Senin, 31 Oktober 2016

[CERPEN] Secangkir Cappucino

SECANGKIR CAPPUCINO
            Langkahku gemetar, seluruh tubuhku tiba-tiba saja merasa sangat kedinginan, suaraku ikut membeku. Ini seperti mimpi, aku tak pernah menginginkan ini semua, seharusnya sejak awal aku tak pernah memulainya. Aku tahu hubunganku dengannya adalah sebuah kesalahan, kesalahan yang sudah ku ketahui, kesalahan yang tak akan pernah bisa menjadi sebuah kebenaran.
            “Kiran...” suara berat Alex terdengar jelas, namun aku tidak boleh luluh lagi. Dia bukan untukmu Kiran, ini jalanmu.
            “Kiran.. aku yakin pasti ada jalan agar kita tetap bisa bersama” Alexa berlari dan menggenggam tanganku. Aku tidak bisa mengelak, sentuhan tangannya, aku merindukannya.
            “Alex...” aku berbalik dan memandangnya.

            Belum selesai ucapanku, tiba-tiba saja turun hujan. Alex menarik tanganku agar mengikutinya, namun aku tetap bertahan di posisiku. Mungkin Allah mengerti bahwa aku pasti akan menangis  dan hujan ini yang akan menutupi air mataku.
            “Tak ada masa depan untuk kita, Lex.” Aku menatapnya yang masih menggenggam pergelangan tanganku. “Kau pasti tahu aku sangat mencintaimu, tapi kau juga harus tahu bahwa aku lebih mencintai Tuhanku, Allah”
            Alex maju satu langkah mendekatiku,
            “Aku tahu itu, tapi aku juga memiliki Tuhan. Bukankah semua agama sama Ki? Kita sama-sama menyembah Tuhan” Tangan Alex berpindah ke lenganku, menggenggam kedua lenganku dengan kedua tangannya.
            “Pernikahan berbeda agama tidak ada di negara ini, namun bukan itu alasanku Lex. Tapi, agamaku mengatakan ini salah. Maafkan aku Lex, I love You...” Aku menarik kedua tangan Alex untuk melepaskanku.
            Aku berlari, terus berlari sampai tak kudengar lagi suara Alex. Seluruh tubuhku sudah basah dengan air hujan. Aku tak tahu lagi bagaimana orang melihatku, tapi ini lebih baik untukku.
            Tiba-tiba aku merasakan air hujan tak lagi membasahi rambut dan tubuhku. Aku menengadah. Payung? Sontak aku berbalik.
            “Kau bisa sakit jika kehujanan Kiran”
Aku hampir saja jatuh kebelakang setelah melihat wajah orang yang memayungiku.
“Beni...” tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. Air mataku tak bisa ku tahan lagi, semua tumpah di dada bidang milik Beni. Ia sahabatku, sahabat terbaikku.
“Kau tahu Kiran, aku sama sekali tak keberatan kau memelukku, tapi bisakah kita masuk terlebih dahulu ke dalam taxi dan meminum secangkir cappucino di rumah? Ini sangat memalukan, menjadi tontonan orang” Ucap Beni seraya membelai rambutku dengan tangannya yang kosong.
***
“Kau sudah selesai menangis?” tanya Beni.
Aku mengangguk dan mengangkat kepalaku menjauh dari tubuh Beni, namun Beni justru mendorongnya agar tetap bersandar padanya.
“Aku lebih suka kau seperti ini, aku bisa semalaman seperti ini dan meminum satu lusin cappucino asalkan besok pagi kau sudah kembali menjadi Kiranku” Beni menyandarkan punggungnya ke sofa.
Aku mengangguk dan menyamankan posisiku di tubuhnya.
“Ben..”
“Hmm..”
“Mengapa kau tidak memarahiku?” tanyaku sambil memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan mataku yang mulai lelah karena menangis.
“Tak ada gunanya, kau hanya butuh aku yang mendengarkanmu dan memelukmu. Kau sedang tidak butuh Beni yang cerewet” Beni menjawab seraya meminum cappucinonya.
Aku tersenyum, Beni selalu tahu apa yang aku butuhkan daripada apa yang aku inginkan. Satu-satunya sahabatku sejak aku berusia enam tahun yang selalu berada disisiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Beni menikah suatu hari nanti, bagaimana diriku tanpanya? Bagaimana aku melewati hariku? Kepada siapa aku akan berkeluh kesah seperti ini lagi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul, namun aku berusaha mengelaknya, aku ingin Beni selalu berada disisiku, ya selalu.
***
Aku berjalan menuju ruanganku, tak ku hiraukan dering ponselku yang tak henti-hentinya pagi ini. Alex menelponku puluhan kali sejak semalam dan aku tak berniat menjawabnya. Mendengar suaranya akan membuatku luluh lagi dan aku tak ingin itu terjadi.
“Kau tak menjawab ponselmu?” Desi yang sejak tadi berada di sampingku pun akhirnya bertanya.
“Tidak.. hanya orang asing” aku berjalan lebih cepat hingga sampai ke mejaku.
Aku melihat jumlah panggilan, pagi ini sudah sebelas kali Alex menelponku. Tiba-tiba ponselku berdering lagi, tapi ini bukan Alex. Aku tersenyum dan menekan tombol jawab.
“Assalamualaikum...” jawabku dengan masih tersenyum.
“Wa’alaikumsallam! Kau ini bodoh atau gila? Aku terlambat ke kantor tahu!” Beni menjawab dengan nada tinggi.
“Maaf, aku pikir kau ingin membolos hari ini. Hehe”
“Kau ini...” Beni berhenti sejenak “Are you okay?” tanyanya seolah baru sadar apa yang terjadi semalam.
“I’m okay Ben”
Obrolanku dengan Beni berakhir begitu saja. Satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum saat ini adalah Beni. Aku baru menyadarinya saat ini, bahwa Beni adalah orang yang selalu ada untukku, selalu mengerti diriku. Andai dalam persahabatan diperbolehkan adanya cinta.
Beni tak pernah memiliki kekasih sejak lulus dari SMA. Ia hanya sempat dua kali menjalin hubungan, yang pertama dengan teman sekelasnya dan yang kedua dengan adik kelas. Hubungan mereka berakhir begitu saja hanya dalam waktu kurang lebih enam bulan. Aku selalu bertanya mengapa Beni putus, namun laki-laki itu tak ingin membicarakannya denganku. Dia bilang jika aku tahu, aku akan memaksanya untuk balikan. Aneh.
Dalam hubunganku dengan Alex, Beni juga sempat memperingatkanku. Hubungan berbeda agama itu tidak ada masa depan, hanya bahagia sesaat dan sakit berkepanjangan. Dahulu aku tak mendengarkan Beni karena ku anggap hubunganku dengan Alex akan berakhir hanya dalam dua sampai tiga bulan. Namun, aku justru jatuh cinta terlalu dalam dengan Alex. Alex memberikan kebahagiaan pada hidupku, menyayangiku dengan penuh perhatiannya, memelukku dengan penuh cinta. Aku tak pernah merasakan perasaan yang begitu dalam pada laki-laki lain, hanya Alex bahkan sampai detik ini pun masih Alex.
PING. Sebuah pesan masuk.
            Aku melihat pesan itu, hanya sebuah ping saja dari Beni. Tak ku hiraukan, hanya aku baca saja. Tidak lama ada satu pesan baru lagi.
            Aku jemput kau saat makan siang. Aku ingin makan bebek.
            Aku tersenyum membaca pesan dari Beni.
            Siaaappp
            “Hei.. senyum-senyum sendiri” Desi memukul pundakku
            Aku hanya tertawa hambar.
***
            Satu minggu, hari ini tepat satu minggu sejak kejadian hari itu. Hari dimana aku menegaskan diriku untuk menjauh dari Alex, hari dimana aku merasa meninggalkan salah satu kebahagiaanku. Dahulu, aku pikir Alex memang sumber kebahagiaanku, namun sekarang aku sadar bahwa sumber kebahagiaan terbesarku adalah Beni.
            “Jika kau melamun terus, siapa yang mau mengambil pesanan kita?”
            “Ben, kenapa selalu aku yang mengambilnya. Kapan kau sadar bahwa kau itu laki-laki” ucapku kesal.
            “Laki-laki itu dilayani Kiran” ucap Beni pelan namun masih bisa terdengar olehku yang sudah beranjak dari kursi.
            Aku dan Beni berada di sebuah outlet donak dan kopi di salah satu mall di Bogor. Tempat ini memang tempat favoritku dan Beni untuk minum kopi dan selalu saja aku yang mengambil pesanan kami.
            Aku baru saja ingin mengambil pesananku yang sudah terletak di meja, lalu ada satu sosok laki-laki yang menghalangiku.
            “Permisi Pak.. saya ingin mengambil pesanan saya” ucapku
            Laki-laki itu menoleh, Oh Tidak! Jangan sekarang.
            “Kiran... oh Ya Tuhan akhirnya” Alex menatapku dan melangkah mendekatiku.
            “Kiran, kau harus tahu bahwa aku sangat merindukanmu” Alex memegang pipiku.
            Aku diam, tidak tahu harus apa. Setelah satu minggu aku berusaha menghilangkan dirinya dari hati dan otakku, saat ini justru aku bertemu dengannya lagi. Usahaku selama satu minggu ini terasa sia-sia karena aku sangat ingin memeluknya sekarang.
            “Kiran...” Sebelum aku khilaf dan memeluk Alex. Beni sudah menarik tanganku agar menjauh.
            “Mas.. take away saja” ucap Beni pada salah satu pelayan.
            “Ben. Ini urusanku dengan Kiran. bisakah kau tak ikut campur” Alex memandang Beni dengan tatapan tajam, Ia marah.
            “Saat ini, apa yang menjadi urusan Kiran adalah urusanku” Beni menarikku agar berdiri di belakangnya.
            “Ini Mas Beni” ucap pelayan seraya meletakkan plastik di atas meja.
            Beni mengambil plastik itu lalu berbalik dan menarikku pergi menjauhi Alex.
            Aku diam, begitu juga dengan Beni. Kami sudah berada di dalam mobil dan Beni sama sekali tak menyalakan mesin mobilnya.
            “Ben...” ucapku akhirnya
            “Kita minum dulu, suasana hatiku sedang tidak baik” ucap Beni sambil mengambil kopi yang ada di jok belakang.
            Aku dan Beni meminum kopi dalam sepi, tak ada yang mengatakan apapun. Aku sangat mengenal Beni, jika Ia sedang seperti ini berarti Ia sangat marah. Aku tak tahu mengapa Beni marah, tapi aku juga takut untuk menanyakannya.
            Aku baru saja bertemu dengan Alex tapi mengapa yang aku pikirkan saat ini justru Beni ? aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri.
            “aaahh.. akhirnya” Beni bergumama, spontan aku menoleh padanya.
            “Aku baik-baik saja Kiran” seolah tahu apa isi pikiranku, Beni berkata dan menatapku.
            Kuberanikan diri untuk bertanya padanya
            “Mengapa kau marah Ben?”
            “Entahlah” jawab Beni “Aku merasa kesal melihatnya menyentuh pipimu dan memandangmu seperti tadi, terlebih lagi dia menatapku seperti ini” lanjut Beni seraya menirukan tatapan Alex
            “Beni..” aku tersenyum “Kau cemburu? Haha kau juga ingin menyentuh pipiku? Ini ini” jawabku sambil menyodorkan pipiku.
            Beni menatap dan langsung memegang pipiku dengan kedua tangannya. Sontak aku kaget dan menatapnya.
            “Ben...”
            Beni menatapku, aku tak pernah melihat Beni seperti ini.
            “Kiran, berjanjilah padaku kau tidak akan bersedia di sentuh oleh laki-laki itu lagi dan berjanjilah kau tidak akan melihatnya seperti tadi yang seolah kau akan meloncat kedalam pelukannya”
            “Ben.. kau tahu kalau..”
            Aku belum selesai berbicara namun Beni sudah memotongnya.
            “Kumohon...”
            Aku menatap Beni dan mengangguk. “Aku janji”
            Entah mengapa aku bisa menjanjikan hal itu. Aku bahkan tersenyum saat mengucapkannya.
***
            Hari ini aku memberanikan diri bertemu dengan Alex. Aku tak ingin ia menggangguku terus menerus. Aku ingin tenang dan bisa melupakannya.
            Aku melihat Alex sudah duduk di salah satu restaurant korea tempat kami berjanji untuk bertemu. Ia melambai dan tersenyum padaku.
            “Maaf terlambat” ucapku langsung duduk berhadapan dengan Alex
            “Tidak. Aku saja yang terlalu bersemangat” Alex lagi-lagi tersenyum. “Aku sudah memesankan makanan untukmu, seperti biasanya. Kau tau aku...”
            “Alex” aku menyela “aku kesini karena aku ingin meminta sesuatu padamu”
            “Apa? Kau tahu bahwa aku akan memberikan apapun yang kau pinta”
            “Jauhi aku Lex” aku memandangnya tegas “Aku ingin kau menjauhiku. Aku ingin kau melupakanku”
            “Kiran, kalau tentang itu aku tidak bisa. Kau tahu aku sangat mencintaimu” Alex berusaha meraih tanganku, namun aku mengelak.
            “Kau akan mencintai wanita lain lebih dari kau mencintaiku. Asalkan kau berani untuk menjauhiku dan berhenti menghubungiku. Alex, kau tahu aku dengan sangat baik. Jika aku sudah berkomitmen, tak ada yang bisa merubahnya termasuk dirimu” Aku beranjak dari tempat dudukku.
            “Kau ingin pergi?” tanya Alex
            “Aku hanya ingin mengatakan itu semua dan aku harap kau mengerti”
            Alex memegang pergelangan tanganku.
            “Baiklah. Aku akan menuruti keinginanmu, tapi kumohon sekali ini saja kau makan bersamaku untuk yang terakhir kalinya” Alex memandangku memohon.
            Perlahan aku kembali duduk.
            “untuk yang terakhir kali”
            Selama kurang lebih satu jam aku menemani Alex makan. Ia tetap berbicara dan menceritakan semua hal yang Ia lakukan selama tidak bertemu denganku dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
            “Kau sudah selesai?” tanyaku
            “yaa.. hanya sampai disini Ki? Apa benar tak ada kesempatan lain?” Alex beranjak dari tempat duduknya begtu pula denganku.
            “Tidak Lex. Akhirnya akan tetap sama, menyakitkan Lex” Kami berhadapan.
            Alex mendekatiku, “untuk yang terakhir kali” Alex memelukku.
            Aku diam, kaget dan entahlah, perasaan itu datang lagi. Perasaanku saat bersama dengan Alex. Oh Tuhan.. hentikan ini.
            Tiba-tiba ada yang menarikku.
            “Jangan pernah menyentuh Kiranku lagi!” Beni berteriak pada Alex lalu berlari sambil menggandengku.
***
            Aku membuatkan secangkir cappucino untuk Beni. Jika sedang emosi seperti ini memang cappucino lah obat penenang untuknya. Sejak kecil, Beni suka sekali dengan cappucino terlebih lagi buatanku. Setiap weekend Ia pasti berkunjung ke rumahku dan meminta secangkir cappucino.
            “Tada... cappucino ala Kiran” aku menaruhnya di meja.
            “kau ingin menyogokku?”
            “Jangan marah lagi. Aku minta maaf Ben.” Aku duduk di samping Beni
            “Kau sudah berjanji padaku Kiran...”
            “Bukan aku yang memeluknya, dia yang tiba-tiba saja memelukku.”
            “Siapapun yang memulai, aku melihatnya kau berpelukan dengan laki-laki itu”
            “Beni.. kau cemburu? Kau benar-benar cemburu ya? Haha” aku tertawa berusaha menenangkan suasana.
            “Ya Kiran, Aku cemburu!” Beni berteriak dan menatapku tajam “Bisakah kau memegang janjimu? Sekali saja Kiran”
            “Ben?”
            “Maaf....” Beni menundukan kepalanya lagi.
            “Beni, sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau sering marah dan aneh”
            Beni diam, Ia memajamkan matanya dan membukanya kembali. Perlahan Ia menoleh menghadapku.
            “Kau tahu, aku kalah Kiran... aku kalah.”
            “Maksudmu?”
            “Banyak orang bilang bahwa laki-laki dan perempuan tak bisa bersahabat. Karena pada akhirnya salah satu dari mereka pasti jatuh cinta pada sahabatnya dan saat ini aku lah yang telah jatuh cinta padamu Kiran.. maaf”
            Tiba-tiba aku menahan nafasku, ucapan Beni membuatku tak bisa menemukan oksigen yang seharusnya kuhirup.
            “Maaf Kiran...” Beni menatap cappucinonya lalau mengambilnya dan meneguknya sampai habis.
            “Ben, pelan-pelan”
            Beni menaruh cangkir kembali di atas meja. “Lebih baik aku pulang, otakku sudah tidak bekerja dengan baik” Beni beranjak dari sofa.
            Aku ikut berdiri dan memegang tangannya. “Ben, maaf juga karena aku tak pernah menyadari perasaanmu” Aku memeluk Beni. “Aku tak tahu apa yang aku rasakan sekarang, tapi saat ini, detik ini aku hanya membutuhkanmu tetap berada disisiku”
            “Kiran” Beni membalas pelukanku
            Tak ada ucapan lain selama beberapa detik. Aku tak butuh orang lain saat ini, aku hanya membutuhkan Beni.
 “Aku akan tetap disini bersamamu”
            “Butuh cappucino?” tanyaku dan Beni menggeleng “Kenapa?”
            “Aku butuh kau tetap seperti ini” Beni memelukku lebih erat.
            “Ben, kau yakin tidak butuh cappucino? Dadaku sesak...”
            “Oke oke oke, buat kan aku cappucino ala Kiran”
            Aku berlari ke dapur dan segera membuatkan Beni secangkir cappucino lainnya. Entah bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Beni, yang aku tahu saat ini adalah diriku dan hatiku membutuhkannya.
            “Aku selalu mencintai cappucino buatanmu Kiran” Beni menyesapnya “Dan aku akan selalu mencintai yang membuatnya”
            “Beni.. kau tahu. Aku tak bisa mengatakan aku mencintaimu juga. Namun, aku bisa pastikan bahwa kau yang selalu ku butuhkan”
            “Kau ini...” Beni memelukku.

            Kadang kau tak tahu apa yang kau rasakan itu cinta atau bukan tapi percayalah bahwa apa yang kau butuhkan lebih berarti daripada yang kau inginkan. Seperti Tuhan yang terkadang memberikan hal yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar