Tell Me Why
“Aku nunggu Ardit” ia menjawab
dengan ceria. Aku hanya menanyakan, apa yang sedang ia lakukan. Tapi ia justru
membuatku ingin loncat ke jurang yang paling dalam, kenapa harus selalu Ardit
yang membuatnya begitu ceria.
“oh” jawabku singkat, Aku segera
berjalan dengan cepat ke arah mobilku, tak ada gunanya aku disini, ia tak
menungguku, ia menunggu Ardit. Ya Tuhan!
Apa yang gue pikirin tadi?
“Danny... mau kemana?” aku reflek
berbalik dan kembali menatapnya. Ini kebiasaan yang buruk, aku seharusnya tidak
memperdulikannya.
“Aku ingin menemui Sherly, sudah
lama aku tak menemuinya” Aku ingin tahu reaksi gadis dihadapanku ini, akankah
ia cemburu? OMG! Danny, lo mikir apa
lagi, mana mungkin Kiran cemburu dengan seseorang yang jelas-jelas sudah
meninggal!
“oh” DOR! Ia membalas perlakuanku. Dan sedetik kemudian, Ardit sudah
merangkul Kiran.
“sorry, Kiran harus pulang” aku tak
ingin menjawab, apalagi melihat adegan-adegan mesra kedua orang itu.
***
Aku menaruh sebuket bunga mawar di
samping makam Sherly. Aku masih merindukannya, aku masih menginginkannya, aku
masih mencintainya. Jika kehilangan seseorang yang aku cintai akan membuatku
seperti ini, aku lebih baik mati bersamanya.
“Miss you Darl. I miss you ..
really” aku mengusap sedikit papan namanya, aku kembali sadar bahwa aku masih
sangat mencintai Sherly.
“aku harus sering kesini bukan? Kau
pasti marah karena aku sudah lama sekali tidak mengunjungimu. Maaf, aku tidak
akan mengulanginya”
Aku menghambiskan waktu hampir satu
jam di makam Sherly dan kuputuskan untuk pulang saat ini. Aku berbalik dan
berjalan perlahan pergi meninggalkan Sherly.
“hallo” suaraku menjawab sebuah
panggilan
“Danny” tanpa aku bertanya, aku
sudah tahu siapa yang menelpon. Kiran, suaranya sudah begitu familiar.
“Yaa..” jawabku lagi. Aku
menghentikan langkahku, Kiran selalu bisa menghentikanku dari segala kegiatan
ku.
“ini aku, Kiran” ya, tanpa ia
berkata seperti itu pun aku sudah tahu, suaranya sudah menjadi sangat familiar
ditelingaku.
“hmm ya, kenapa?” tanyaku, ini
pertama kalinya Kiran menghubungiku.
“aku nunggu kamu di parkiran. Bisa
kesini?” tanpa menjawabnya, aku reflek berlari secepat mungkin.
“parkiran? Parkiran mana Kiran?” aku
bingung dan kembali menghentikan langkahku, apa mungkin ia menunggu di parkiran
tempat kami shooting tadi.
“makam”
Satu kata itu membuatku kembali
berlari dengan lebih cepat dari sebelumnya.
Bagaimana mungkin ia tahu aku berada
disini, apakah ia mengikutiku? Semua yang ia lakukan bisa membuatku bergerak
dengan reflek untuk tak mengacuhkannya. Kiran membuatku memiliki lebih banyak
spontanitas, suaranya sudah menjadi perintah bagiku. Ada apa denganku
sebenarnya?
Aku memperlambat langkahku saat aku
melihat Kiran sedang bersandar di mobilku, ia sudah mengganti pakaiannya. Kiran
menggunakan rok mini hitam dipadukan dengan t-shirt berwarna merah. Aku selalu
suka melihatnya memakai warna merah.
Perlahan aku mendekati Kiran yang
menundukan kepalanya, ia tidak menyadari kedatanganku. Pandangan gadis itu
kosong menatap flatshoes merah
berpadu hitam yang ia gunakan, tak ada gerakan dari Kiran dan aku melangkah
semakin dekat dengannya.
“Kiran?” aku berdiri tepat di
depannya. Cukup dekat untuk membuatnya tersadar dari lamunannya.
“oh, kamu udah disini” Kiran
menengadah memandangku, ia menarik garis senyumnya, kaku.. ia tidak sedang
tersenyum, aku yakin akan itu.
“are you okay?” aku menatap tepat di
matanya dan aku mendapati ia menahan air mata. Tidak biasanya Kiran menelponku,
tak biasanya ia melamun seperti itu, aku pernah melihat ia tersenyum seperti
ini dan itu terjadi karena ia memiliki masalah atau bahkan bersedih.
Kiran mengangguk dan tersenyum lagi.
Bibirnya bergetar, ia bukan Kiran, Kiran yang ku kenal tidak pernah tersenyum
seperti ini. Aku lebih mendekat padanya, lalu perlahan kutarik tubuhnya dan
memeluknya. Kiran hanya diam membisu dalam pelukku, tak ada kata yang terucap
dan perlahan aku rasakan Kiran membalas pelukanku.
“tidak perlu mengatakan apapun, it’s
okay Kiran, everything gonna be okay” aku merasakan tubuhnya bergetar, ia
terisak, dan aku sadar ia menangis. Semakin lama tubuhnya semakin gemetar, aku
mengeratkan pelukanku begitu aku merasakan Kiran meremas baju belakangku dan
mengeratkan pelukannya. Banyak pertanyaan di dalam otakku, tapi aku tahan
semuanya, ia akan bercerita dengan sendirinya nanti, ya aku tahu She Will.
***
“Ardit mengatakan ia mencintaiku,
bukankah aku harusnya senang? Bukankah aku harusnya menangis gembira, Dann?”
Kiran menatapku, kami sudah berada di bangku Taman Suropati dan Kiran sudah bisa
menenangkan dirinya setelah beberapa menit di dalam mobil ia hanya diam seraya
meremas-remas jari tangannya sendiri.
“bilang ke aku Dann, kenapa? Kenapa
aku harus nunggu begitu lama untuk mendengar kata cinta darinya? Bilang ke aku
kenapa aku harus menangisinya bertahun-tahun untuk membuatnya mencintaiku?
Bilang ke aku kenapa Dann?” Kiran menggenggam t-shirt yang aku gunakan.
Perlahan aku mendekatkan tubuhnya,
aku ingin memeluknya, aku tahu aku tak akan mengerti apa yang ia rasakan. Tak
ada penolakan dari Kiran, ia hanya diam.
“kau masih mencintainya?” aku masih
memeluknya dan mengusap lembut rambut panjangnya. Pertanyaanku hanya di jawab
oleh gelengan kepala. Ia tak mencintai
Ardit lagi.
“Tinggalin dia, jawab enggak.
Mungkin lo lelah nunggu lama buat ia ngomong kayak gitu ke lo, tapi lo juga
harus inget, kalo dia bener-bener sayang sama lo, dia gak akan ngebiarin lo
nunggu, ngebiarin lo nangis, bahkan dia gak akan ngebiarin lo pergi waktu itu.”
Kiran memelukku lebih erat.
Aku membiarkannya tetap seperti ini,
aku membiarkan diriku seperti ini. Ini mungkin akan menguatkan perasaanku
untuknya, ini mungkin akan membuatku kembali melupakan Sherly, tapi ini mungkin
yang bisa membuat Kiran kembali tersenyum, kembali tertawa, kembali ceria.
Kiran mendorong tubuhnya, ia
mungusap air mata yang membasahi pipinya.
“maaf Dann..” ucapnya seraya berdiri
“lo mau kemana?” aku pun berdiri
meihat ia sudah bersiap untuk melangkah pergi.
“pulang Dann, maaf dan terimakasih..
aku udah lebih baik”
Aku langsung mengenggam tangannya,
menggandengnya menuju mobil.
“biar gue anter”
“gak perlu Dann, aku bisa naik
Taxi.” Ia menahan langkahnya
“bisa gak lo nurut dulu sama gue?
Ini udah malem Kiran, lo mau naik taxi malem-malem gini? Lo gak tahu sekarang
lagi nghits perampokan dalam taxi? Pemerkosaan? Bahkan sampe pembunuhan, lo mau
berakhir kayak gitu??” sontak aku sedikit berteriak yang membuatnya diam dan
mulai mengikuti langkahku.
***
Aku menghentikan mobilku tepat di
gerbang rumahnya.
“makasih ya Dann, maaf jadi
ngerepotin kamu.” Kiran membuka sabuk pengamannya.
“Kiran..” aku menggenggam tangan kanannya, ia
memandangku bingung.
“inget apa yang gue bilang tadi
kan?” kiran memiringkan sedikit kepalanya, seakan berpikir tentang sesuatu.
“ohh iya Dann, aku akan hati-hati
sama taxi, sekarang lagi nghits perampokan, pemerkos...hm”
Aku menutup mulutnya dengan tangan
kananku,
“Bukan! Tentang Ardit, lo gak akan
ner..”
“engga Dann, iya aku inget kata-kata
kamu” kalimatnya yang terakhir itu membuatku lebih lega untuk melepasnya masuk
ke dalam rumah.
“Thanks ya Dann.. besok hari
terakhir, semangaaatttt”
Kiran tersenyum dan itu adalah hal
yang aku ingin lihat sejak tadi,
Aku masih berdiri di depan rumah
Kiran, menunggu gadis itu sampai masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ada
yang aneh dalam hatiku, Aku merasa Kiran tidak menangis karena hal tadi, ada
sesuatu yang lain yang membuat Kiran menangis, tapi apa?
Ku kendarai mobilku dengan perlahan sambil
memikirkan apa yang Kiran tangisi.
“Jika ia menangisi Ardit, bagaimana ia tahu aku
berada di makam? Bagaimana ia bisa berganti pakaian dahulu? Bukankah ia pergi
bersama Ardit setelah shotting dengan menggunakan pakaian yang berbeda dan..
tunggu..” aku mencari sesuatu yang Kiran pegang sebelumnya.
“ini dia...”
Aku memarkirkan mobilku di pinggir
jalan untuk membuka kotak yang Kiran bawa. Perlahan aku membuka pita yang
menghiasi kota berwarna pink ini, dan..
“Bunga tuju rupa, untuk apa.. dan..
apa ini? Sebuah cincin? Ini.. ini cincin yang Kiran pernah berikan padaku untuk
di berikan pada Sherly, mengapa bisa berada di Kiran lagi? Apa, Kiran berniat
mengunjungi Sherly? Tapi, mengapa ia menangis karena Ardit? Ada sesuatu yang
aneh dari gadis ini”
Aku memasukan kotak itu pada
dashboard mobil,
“ini sudah terlalu larut untuk memikirkan hal-hal
seperti itu. Besok lebih baik gue tanyakan pada Kiran, ya Besok. Tunggu, Besok?
Besok adalah hari terakhir. Ya, tadi Kiran ngomong gitu, oh My God. Kenapa gue jadi
gak rela gini? Bukannya ini yang gue mau? Akhhhh!!!! Gue udah gila!”
***
Aku memperhatikan Kiran yang sedang take, hari ini hari terakhir, mungkinkah
hari ini juga akan menjadi hari terakhirku melihat senyumannya?. Aku sudah
terbiasa dengan kehadirannya, kebisingan yang ia ciptakan, suaranya yang ceria,
semua hal yang sebelumnya aku benci menjadi hal yang tak ingin aku lepaskan.
Aku memandang kotak milik Kiran di pangkuanku, aku
berniat akan memberikan ini padanya, mengembalikannya. Mengapa ia ingin ke
makam Sherly? Aku belum pernah melihatnya disana. Jika ia merasa sedih jika
melihat Sherly, mengapa malam itu ia memberanikan diri pergi kesana? Apakah
selama ini, ia diam-diam pergi mengunjungi Sherly?
“itu milikku” aku menatap pemilik suara itu, ya tentu
saja Kiran, kotak ini miliknya.
“tertinggal di mobilmu?” Kiran menatapku, aku ingin
membahas tentang keberadaannya semalam, namun aku takut itu akan membuat Kiran
kembali bersedih.
“kamu kok diem Dann? Ada yang mau kamu tanyain?”
Kiran kembali bertanya, ia perlahan duduk di sampingku.
“kamu pasti mau nanya masalah kotak itu dan masalah
kenapa aku ada di makam semalam ya?” aku spontan megubah posisiku menatapnya
takjub, apakah gadis ini benar-benar bisa membaca pikiranku?
“haha, itu kotak isinya bunga sama cincin untuk
Sherly, niatnya aku mau ke makam kemarin. Saat aku lihat mobil kamu di
parkiran, aku justru kepikiran buat nelpon kamu. And... cincinnya aku temuin di
lokasi shooting waktu itu. Aku gak
bilang ke kamu karena aku kira kamu sengaja buang cincinnya. Maaf ya Dann”
Kiran menjawab semua pertanyaanku sebelumnya, namun
dari jawabannya timbul beberapa pertanyaan dalam otakku.
“untuk apa lo menemui Sherly?” tanyaku
“yaa say hello and say good bye aja tadinya,
sekalian ngasih cincin dari Ardit.” Jawabnya santai sambil tersenyum
“So, lo gak niat ketemu gue? Lo spontan nelpon gue
pas diparkiran? Kenapa? Kalo lo sedih karena apa yang lo rasain atas ucapannya
Ardit, bukannya lo gak harus nelpon gue di parkiran? Bukannya lo bisa ke makan
Sherly setelah itu nelpon gue? Tapi lo putusin buat nelpon gue duluan, why?
Tell me Why?” aku mengatakan semua yang ingin aku tanyakan, dengan sebuah
tekanan nada di pertanyaan terakhir.
Kiran diam, dia tersenyum dan beranjak dari kursi di
sampingku. Ia menatapku sebentar dan tersenyum.
“take terakhir Dann, ayoo” Kiran berjalan menuju
lokasi terakhir hari ini dan untuk film ini.
Aku mengikuti langkah Kiran yang sudah bersiap di
depan kamera. Kami berada di atas gedung. Rooftop, adegan disini Kiran akan
menangis dan memelukku dan menutarakan perasaannya. Kami tak pernah berlatih
untuk adegan bersama, tidak sekalipun. Apapun yang ada di skenario kami
berlatih sendiri-sendiri, namun entah mengapa Kiran selalu melakukannya dengan
baik, ya begitu pula aku.
Kiran menatapku, tentu saja ia sedikit menengadah
karena tinggi tubuhnya yang tak sebanding denganku. Perlahan Kiran kembali
berjalan mendekatiku, saat itu Kiran memelukku erat, sangat erat.
“maaf...” kata pertama dalam skenario.
“aku minta maaf..” kalimat selanjutnya yang Kiran
ucapkan, tak ada dalam script namun
sutradara membiarkannya. Bibirku sedikit bergetar ingin menanyakan sesuatu,
namun langsung terhenti karena Kiran sudah terisak.
“aku salah, aku memang salah, ..” diam, kalimat yang
harusnya di ucapkan Kiran terpotong oleh isak tangisnya. Aku seharusnya
mengucapkan dialogku saat Kiran menyelesaikan dialognya, namun karena isakan
tangisnya membuatku bingung harus bagaimana, reflek aku membalas pelukannya,
harusnya aku tak melakukan ini karena tidak ada kata cut yang diucapkan sutradara aku terus memeluknya.
“maafkan aku karena... hm aku... aku menyukaimu,
maaf. Aku tak boleh merasakan ini bukan? Aku tak bisa merebutmu dari kekasihmu,
tidak.. sungguh aku bersumpah bahwa aku tak berniat merebutmu” Kiran masih
terisak, seharusnya aku melepaskan pelukannya dan bertanya ‘kenapa’.
“biarkan tetap seperti ini. Hanya kali ini,
please...” kalimat itu tak ada dalam dialog namun tak ada suara sutradara,
berarti ia menyetujui apa yang dilakukan Kiran, namun apa yang harus aku
lakukan? Ini bukan keahlianku, aku tak bisa mengarang cerita cinta seperti ini.
“aku akan mengatakannya dengan cepat.. jadi kumohon
biarkan aku tetap seperti ini..” ucap Kiran. aku membiarkan ia memelukku untuk
mengetahui akhir dari kalimatnya.
“aku tidak tahu sejak kapan aku menyukaimu, aku
tidak tahu mengapa aku menyukaimu, aku bahkan tidak yakin ini cinta.. namun,
melihat kau tersenyum karenanya, melihat kau terus bersamanya, itu membuat
hatiku sakit. Apa ini yang disebut cinta? Aku minta maaf karena hal ini, tak
seharusnya aku merasakannya bukan? Maafkan aku, aku mohon maafkan aku” Kiran
kembali terisak lalu secara perlahan ia merenggankan pelukannya dan entah
mengapa aku merasa kecewa.
“aku hanya ingin mengatakan ini satu kali seumur
hidupku dan untuk yang terakhir kali” Kiran sedikit berjinjit mengarahkan
bibirnya ke telingaku
“sorry. I love you...” dengan cepat Kiran langsung
membelakangiku dan berjalan pergi. Aku sontak mengejarnya dan meraih tangannya.
“kau sudah selesai bicara?” ohh tidak, ini tak ada
dalam skenario
“giliranku..” aku memegang bahunya dengan kedua
tanganku, ia menunduk tak berani menatapku.
“aku tak menerima permintaan maafmu.” Dengan kaget
Kiran sontak menengadah menatapku, matanya sedikit terbelalak, aku tak bisa
membedakan apakah ia berakting atau tidak.
“karena apa yang kau katakan tidak salah” perlahan
aku mendekatinya benar-benar dekat.
“aku mencintaimu.. sangat mencintaimu..” Kiran
shock, ya aku tahu ini hanya acting namun
ini seperti nyata.
Perlahan aku mendekati bibirnya, ya ini adegan kiss pertamaku, maksudku pertama bersama
Kiran. Ia tampak kaget tak berkedip, bahkan saat bibirku sudah menempel di
bibirnya. Bibirnya lembut, terasa manis, apakah ia menggunakan lipstik dengan
rasa?
”CUT!!!!...finish! good job!”
Aku kaget dan segera melepaskan bibirku dari Kiran.
Aku melihat Kiran yang tersenyum padaku. Berbeda saat adegan terakhir tadi,
pandangannya lebih bersinar.
“kau hebat Dann.” Tanpa menunggu jawabanku Kiran
berbalik berniat untuk pergi, namun dengan kecepatan tanganku yang bagai ninja
ini, aku berhasil menahan pergelangan tangannya.
“hanya itu?” aku menatapnya, ia sedikit bingung.
“kita makan malam bersama, jam 8 gue jemput lo” aku
langsung beralari tanpa mendengarkan apa yang Kiran katakan.
***
Aku menatap Kiran yang sudah berdiri
dihadapanku dengan gaun midi berwarna hitam bercampur ungu, tak ada pulasan
make up yang berarti di wajahnya, bibirnya pun tak menggunakan lipstik, ia
mengikat rambutnya yang justru memperlihatkan bahu nya.
“lepas ikatan ini” aku menarik ikat
rambut berwarna hitam yang ia gunakan.
“Danny.. kembaliin” Kiran ingin
meraih tanganku yang memegang ikat rambutnya. Aku segera memasukan ikat rambut
itu ke saku belakang celanaku dan saat itu Kiran langsung menatapku dengan
tampang cemberutnya.
“ayo cepat masuk. Gue udah laper”
dengan tetap cemberut, Kiran masuk.
Sepanjang perjalanan Kiran hanya
melipat tangannya di dada dan cemberut, menatap lurus ke depan tanpa menengok
ke arahku sekalipun. Harusnya aku minta maaf bukan? Tapi melihatnya seperti ini
sangat menghibur untukku.
Aku mengendari mobil dengan serius,
namun tiba-tiba aku melihat kalung dengan liontin hati di dashboar mobilku. Aku
ingat, ini milik Sherly, ia sangat menyukai benda-benda klasik seperti ini.
Sherly selalu menggunakannya, di dalam liontin itu terdapat fotoku dan dirinya.
Apa yang gue lakuin sekarang? Dinner sama
cewe lain? Oh My God!
“Kalung punya Sherly ya?” Aku sontak
memperlambat kecepatan mobilku. Kiran ternyata menyadari aku menatap kalung
itu.
“Iya..” aku tak tahu harus menjawab
apa, aku merasa canggung membicarakan Sherly dengan Kiran. Aku pun merasa tidak
enak hati dengan Sherly, aku seperti melupakannya.
“Kita batalin aja ya Dann?” Kiran
menatapku, dengan spontanitas aku menepikan mobilku. Apakah Kiran memang bisa
membaca pikiranku?
Kiran tetap menatapku, aku tahu ia
menunggu jawaban dariku. Tapi, aku sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus
aku berikan padanya. Aku sadar, Sherly memang sudah tiada, namun dekat dengan
wanita lain secepat ini bukankah tidak wajar. Aku juga yang mengajak Kiran, tak
mungkin aku tiba-tiba membatalkannya.
Aku menatap Kiran, matanya ya tepat
di matanya.
“untuk apa? Sebentar lagi sampai...”
jawabku, aku segera memasukan gigi dan kembali mengendari mobilku.
Kiran hanya diam, tak ada suara lagi
darinya. Apapun yang ia pikirkan tak bisa aku tebak, wanita ini selalu bisa
membuat kejutan-kejutan yang tak terduga. Jika dia wanita biasa mungkin ia
sedang memikirkan kemana kita akan pergi, namun jika ia adalah wanita yang
menyukaiku ia akan sangat terusik dengan kalung itu dan ia akan memaksa untuk
di antar pulang. Tapi, dia adalah Kiran, tak ada yang bisa ku tebak dari
dirinya, ia menyukai Ardit, bersahabat dengan Beni dan sarah, serta yang paling
mengejutkan adalah ia masih bisa berdekatan denganku dan semua orang yang
berhubungan dengan wanita yang sangat ia benci, Sherly.
“Wahh kita akan makan disana?”
Lamunanku buyar mendengar suara Kiran yang ceria. Anggukanku saja yang menjawab
pertanyaannya.
“wahhh aku belum pernah ke sana,
terimakasih Danny..” Ia menatapku dengan senyum yang biasanya.
Aku memarkirkan mobilku dan beberapa
deti kemudian Kiran sudah keluar dari mobil, dia sepertinya sangat semangat.
Aku mengikuti langkahnya yang menuju pintu masuk.
“meja atas nama Danny.” Ucapku pada
salah satu pelayan.
Kiran mengikuti pelayan itu seraya
memandang keseluruhan isi restaurant. Ia sepertinya benar-benar menyukai
restaurant ini. Apa Kiran tahu bahwa restaurant ini adalah favorit Sherly?
Mungkin jika ia tahu ia tidak akan sesenang ini.
“silahkan” ucap pelayan setelah
mengantar kami sampai di meja yang ku pesan. Meja ini juga meja favorit Sherly.
Sepertinya aku harus diam dan tidak memberitahunya mengenai itu.
“sebelum aku pergi dulu, aku ingin
sekali kesini namun tak pernah sempat” ucapnya, ia sudah memandangi sebuah
danau dengan penerangan yang sangat bagus dari luar jendela.
“Restaurant ini sangat bagus kan?” Tanyaku,
ia menengok padaku dan tersenyum.
“kamu bilang juga gak kenapa-kenapa
kok Dann.” Ucapnya yang masih menatapku
“maksud lo?” Aku bingung, tak mengerti
apa yang ia ucapkan. Kiran sedikit memajukan kursinya dan menatapku. Aku
membalas tatapannya, perlahan Kiran menarik garis senyumnya dan itu sangat
cantik.
“aku tahu restaurant ini favorit
Sherly, aku juga tahu meja ini meja favoritnya. Kamu harus tahu alasan aku
ingin sekali kesini adalah karena Ardit selalu memotret Sherly yang duduk
disini dari tempatmu sekarang. Ardit selalu bilang bahwa ia akan selalu merasa
jatuh cinta pada Sherly saat ia melihat foto sherly di sini” senyum Kiran
semakin indah, namun aku baru sadar bahwa aku tak memperhatikan matanya.
“maaf ya Sherly, aku pinjam sebentar
kursi dan meja favoritmu di restaurant ini ohh dan tentu saja Danny” ucap Kiran
seraya mengusap meja dan menatapku.
Aku tak tahu harus mengatakan apa
pada wanita di hadapanku ini. Ia selalu memiliki kejutan yang membuatku
kehabisan kata. Aku tak bisa menebak apakah ia senang atau sedih saat ini, ia
terlalu abstrak.
“makanlah...” ucapku saat pesananku
sudah datang. Aku sengaja tak membiarkan ia memilih menu dan sudah memesannya
terlebih dahulu, karena aku akan memilihkan makanan yang paling enak disini.
Kiran tersenyum, ia mengucapkan
selamat makan dengan ceria dan memotong steak
nya kecil lalu memakannya. Ia langsung menatapku dan kembali tersenyum, ya
aku sudah tahu ini sangat lezat.
“kamu mau tau kan kenapa aku kemarin
ke makam?” aku sontak menatapnya kaget, apakah ia ingin bercerita lagi.
“Aku memang tak ada niat
menghubungimu” kiran kembali mengunyah makanan di mulutnya. Kiran kemudian
minum dan melanjutkan kalimatnya.
“Setelah bertemu Ardit aku memang
berniat akan ke makam, alasannya sudah ku katakan tadi kan Dann. Setidaknya,
aku ingin say hello terlebih dahulu kepada Sherly sebelum aku pergi. Aku tak
ingin membencinya, sungguh. Benar katamu, ini bukan salah Sherly, memang
bukan...” kiran menarik nafasnya lalu
menghembuskannya
“aku pikir ini juga bukan salah
Ardit” ucapnya terpotong. Aku sudah tidak bernafsu untuk makan, aku lebih
tertarik pada Kiran saat ini.
“aku ingin pergi, benar-benar pergi
dari sisi Ardit dan dari kenangan Sherly, karena itu aku memberanikan diri ke
makam. Namun.. saat aku sampai di tempat parkir, aku melihat mobilmu Dann..
saat itu juga aku tahu kau pasti di makam Sherly. Entah mengapa, tiba-tiba
dadaku sesak dan sakit. Aku pikir itu karena Ardit, aku bingung dan akhirnya
aku putusin nelpon kamu.” Kiran kembali mengambil gelasnya yang berisi air
mineral dan meneguknya.
“yaa aku Cuma bisa ngasih tahu gitu
Dann...” Kiran tersenyum dan kembali makan.
Aku terus menatapnya, aku mencoba
mangambil kesimpulan dari semua cerita Kiran. tapi, mengapa tiba-tiba Kiran
menceritakannya. Tunggu, apa tadi dia bilang pergi? Pergi kemana?
“Ki...”
“Danny...” ucapanku terpotong oleh
suara Kiran yang tiba-tiba memanggilku.
“terimakasih untuk malam ini, aku
sangat senang dan maaf aku gak bisa nemenin kamu sampe selesai” saat itu juga
Kiran langsung berlari keluar. Aku sontak berdiri dan mengejarnya. Tapi...
“maaf, bonnya pak” pelayan sialan.
***
Pagi hari tanpa shotting, tanpa kesibukan yang biasanya ku lakukan, tanpa Kiran ya
gadis itu sejak semalam tak mengangkat telepon dari ku. Dia sepertinya senang
semalam namun mendengar ceritanya aku rasa ia tak sesenang itu.
Aku berjalan menuju balkon,
memandangi cuaca pagi ini, tidak mendung dan sangat cerah, tak ada tanda-tanda
akan hujan. Aku sontak berlari ke kamar mandi dan membersihkan diriku.
Setidaknya aku harus menemui Kiran hari ini, ya harus.
Sekitar dua puluh menit ku habiskan
untuk mandi dan bersiap-siap. Aku mengambil kunci mobilku dan dompetku di atas
meja yang berada tepat di samping tempat tidur. Aku berlari menuju mobilku, aku
tak ingin terlambat, setidaknya jika Kiran benar-benar akan pergi Ia harus
mengatakan sesuatu padaku.
Aku mengendari mobilku dengan kecepatan
tinggi, pagi ini Jakarta tidak begitu macet dan rumah Kiran tak begitu jauh
dari rumah ku, dalam waktu setengah jam aku sudah sampai di depan rumah Kiran.
mobil Kiran masih terparkir rapih di garasi rumahnya. Aku memencet bel beberapa
kali sampai akhirnya pembantu Kiran membukakan pintu.
“maaf, cari siapa mas?” tanya
pembantu Kiran yang sudah agak berumur.
“Kiran ada bi?” tanyaku
“loh, non Kiran baru aja pergi”
“Pergi? Bibi tau kemana?”
“loh mas nya belum di kasih tau ya?
Non Kiran kan balik ke korea mas”
“what????” mendengar jawaban bibi
aku langsung berlari menuju mobil.
Aku menyetir ke arah Soetta seraya
mencoba menghubungi Kiran namun tak ada satu pun yang dijawab oleh nya. Aku
mencoba menelponnya berkali-kali, sampai akhirnya ia menjawabnya.
“hal..”
“Lo dimana?!” belum sempat Kiran
mengucap hallo, aku sudah berteriak terlebih dahulu.
“Di jalan Dann, kenapa” suaranya
masih ceria, apa ia tak merasa bersalah sama sekali?
“jangan masuk bandara dulu, lo harus
ngomong sama gue seenggaknya kalo mau pergi!”
“tapi Dann...”
“tutt”
Aku langsung memutuskan panggilan
telepon. Aku tak tahu ada apa dengan ku? Mengapa aku harus se kesal ini? Dia
adalah Kiran, sumber kebisinganku tapi aku justru menarinya.
Sherly... tiba-tiba aku
mengingatnya. Aku masih mencintainya ya sungguh, namun mengapa aku mengejar
Kiran. Gue bisa gila!!!!!!!
***
Aku melihat kiran berdiri dengan
satu koper berwarna hijau di sampingnya. Perlahan aku mendekatinya, Kiran yang
melihatku langsung tersenyum.
“hai Dann..” Kiran melambai padaku
“lo itu bener-bener cewe rese ya,
bikin gue gak bisa tidur, gue dah cepet-cepet ke rumah lo tapi lo udah pergi,
bikin gue harus ngebut biar cepet sampe sini. Apa sih yang ada di otak lo hah?”
tepat berada di hadapannya aku mengungkapkan semua kekesalanku.
“Danny.. maaf..”
“maaf? Lo bisa kan kasih tau gue
kalo lo mau pergi, gak dengan lo tiba-tiba lari dari restaurant terus gak
ngangkat telepon gue. Suka ya lo kayaknya bikin orang susah, suka iya??” aku
tetap marah, walau wajah Kiran sudah sangat mengekspresikan bahwa ia
benar-benar minta maaf.
“Danny, aku pikir kamu gak akan
peduli aku pergi atau gak. Dari awal kamu kan gak suka sama aku, jadi aku gak
kasih tau kamu. Sorry...” ucapnya, ia tak berani menatap mataku
“siapa yang ngasih hak lo buat mikir
kayak gitu?? Hah?” aku kembali membentak Kiran
“Sorry Danny..” Kiran menengadah
menatap mataku
Tanpa berpikir dua kali aku langsung
memeluknya. Kiran adalah sumber kebisinganku yang selalu membawakan kebahagiaan
di sekitarku, ia selalu tertawa, ia selalu berusaha bersikap baik padaku dan ia
selalu berusaha menjadi wanita yang kuat, padahal aku tahu dia tidak sekuat
itu. Begitulah kiran yang aku kenal beberapa bulan ini.
Aku memeluknya erat sangat erat,
sampai tiba-tiba aku merasakan sebuah kilatan cahaya, seperti seseorang sedang
memotretku. Dengan cepat aku melepaskan pelukanku terhadap kiran, dengan cepat
aku menggenggam tangan kiran dan menariknya untuk lari bersamaku, walau dengan
susah payah ia harus membawa kopernya, tak ada penolakan darinya.
Sampai di depan mobilku sudah banyak
wartawan yang siap dengan kamera dan alat perekam lainnya. Dengan cepat aku
melepaskan tangan kiran dan segera masuk ke dalam mobil. Aku melihat kiran yang
kebingungan di depan mobilku dengan banyak wartawan yang memotretnya dan
menanyainya macam-macam. Kiran menoleh melihatku yang sudah duduk di kursi
kemudi, cepat masuk! Ucapku tanpa
suara yang langsung di mengerti oleh Kiran. kiran menaruh kopernya di kursi
belakang lalu kembali ke pintu depan depan dan duduk di sampingku. Dengan sigap
aku mengendarai mobilku agar menjauh dari para wartawan.
“Dann, setengah jam lagi pesawat aku
take off..” ucap Kiran saat kami
sudah keluar pintu bandara.
“Lo bisa diem dulu gak? Wartawan
lagi ngejar kita!”
“Dann, aku gak minta buat kamu ajak
masuk ke dalam mobil, aku gak minta kamu buat lari dari wartawan, kamu bisa
tinggalin aku tadi”
Aku tak ingin menjawab apapun yang
di katakan Kiran, aku hanya berpikir bahwa aku harus menghindari para wartawan
tadi. Entah siapa yang memberi tahu aku berada disana, tapi ini benar-benar di
luar dugaan.
***
“bisa kasih alesan ke gue kenapa lo
mau pergi?” tanyaku, kami sudah berada di ruang tamu rumahku. Ia duduk tepat di
sampingku, menatapku bingung. Mungkin ia terlalu shock karena aku tiba-tiba
datang, memeluk dan membawanya kemari.
“Bisa kasih tahu aku kenapa kamu
bisa ada di bandara?” tanpa menjawab pertanyaanku, Kiran justru berbalik
bertanya.
“jawab dulu Kiran...”
“Kamu yang jawab Dann..”
Diam, aku tak menjawab pertanyaannya,
begitu pula dengan Kiran. Beberapa menit berlalu, aku akhirnya menyerah,
terlalu canggung untuk saling diam bersama Kiran.
“Gue panik, gue gak mau lo pergi.
Kalo pun lo mau pergi, harusnya lo pamit sama gue. Gak kayak gini. Ninggalin
gue gitu aja...”
“coba bilang ke aku, kenapa aku
harus kasih tahu kamu?”
Pertanyaan Kiran simple, namun membuatku
salah tingkah. Alasan apa yang bisa ku buat untuk meyakinkannya, jawaban apa
yang ia inginkan. Kiran bukan tipe orang yang mudah di tebak dan tidak mudah di
bohongi. Aku bahkan masih bingung dengan hatiku, masih bingung dengan
perasaanku. Kiran membuat semuanya jadi abstrak, indah tapi susah di tebak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar