontin itu terdapat fotoku dan dirinya. Apa yang gue lakuin sekarang? Dinner sama cewe lain? Oh My God!
            “Kalung punya Sherly ya?” Aku sontak memperlambat kecepatan mobilku. Kiran ternyata menyadari aku menatap kalung itu.
            “Iya..” aku tak tahu harus menjawab apa, aku merasa canggung membicarakan Sherly dengan Kiran. Aku pun merasa tidak enak hati dengan Sherly, aku seperti melupakannya.
            “Kita batalin aja ya Dann?” Kiran menatapku, dengan spontanitas aku menepikan mobilku. Apakah Kiran memang bisa membaca pikiranku?
            Kiran tetap menatapku, aku tahu ia menunggu jawaban dariku. Tapi, aku sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan padanya. Aku sadar, Sherly memang sudah tiada, namun dekat dengan wanita lain secepat ini bukankah tidak wajar. Aku juga yang mengajak Kiran, tak mungkin aku tiba-tiba membatalkannya.
            Aku menatap Kiran, matanya ya tepat di matanya.
            “untuk apa? Sebentar lagi sampai...” jawabku, aku segera memasukan gigi dan kembali mengendari mobilku.
            Kiran hanya diam, tak ada suara lagi darinya. Apapun yang ia pikirkan tak bisa aku tebak, wanita ini selalu bisa membuat kejutan-kejutan yang tak terduga. Jika dia wanita biasa mungkin ia sedang memikirkan kemana kita akan pergi, namun jika ia adalah wanita yang menyukaiku ia akan sangat terusik dengan kalung itu dan ia akan memaksa untuk di antar pulang. Tapi, dia adalah Kiran, tak ada yang bisa ku tebak dari dirinya, ia menyukai Ardit, bersahabat dengan Beni dan sarah, serta yang paling mengejutkan adalah ia masih bisa berdekatan denganku dan semua orang yang berhubungan dengan wanita yang sangat ia benci, Sherly.
            “Wahh kita akan makan disana?” Lamunanku buyar mendengar suara Kiran yang ceria. Anggukanku saja yang menjawab pertanyaannya.
            “wahhh aku belum pernah ke sana, terimakasih Danny..” Ia menatapku dengan senyum yang biasanya.
            Aku memarkirkan mobilku dan beberapa deti kemudian Kiran sudah keluar dari mobil, dia sepertinya sangat semangat. Aku mengikuti langkahnya yang menuju pintu masuk.
            “meja atas nama Danny.” Ucapku pada salah satu pelayan.
            Kiran mengikuti pelayan itu seraya memandang keseluruhan isi restaurant. Ia sepertinya benar-benar menyukai restaurant ini. Apa Kiran tahu bahwa restaurant ini adalah favorit Sherly? Mungkin jika ia tahu ia tidak akan sesenang ini.
            “silahkan” ucap pelayan setelah mengantar kami sampai di meja yang ku pesan. Meja ini juga meja favorit Sherly. Sepertinya aku harus diam dan tidak memberitahunya mengenai itu.
            “sebelum aku pergi dulu, aku ingin sekali kesini namun tak pernah sempat” ucapnya, ia sudah memandangi sebuah danau dengan penerangan yang sangat bagus dari luar jendela.
            “Restaurant ini sangat bagus kan?” Tanyaku, ia menengok padaku dan tersenyum.
            “kamu bilang juga gak kenapa-kenapa kok Dann.” Ucapnya yang masih menatapku
            “maksud lo?” Aku bingung, tak mengerti apa yang ia ucapkan. Kiran sedikit memajukan kursinya dan menatapku. Aku membalas tatapannya, perlahan Kiran menarik garis senyumnya dan itu sangat cantik.
            “aku tahu restaurant ini favorit Sherly, aku juga tahu meja ini meja favoritnya. Kamu harus tahu alasan aku ingin sekali kesini adalah karena Ardit selalu memotret Sherly yang duduk disini dari tempatmu sekarang. Ardit selalu bilang bahwa ia akan selalu merasa jatuh cinta pada Sherly saat ia melihat foto sherly di sini” senyum Kiran semakin indah, namun aku baru sadar bahwa aku tak memperhatikan matanya.
            “maaf ya Sherly, aku pinjam sebentar kursi dan meja favoritmu di restaurant ini ohh dan tentu saja Danny” ucap Kiran seraya mengusap meja dan menatapku.
            Aku tak tahu harus mengatakan apa pada wanita di hadapanku ini. Ia selalu memiliki kejutan yang membuatku kehabisan kata. Aku tak bisa menebak apakah ia senang atau sedih saat ini, ia terlalu abstrak.
            “makanlah...” ucapku saat pesananku sudah datang. Aku sengaja tak membiarkan ia memilih menu dan sudah memesannya terlebih dahulu, karena aku akan memilihkan makanan yang paling enak disini.
            Kiran tersenyum, ia mengucapkan selamat makan dengan ceria dan memotong steak nya kecil lalu memakannya. Ia langsung menatapku dan kembali tersenyum, ya aku sudah tahu ini sangat lezat.
            “kamu mau tau kan kenapa aku kemarin ke makam?” aku sontak menatapnya kaget, apakah ia ingin bercerita lagi.
            “Aku memang tak ada niat menghubungimu” kiran kembali mengunyah makanan di mulutnya. Kiran kemudian minum dan melanjutkan kalimatnya.
            “Setelah bertemu Ardit aku memang berniat akan ke makam, alasannya sudah ku katakan tadi kan Dann. Setidaknya, aku ingin say hello terlebih dahulu kepada Sherly sebelum aku pergi. Aku tak ingin membencinya, sungguh. Benar katamu, ini bukan salah Sherly, memang bukan...”  kiran menarik nafasnya lalu menghembuskannya
            “aku pikir ini juga bukan salah Ardit” ucapnya terpotong. Aku sudah tidak bernafsu untuk makan, aku lebih tertarik pada Kiran saat ini.
            “aku ingin pergi, benar-benar pergi dari sisi Ardit dan dari kenangan Sherly, karena itu aku memberanikan diri ke makam. Namun.. saat aku sampai di tempat parkir, aku melihat mobilmu Dann.. saat itu juga aku tahu kau pasti di makam Sherly. Entah mengapa, tiba-tiba dadaku sesak dan sakit. Aku pikir itu karena Ardit, aku bingung dan akhirnya aku putusin nelpon kamu.” Kiran kembali mengambil gelasnya yang berisi air mineral dan meneguknya.
            “yaa aku Cuma bisa ngasih tahu gitu Dann...” Kiran tersenyum dan kembali makan.
            Aku terus menatapnya, aku mencoba mangambil kesimpulan dari semua cerita Kiran. tapi, mengapa tiba-tiba Kiran menceritakannya. Tunggu, apa tadi dia bilang pergi? Pergi kemana?
            “Ki...”
            “Danny...” ucapanku terpotong oleh suara Kiran yang tiba-tiba memanggilku.
            “terimakasih untuk malam ini, aku sangat senang dan maaf aku gak bisa nemenin kamu sampe selesai” saat itu juga Kiran langsung berlari keluar. Aku sontak berdiri dan mengejarnya. Tapi...
            “maaf, bonnya pak” pelayan sialan.
***
            Pagi hari tanpa shotting, tanpa kesibukan yang biasanya ku lakukan, tanpa Kiran ya gadis itu sejak semalam tak mengangkat telepon dari ku. Dia sepertinya senang semalam namun mendengar ceritanya aku rasa ia tak sesenang itu.
            Aku berjalan menuju balkon, memandangi cuaca pagi ini, tidak mendung dan sangat cerah, tak ada tanda-tanda akan hujan. Aku sontak berlari ke kamar mandi dan membersihkan diriku. Setidaknya aku harus menemui Kiran hari ini, ya harus.
            Sekitar dua puluh menit ku habiskan untuk mandi dan bersiap-siap. Aku mengambil kunci mobilku dan dompetku di atas meja yang berada tepat di samping tempat tidur. Aku berlari menuju mobilku, aku tak ingin terlambat, setidaknya jika Kiran benar-benar akan pergi Ia harus mengatakan sesuatu padaku.
            Aku mengendari mobilku dengan kecepatan tinggi, pagi ini Jakarta tidak begitu macet dan rumah Kiran tak begitu jauh dari rumah ku, dalam waktu setengah jam aku sudah sampai di depan rumah Kiran. mobil Kiran masih terparkir rapih di garasi rumahnya. Aku memencet bel beberapa kali sampai akhirnya pembantu Kiran membukakan pintu.
            “maaf, cari siapa mas?” tanya pembantu Kiran yang sudah agak berumur.
            “Kiran ada bi?” tanyaku
            “loh, non Kiran baru aja pergi”
            “Pergi? Bibi tau kemana?”
            “loh mas nya belum di kasih tau ya? Non Kiran kan balik ke korea mas”
            “what????” mendengar jawaban bibi aku langsung berlari menuju mobil.
            Aku menyetir ke arah Soetta seraya mencoba menghubungi Kiran namun tak ada satu pun yang dijawab oleh nya. Aku mencoba menelponnya berkali-kali, sampai akhirnya ia menjawabnya.
            “hal..”
            “Lo dimana?!” belum sempat Kiran mengucap hallo, aku sudah berteriak terlebih dahulu.
            “Di jalan Dann, kenapa” suaranya masih ceria, apa ia tak merasa bersalah sama sekali?
            “jangan masuk bandara dulu, lo harus ngomong sama gue seenggaknya kalo mau pergi!”
            “tapi Dann...”
            “tutt”
            Aku langsung memutuskan panggilan telepon. Aku tak tahu ada apa dengan ku? Mengapa aku harus se kesal ini? Dia adalah Kiran, sumber kebisinganku tapi aku justru menarinya.
            Sherly... tiba-tiba aku mengingatnya. Aku masih mencintainya ya sungguh, namun mengapa aku mengejar Kiran. Gue bisa gila!!!!!!!
***
            Aku melihat kiran berdiri dengan satu koper berwarna hijau di sampingnya. Perlahan aku mendekatinya, Kiran yang melihatku langsung tersenyum.
            “hai Dann..” Kiran melambai padaku
            “lo itu bener-bener cewe rese ya, bikin gue gak bisa tidur, gue dah cepet-cepet ke rumah lo tapi lo udah pergi, bikin gue harus ngebut biar cepet sampe sini. Apa sih yang ada di otak lo hah?” tepat berada di hadapannya aku mengungkapkan semua kekesalanku.
            “Danny.. maaf..”
            “maaf? Lo bisa kan kasih tau gue kalo lo mau pergi, gak dengan lo tiba-tiba lari dari restaurant terus gak ngangkat telepon gue. Suka ya lo kayaknya bikin orang susah, suka iya??” aku tetap marah, walau wajah Kiran sudah sangat mengekspresikan bahwa ia benar-benar minta maaf.
            “Danny, aku pikir kamu gak akan peduli aku pergi atau gak. Dari awal kamu kan gak suka sama aku, jadi aku gak kasih tau kamu. Sorry...” ucapnya, ia tak berani menatap mataku
            “siapa yang ngasih hak lo buat mikir kayak gitu?? Hah?” aku kembali membentak Kiran
            “Sorry Danny..” Kiran menengadah menatap mataku
            Tanpa berpikir dua kali aku langsung memeluknya. Kiran adalah sumber kebisinganku yang selalu membawakan kebahagiaan di sekitarku, ia selalu tertawa, ia selalu berusaha bersikap baik padaku dan ia selalu berusaha menjadi wanita yang kuat, padahal aku tahu dia tidak sekuat itu. Begitulah kiran yang aku kenal beberapa bulan ini.
            Aku memeluknya erat sangat erat, sampai tiba-tiba aku merasakan sebuah kilatan cahaya, seperti seseorang sedang memotretku. Dengan cepat aku melepaskan pelukanku terhadap kiran, dengan cepat aku menggenggam tangan kiran dan menariknya untuk lari bersamaku, walau dengan susah payah ia harus membawa kopernya, tak ada penolakan darinya.
            Sampai di depan mobilku sudah banyak wartawan yang siap dengan kamera dan alat perekam lainnya. Dengan cepat aku melepaskan tangan kiran dan segera masuk ke dalam mobil. Aku melihat kiran yang kebingungan di depan mobilku dengan banyak wartawan yang memotretnya dan menanyainya macam-macam. Kiran menoleh melihatku yang sudah duduk di kursi kemudi, cepat masuk! Ucapku tanpa suara yang langsung di mengerti oleh Kiran. kiran menaruh kopernya di kursi belakang lalu kembali ke pintu depan depan dan duduk di sampingku. Dengan sigap aku mengendarai mobilku agar menjauh dari para wartawan.
            “Dann, setengah jam lagi pesawat aku take off..” ucap Kiran saat kami sudah keluar pintu bandara.
            “Lo bisa diem dulu gak? Wartawan lagi ngejar kita!”
            “Dann, aku gak minta buat kamu ajak masuk ke dalam mobil, aku gak minta kamu buat lari dari wartawan, kamu bisa tinggalin aku tadi”
            Aku tak ingin menjawab apapun yang di katakan Kiran, aku hanya berpikir bahwa aku harus menghindari para wartawan tadi. Entah siapa yang memberi tahu aku berada disana, tapi ini benar-benar di luar dugaan.
***
            “bisa kasih alesan ke gue kenapa lo mau pergi?” tanyaku, kami sudah berada di ruang tamu rumahku. Ia duduk tepat di sampingku, menatapku bingung. Mungkin ia terlalu shock karena aku tiba-tiba datang, memeluk dan membawanya kemari.
            “Bisa kasih tahu aku kenapa kamu bisa ada di bandara?” tanpa menjawab pertanyaanku, Kiran justru berbalik bertanya.
            “jawab dulu Kiran...”
            “Kamu yang jawab Dann..”
            Diam, aku tak menjawab pertanyaannya, begitu pula dengan Kiran. Beberapa menit berlalu, aku akhirnya menyerah, terlalu canggung untuk saling diam bersama Kiran.
            “Gue panik, gue gak mau lo pergi. Kalo pun lo mau pergi, harusnya lo pamit sama gue. Gak kayak gini. Ninggalin gue gitu aja...”
            “coba bilang ke aku, kenapa aku harus kasih tahu kamu?”

            Pertanyaan Kiran simple, namun membuatku salah tingkah. Alasan apa yang bisa ku buat untuk meyakinkannya, jawaban apa yang ia inginkan. Kiran bukan tipe orang yang mudah di tebak dan tidak mudah di bohongi. Aku bahkan masih bingung dengan hatiku, masih bingung dengan perasaanku. Kiran membuat semuanya jadi abstrak, indah tapi susah di tebak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar