SECANGKIR CAPPUCINO
Langkahku
gemetar, seluruh tubuhku tiba-tiba saja merasa sangat kedinginan, suaraku ikut
membeku. Ini seperti mimpi, aku tak pernah menginginkan ini semua, seharusnya
sejak awal aku tak pernah memulainya. Aku tahu hubunganku dengannya adalah
sebuah kesalahan, kesalahan yang sudah ku ketahui, kesalahan yang tak akan
pernah bisa menjadi sebuah kebenaran.
“Kiran...”
suara berat Alex terdengar jelas, namun aku tidak boleh luluh lagi. Dia bukan
untukmu Kiran, ini jalanmu.
“Kiran..
aku yakin pasti ada jalan agar kita tetap bisa bersama” Alexa berlari dan
menggenggam tanganku. Aku tidak bisa mengelak, sentuhan tangannya, aku
merindukannya.
“Alex...”
aku berbalik dan memandangnya.
Belum
selesai ucapanku, tiba-tiba saja turun hujan. Alex menarik tanganku agar mengikutinya,
namun aku tetap bertahan di posisiku. Mungkin Allah mengerti bahwa aku pasti
akan menangis dan hujan ini yang akan
menutupi air mataku.
“Tak
ada masa depan untuk kita, Lex.” Aku menatapnya yang masih menggenggam
pergelangan tanganku. “Kau pasti tahu aku sangat mencintaimu, tapi kau juga
harus tahu bahwa aku lebih mencintai Tuhanku, Allah”
Alex
maju satu langkah mendekatiku,
“Aku
tahu itu, tapi aku juga memiliki Tuhan. Bukankah semua agama sama Ki? Kita
sama-sama menyembah Tuhan” Tangan Alex berpindah ke lenganku, menggenggam kedua
lenganku dengan kedua tangannya.
“Pernikahan
berbeda agama tidak ada di negara ini, namun bukan itu alasanku Lex. Tapi,
agamaku mengatakan ini salah. Maafkan aku Lex, I love You...” Aku menarik kedua
tangan Alex untuk melepaskanku.
Aku
berlari, terus berlari sampai tak kudengar lagi suara Alex. Seluruh tubuhku
sudah basah dengan air hujan. Aku tak tahu lagi bagaimana orang melihatku, tapi
ini lebih baik untukku.
Tiba-tiba
aku merasakan air hujan tak lagi membasahi rambut dan tubuhku. Aku menengadah.
Payung? Sontak aku berbalik.
“Kau
bisa sakit jika kehujanan Kiran”
Aku hampir
saja jatuh kebelakang setelah melihat wajah orang yang memayungiku.
“Beni...”
tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. Air mataku tak bisa ku tahan lagi,
semua tumpah di dada bidang milik Beni. Ia sahabatku, sahabat terbaikku.
“Kau tahu
Kiran, aku sama sekali tak keberatan kau memelukku, tapi bisakah kita masuk
terlebih dahulu ke dalam taxi dan meminum secangkir cappucino di rumah? Ini
sangat memalukan, menjadi tontonan orang” Ucap Beni seraya membelai rambutku
dengan tangannya yang kosong.
***
“Kau sudah
selesai menangis?” tanya Beni.
Aku mengangguk
dan mengangkat kepalaku menjauh dari tubuh Beni, namun Beni justru mendorongnya
agar tetap bersandar padanya.
“Aku lebih
suka kau seperti ini, aku bisa semalaman seperti ini dan meminum satu lusin
cappucino asalkan besok pagi kau sudah kembali menjadi Kiranku” Beni
menyandarkan punggungnya ke sofa.
Aku mengangguk
dan menyamankan posisiku di tubuhnya.
“Ben..”
“Hmm..”
“Mengapa kau
tidak memarahiku?” tanyaku sambil memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan
mataku yang mulai lelah karena menangis.
“Tak ada
gunanya, kau hanya butuh aku yang mendengarkanmu dan memelukmu. Kau sedang
tidak butuh Beni yang cerewet” Beni menjawab seraya meminum cappucinonya.
Aku tersenyum,
Beni selalu tahu apa yang aku butuhkan daripada apa yang aku inginkan. Satu-satunya
sahabatku sejak aku berusia enam tahun yang selalu berada disisiku. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi jika Beni menikah suatu hari nanti, bagaimana diriku
tanpanya? Bagaimana aku melewati hariku? Kepada siapa aku akan berkeluh kesah
seperti ini lagi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul, namun aku
berusaha mengelaknya, aku ingin Beni selalu berada disisiku, ya selalu.
***
Aku berjalan
menuju ruanganku, tak ku hiraukan dering ponselku yang tak henti-hentinya pagi
ini. Alex menelponku puluhan kali sejak semalam dan aku tak berniat
menjawabnya. Mendengar suaranya akan membuatku luluh lagi dan aku tak ingin itu
terjadi.
“Kau tak
menjawab ponselmu?” Desi yang sejak tadi berada di sampingku pun akhirnya
bertanya.
“Tidak.. hanya
orang asing” aku berjalan lebih cepat hingga sampai ke mejaku.
Aku melihat
jumlah panggilan, pagi ini sudah sebelas kali Alex menelponku. Tiba-tiba
ponselku berdering lagi, tapi ini bukan Alex. Aku tersenyum dan menekan tombol
jawab.
“Assalamualaikum...”
jawabku dengan masih tersenyum.
“Wa’alaikumsallam!
Kau ini bodoh atau gila? Aku terlambat ke kantor tahu!” Beni menjawab dengan
nada tinggi.
“Maaf, aku
pikir kau ingin membolos hari ini. Hehe”
“Kau ini...”
Beni berhenti sejenak “Are you okay?” tanyanya seolah baru sadar apa yang
terjadi semalam.
“I’m okay Ben”
Obrolanku
dengan Beni berakhir begitu saja. Satu-satunya orang yang bisa membuatku
tersenyum saat ini adalah Beni. Aku baru menyadarinya saat ini, bahwa Beni
adalah orang yang selalu ada untukku, selalu mengerti diriku. Andai dalam
persahabatan diperbolehkan adanya cinta.
Beni tak
pernah memiliki kekasih sejak lulus dari SMA. Ia hanya sempat dua kali menjalin
hubungan, yang pertama dengan teman sekelasnya dan yang kedua dengan adik
kelas. Hubungan mereka berakhir begitu saja hanya dalam waktu kurang lebih enam
bulan. Aku selalu bertanya mengapa Beni putus, namun laki-laki itu tak ingin
membicarakannya denganku. Dia bilang jika aku tahu, aku akan memaksanya untuk
balikan. Aneh.
Dalam
hubunganku dengan Alex, Beni juga sempat memperingatkanku. Hubungan berbeda agama itu tidak ada masa depan, hanya bahagia sesaat
dan sakit berkepanjangan. Dahulu aku tak mendengarkan Beni karena ku anggap
hubunganku dengan Alex akan berakhir hanya dalam dua sampai tiga bulan. Namun,
aku justru jatuh cinta terlalu dalam dengan Alex. Alex memberikan kebahagiaan
pada hidupku, menyayangiku dengan penuh perhatiannya, memelukku dengan penuh
cinta. Aku tak pernah merasakan perasaan yang begitu dalam pada laki-laki lain,
hanya Alex bahkan sampai detik ini pun masih Alex.
PING. Sebuah pesan masuk.
Aku
melihat pesan itu, hanya sebuah ping saja dari Beni. Tak ku hiraukan, hanya aku
baca saja. Tidak lama ada satu pesan baru lagi.
Aku jemput kau saat makan siang. Aku ingin
makan bebek.
Aku
tersenyum membaca pesan dari Beni.
Siaaappp
“Hei..
senyum-senyum sendiri” Desi memukul pundakku
Aku
hanya tertawa hambar.
***
Satu
minggu, hari ini tepat satu minggu sejak kejadian hari itu. Hari dimana aku
menegaskan diriku untuk menjauh dari Alex, hari dimana aku merasa meninggalkan
salah satu kebahagiaanku. Dahulu, aku pikir Alex memang sumber kebahagiaanku,
namun sekarang aku sadar bahwa sumber kebahagiaan terbesarku adalah Beni.
“Jika
kau melamun terus, siapa yang mau mengambil pesanan kita?”
“Ben,
kenapa selalu aku yang mengambilnya. Kapan kau sadar bahwa kau itu laki-laki”
ucapku kesal.
“Laki-laki
itu dilayani Kiran” ucap Beni pelan namun masih bisa terdengar olehku yang
sudah beranjak dari kursi.
Aku
dan Beni berada di sebuah outlet donak dan kopi di salah satu mall di Bogor.
Tempat ini memang tempat favoritku dan Beni untuk minum kopi dan selalu saja
aku yang mengambil pesanan kami.
Aku
baru saja ingin mengambil pesananku yang sudah terletak di meja, lalu ada satu
sosok laki-laki yang menghalangiku.
“Permisi
Pak.. saya ingin mengambil pesanan saya” ucapku
Laki-laki
itu menoleh, Oh Tidak! Jangan sekarang.
“Kiran...
oh Ya Tuhan akhirnya” Alex menatapku dan melangkah mendekatiku.
“Kiran,
kau harus tahu bahwa aku sangat merindukanmu” Alex memegang pipiku.
Aku
diam, tidak tahu harus apa. Setelah satu minggu aku berusaha menghilangkan
dirinya dari hati dan otakku, saat ini justru aku bertemu dengannya lagi.
Usahaku selama satu minggu ini terasa sia-sia karena aku sangat ingin
memeluknya sekarang.
“Kiran...”
Sebelum aku khilaf dan memeluk Alex. Beni sudah menarik tanganku agar menjauh.
“Mas..
take away saja” ucap Beni pada salah satu pelayan.
“Ben.
Ini urusanku dengan Kiran. bisakah kau tak ikut campur” Alex memandang Beni
dengan tatapan tajam, Ia marah.
“Saat
ini, apa yang menjadi urusan Kiran adalah urusanku” Beni menarikku agar berdiri
di belakangnya.
“Ini
Mas Beni” ucap pelayan seraya meletakkan plastik di atas meja.
Beni
mengambil plastik itu lalu berbalik dan menarikku pergi menjauhi Alex.
Aku
diam, begitu juga dengan Beni. Kami sudah berada di dalam mobil dan Beni sama
sekali tak menyalakan mesin mobilnya.
“Ben...”
ucapku akhirnya
“Kita
minum dulu, suasana hatiku sedang tidak baik” ucap Beni sambil mengambil kopi
yang ada di jok belakang.
Aku
dan Beni meminum kopi dalam sepi, tak ada yang mengatakan apapun. Aku sangat
mengenal Beni, jika Ia sedang seperti ini berarti Ia sangat marah. Aku tak tahu
mengapa Beni marah, tapi aku juga takut untuk menanyakannya.
Aku
baru saja bertemu dengan Alex tapi mengapa yang aku pikirkan saat ini justru
Beni ? aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri.
“aaahh..
akhirnya” Beni bergumama, spontan aku menoleh padanya.
“Aku
baik-baik saja Kiran” seolah tahu apa isi pikiranku, Beni berkata dan
menatapku.
Kuberanikan
diri untuk bertanya padanya
“Mengapa
kau marah Ben?”
“Entahlah”
jawab Beni “Aku merasa kesal melihatnya menyentuh pipimu dan memandangmu
seperti tadi, terlebih lagi dia menatapku seperti ini” lanjut Beni seraya
menirukan tatapan Alex
“Beni..”
aku tersenyum “Kau cemburu? Haha kau juga ingin menyentuh pipiku? Ini ini”
jawabku sambil menyodorkan pipiku.
Beni
menatap dan langsung memegang pipiku dengan kedua tangannya. Sontak aku kaget
dan menatapnya.
“Ben...”
Beni
menatapku, aku tak pernah melihat Beni seperti ini.
“Kiran,
berjanjilah padaku kau tidak akan bersedia di sentuh oleh laki-laki itu lagi
dan berjanjilah kau tidak akan melihatnya seperti tadi yang seolah kau akan
meloncat kedalam pelukannya”
“Ben..
kau tahu kalau..”
Aku
belum selesai berbicara namun Beni sudah memotongnya.
“Kumohon...”
Aku
menatap Beni dan mengangguk. “Aku janji”
Entah
mengapa aku bisa menjanjikan hal itu. Aku bahkan tersenyum saat mengucapkannya.
***
Hari
ini aku memberanikan diri bertemu dengan Alex. Aku tak ingin ia menggangguku
terus menerus. Aku ingin tenang dan bisa melupakannya.
Aku
melihat Alex sudah duduk di salah satu restaurant korea tempat kami berjanji
untuk bertemu. Ia melambai dan tersenyum padaku.
“Maaf
terlambat” ucapku langsung duduk berhadapan dengan Alex
“Tidak.
Aku saja yang terlalu bersemangat” Alex lagi-lagi tersenyum. “Aku sudah
memesankan makanan untukmu, seperti biasanya. Kau tau aku...”
“Alex”
aku menyela “aku kesini karena aku ingin meminta sesuatu padamu”
“Apa?
Kau tahu bahwa aku akan memberikan apapun yang kau pinta”
“Jauhi
aku Lex” aku memandangnya tegas “Aku ingin kau menjauhiku. Aku ingin kau
melupakanku”
“Kiran,
kalau tentang itu aku tidak bisa. Kau tahu aku sangat mencintaimu” Alex
berusaha meraih tanganku, namun aku mengelak.
“Kau
akan mencintai wanita lain lebih dari kau mencintaiku. Asalkan kau berani untuk
menjauhiku dan berhenti menghubungiku. Alex, kau tahu aku dengan sangat baik.
Jika aku sudah berkomitmen, tak ada yang bisa merubahnya termasuk dirimu” Aku
beranjak dari tempat dudukku.
“Kau
ingin pergi?” tanya Alex
“Aku
hanya ingin mengatakan itu semua dan aku harap kau mengerti”
Alex
memegang pergelangan tanganku.
“Baiklah.
Aku akan menuruti keinginanmu, tapi kumohon sekali ini saja kau makan bersamaku
untuk yang terakhir kalinya” Alex memandangku memohon.
Perlahan
aku kembali duduk.
“untuk
yang terakhir kali”
Selama
kurang lebih satu jam aku menemani Alex makan. Ia tetap berbicara dan
menceritakan semua hal yang Ia lakukan selama tidak bertemu denganku dan aku
hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Kau
sudah selesai?” tanyaku
“yaa..
hanya sampai disini Ki? Apa benar tak ada kesempatan lain?” Alex beranjak dari
tempat duduknya begtu pula denganku.
“Tidak
Lex. Akhirnya akan tetap sama, menyakitkan Lex” Kami berhadapan.
Alex
mendekatiku, “untuk yang terakhir kali” Alex memelukku.
Aku
diam, kaget dan entahlah, perasaan itu datang lagi. Perasaanku saat bersama
dengan Alex. Oh Tuhan.. hentikan ini.
Tiba-tiba
ada yang menarikku.
“Jangan
pernah menyentuh Kiranku lagi!” Beni berteriak pada Alex lalu berlari sambil
menggandengku.
***
Aku
membuatkan secangkir cappucino untuk Beni. Jika sedang emosi seperti ini memang
cappucino lah obat penenang untuknya. Sejak kecil, Beni suka sekali dengan
cappucino terlebih lagi buatanku. Setiap weekend Ia pasti berkunjung ke rumahku
dan meminta secangkir cappucino.
“Tada...
cappucino ala Kiran” aku menaruhnya di meja.
“kau
ingin menyogokku?”
“Jangan
marah lagi. Aku minta maaf Ben.” Aku duduk di samping Beni
“Kau
sudah berjanji padaku Kiran...”
“Bukan
aku yang memeluknya, dia yang tiba-tiba saja memelukku.”
“Siapapun
yang memulai, aku melihatnya kau berpelukan dengan laki-laki itu”
“Beni..
kau cemburu? Kau benar-benar cemburu ya? Haha” aku tertawa berusaha menenangkan
suasana.
“Ya
Kiran, Aku cemburu!” Beni berteriak dan menatapku tajam “Bisakah kau memegang
janjimu? Sekali saja Kiran”
“Ben?”
“Maaf....”
Beni menundukan kepalanya lagi.
“Beni,
sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau sering marah dan aneh”
Beni
diam, Ia memajamkan matanya dan membukanya kembali. Perlahan Ia menoleh
menghadapku.
“Kau
tahu, aku kalah Kiran... aku kalah.”
“Maksudmu?”
“Banyak
orang bilang bahwa laki-laki dan perempuan tak bisa bersahabat. Karena pada
akhirnya salah satu dari mereka pasti jatuh cinta pada sahabatnya dan saat ini
aku lah yang telah jatuh cinta padamu Kiran.. maaf”
Tiba-tiba
aku menahan nafasku, ucapan Beni membuatku tak bisa menemukan oksigen yang
seharusnya kuhirup.
“Maaf
Kiran...” Beni menatap cappucinonya lalau mengambilnya dan meneguknya sampai
habis.
“Ben,
pelan-pelan”
Beni
menaruh cangkir kembali di atas meja. “Lebih baik aku pulang, otakku sudah
tidak bekerja dengan baik” Beni beranjak dari sofa.
Aku
ikut berdiri dan memegang tangannya. “Ben, maaf juga karena aku tak pernah
menyadari perasaanmu” Aku memeluk Beni. “Aku tak tahu apa yang aku rasakan
sekarang, tapi saat ini, detik ini aku hanya membutuhkanmu tetap berada
disisiku”
“Kiran”
Beni membalas pelukanku
Tak
ada ucapan lain selama beberapa detik. Aku tak butuh orang lain saat ini, aku
hanya membutuhkan Beni.
“Aku akan tetap disini bersamamu”
“Butuh
cappucino?” tanyaku dan Beni menggeleng “Kenapa?”
“Aku
butuh kau tetap seperti ini” Beni memelukku lebih erat.
“Ben,
kau yakin tidak butuh cappucino? Dadaku sesak...”
“Oke
oke oke, buat kan aku cappucino ala Kiran”
Aku
berlari ke dapur dan segera membuatkan Beni secangkir cappucino lainnya. Entah
bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Beni, yang aku tahu saat ini adalah
diriku dan hatiku membutuhkannya.
“Aku
selalu mencintai cappucino buatanmu Kiran” Beni menyesapnya “Dan aku akan
selalu mencintai yang membuatnya”
“Beni..
kau tahu. Aku tak bisa mengatakan aku mencintaimu juga. Namun, aku bisa
pastikan bahwa kau yang selalu ku butuhkan”
“Kau
ini...” Beni memelukku.
Kadang
kau tak tahu apa yang kau rasakan itu cinta atau bukan tapi percayalah bahwa
apa yang kau butuhkan lebih berarti daripada yang kau inginkan. Seperti Tuhan
yang terkadang memberikan hal yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar