Senin, 31 Oktober 2016

[CERBUNG[ Fate - Part 4 End

Part 4 End

Ernest menatap Adeeva dengan tersenyum tanpa malu Ia terus menatap Adeeva dengan pandangan memuja.
“Hei!!” Ernest hampir jatuh dari kursinya saat sebuah tangan menepuk pundaknya
Mata Ernest menyipit, “Reyhan?”
“Ya ini aku” Reyhan tersenyum pada Ernest
“Hai Rey.. kau akan sarapan bersama kami?” tanya Adeeva saat mendengar suara Reyhan disana
Reyhan tersenyum semanis mungkin pada Adeeva, “Hai Deev... tentu saja. Aku merindukan masakanmu yang sangat lezat itu” dan Adeeva hanya tersenyum malu.
Ernest menatap tajam Reyhan, “Apa itu tadi? Rey? Deev? Sejak kapan kalian sedekat itu?” tanya Ernest kesal

“Wow wow, sabar sobat. Itu hanya terjadi begitu saja, mungkin kami memang berjodoh” jawab Reyhan “Bukan begitu Deev?” teriak Reyhan pada Adeeva
Adeeva hanya mengangguk, Ia terlalu sibuk dengan masakannya sekarang.
“Apa?” Ernest terbelalak tidak setuju, “Tunggu, duduk disana!” Ernest menunjuk kursi paling pojok.
Reyhan menatap Ernest bingung, namun akhirnya Ia menuruti perintah sahabatnya itu.
“Aku tidak tahu kau rajin bangun pagi di hari senin” Ernest menatap Reyhan penuh tanya
“haha Ada apa denganmu? Mengapa kau begitu sinis padaku Ernest? Aku hanya ingin sarapan bersama kalian berdua” Reyhan tersenyum jahil
“Tidak! Ini terakhir kalinya kau datang kesini untuk sarapan!” perintah Ernest dengan nada se otoriter mungkin
“baiklah, kalau begitu aku akan datang saat makan malam”
“Reyhan!!!’ Ernest menatap tajam Reyhan
“Baiklah-baiklah.. aku hanya bercanda sobat! Aku kemari untuk memberikan kau laporan bahwa kasus pencucian uang perusahaan Woody sudah selesai, dan laki-laki sombong akan mendekam di dalam penjara.
Ernest tersenyum senang mendengar itu, lalu senyumnya hilang dan kembali menatap tajam Reyhan, “Tunggu! Kau bisa memberitahuku di kantor ku, atau kau bisa menelponku saja”
Reyhan lagi-lagi tersenyum jahil dan beberapa saat melirik ke arah Adeeva, “tentu kau tahu alasannya”
“Jangan meliriknya seperti itu!!!!”
“Apa kalian sudah selesai bertengkar?” tanya Adeeva yang duduk di tengah-tengah Ernest dan Reyhan
“Wah sudah selesai. Perutku sudah sangat lapar” Reyhan tersenyum senang melihat hidangan di depannya.
Mereka bertiga pun makan seraya membicarakan tentang perusahaan Woody tadi. Walau tidak mengerti, namun Adeeva mencoba memahami setiap ucapan dari Ernest maupun Reyhan. Mungkin jika Ia harus belajar tentang dunia hukum dan bisnis, Ia akan memilih Reyhan mengajarinya, karena Ernest terlalu datar sehingga Adeeva tidak bisa mencerna hampir semua kalimatnya
Saat Ernest dan Reyhan berbincang lagi sesudah makan, Adeeva sudah menyiapkan dua kotak bekal untuk keduanya.
“Satu untuk Ernest, satu lagi spesial untuk Reyhan tamu kami” Adeeva tersenyum meletakan kotak makan tiga susun di hadapan Ernest dan Reyhan.
“Waah aku dapat juga” Reyhan melirik Ernest dan tersenyum jahil lagi. “terimakasih Deev yang cantik” pujinya
Ernest menggertakan giginya, “bukankah kau harus segera ke kantor mu? Aku yakin klienmu sedang menunggu sekarang”
“Ohh tid...”
“Reyhan!!!” Sela Ernest setengah berteriak membuat Reyhan harus berdiri dan berlari pergi sambil melambai pada Adeeva.
Adeeva tersenyum dan membalas lambaian Reyhan.
“turunkan tanganmu” perintah Ernest pada Adeeva
Adeeva menatap kesal lalu menurunkan tangannya perlahan,
“Mengapa kau membuatkan bekal untuk Reyhan?” tanya Ernest dengan suara yang sangat dingin
Adeeva menatap ngeri, “Aku tidak enak hati jika hanya membuat untukmu, dia ada disini. Maka dari itu aku juga buatkan untuknya”
Ernest mengangguk mengerti, lalu turun dan kursinya dan mendekati Adeeva. Tanpa peringatan, tanpa persetujuan, Ernest memeluk Adeeva. Ernest kembali mencium aroma strawberry itu.
“Lain kali tidak usah buatkan untuknya, tidak, lain kali tidak usah buatkan untuk siapapun kecuali aku” bisiknya pada Adeeva membuat Adeeva sedikit merinding.
Lalu dengan cepat Ernest melepaskan pelukannya. Mengambil tas dan bekalnya. Namun saat Ia melangkah pergi, Ia merasakan ada yang kurang dan tertinggal. Ia kembali menatap Adeeva yang masih menatapnya. Lalu Ernest berjalan cepat ke arah Adeeva.
“Apa? Ada yang tertinggal?” tanya Adeeva bingung
Ernest pun langsung mencium kening Adeeva. “hubungi aku nanti”
Ernest pergi dengan perasaan lega, tidak ada yang kurang apalagi tertinggal sekarang.
***
Adeeva berkutik dengan pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan novel salah satu penulis, karena hari sabtu nanti adalah deadlinenya. Walau ini pekerjaan yang menyenangkan baginya, namun dalam kondisi tubuh yang belum sehat betul membuat Adeeva harus berusaha lebih keras. Ia sudah meminum dua butir obat sakit kepalanya dalam waktu delapan jam terakhir. Ia bahkan melupakan makan siangnya. Saat Adeeva ingin minum obat ketiganya, ponselnya berderinga.
Mr. Sinis bin otoriter
Adeeva tersenyum melihat nama yang tertera, sepertinya Ia benar memberi nama itu untuk Ernest. Dengan cepat Adeeva menakal tombol jawab.
“Hallo...” jawab Adeeva
“Mengapa kau tidak menghubungiku?” tanya Ernest langsung
“Apa?” Adeeva sedikit berteriak menanyakan kalimat Ernest barusan
“Mengapa kau tidak menghubungiku?” ulangnya
Adeeva tersenyum, teringat ucapan Ernest saat laki-laki itu pergi, “Aku kira itu hanya basa-basi”
“Itu bukan basa-basi”
“Baiklah baiklah, maaf. Lagi pula, aku tak membutuhkan apapun, jadi untuk apa menghubungimu?”
“Apa kau akan menghubungiku hanya karena kau butuh sesuatu?”
Adeeva berpikir sejenak, “Sepertinya begitu. Memang untuk apa lagi aku menghubungimu?”
Terdengar desahan keras dari Ernest, “Mulai sekarang kau harus menghubungiku setiap jam makan siang”
Adeeva ingin menolak, namun teringat janjinya pada Ernest akhirnya Adeeva mengangguk walau tidak dapat dilihat oleh Ernest, “Baiklah”
“dan.. apakah kau juga menuliskan pesan di bekal Reyhan?” tanya Ernest lagi
Adeeva memang selalu memberikan pesan di setiap bekal Ernest sebelumnya, hari ini pun juga seperti itu. “Tidak. Aku tidak sempat menulis, Ia datang terlalu tiba-tiba”
“Jadi jika kau sempat kau akan menulis?”
Adeeva tersenyum mendengar nada kesal di suara Ernest, “Tetap tidak”
“Pintar.” Ucap Ernest, “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Menyelasikan mengedit novel. Deadline sudah dekat tapi aku belum juga menyelesaikannya”
“Suruh orang lain yang mengerjakan”
Adeeva mendesah, laki-laki sombong ini benar-benar, “Tidak bisa. Aku sudah diberi tugas sebagi editornya. Bagaimana mungkin aku bisa memeberikan tugas ini pada orang lain?”
“Aku bisa melakukannya. Kau ingin aku mencari orang lain?” tawar Ernest
“Tidak” Dengan cepat Adeeva pun menolah
“Baiklah. Aku akan pulang membawa makanan dari restauran tempat aku meeting. Kau tidak perlu memasak dan jangan meminum obat apapun jika kau pusing atau lelah. Kau hanya perlu tidur”
Adeeva tersenyum lalu memasukan pil yang di tangannya ke dalam botol. Kemudian memasukan botol itu kedalam laci, “Baiklah”
“sampai jumpa”
“Sampai jumpa, semoga meetingmu berjalan lancar”
“Terimakasih” Ernest berpikir sejenak, “Semoga harimu menyenangkan”
Disitulah obrolan keduanya selesai.
***
Setelah kejadian malam itu, saat Ernest memeluk Adeeva selama tidurnya, hubungan keduanya membaik. Tak ada keributan besar, hanya masalah sepele yang tak membuat keduanya bertengkar hebat lagi.
Adeeva sudah berada di dalam mobil Ernest. Laki-laki itu entah karena angin apa, berniat mengantar Adeeva ke kantor penerbitnya untuk menyerahkan naskah.Ernest mengendari mobilnya sendiri dengan senang hati di hari sabtu.
“Kau tidak apa-apa menyetir? Kau punya SIM? Jika kau merasa lelah bilang padaku, biar aku saja yang menyetir” tanya Adeeva dengan gugup, dirinya sudah memegang sabuk pengaman begitu erat
“Aku tidak apa-apa, aku punya SIM dan aku tidak lelah Adeeva. Kau tenang saja, tak akan terjadi apapun”  Ernest meraih tangan kanan Adeeva dengan tangan kirinya. Menggenggamnya dengan erat.
“Tidak. Kau harus menyetir, lepaskan tanganku” Wajah Adeeva panik
“Ini matic dan jalanan pun lancar. Tidak perlu khawatir” bukannya melepas tangan Adeeva, Ernest justru mempererat genggamannya.
Setelah menempuh berjalanan setengah jam lebih. Akhirnya mereka sampai di kantor penerbit tempat Adeeva bekerja.
“Aku akan ke atas sebentar. Kau bisa menunggu di cafe itu, kopi disana sangat nikmat” ucap Adeeva sebelum melangkah pergi.
Suasana kantor memang sangat sepi di hari sabtu, mungkin karena semua pegawai libur. Ernest sudah mengatakan jika Adeeva bisa menyerahkannya Senin namun wanita itu benar-benar keras kepala dan bertekad mengantarnya hari ini juga. Alhasil, beginilah keadaan kantor. Sepi tanpa orang. Untuk saja cafe di sebelah gedung penerbit ini masih buka.
Ernest berjalan agak lambar menuju cafe. Saat Ia memasuki cafe Ia memutuskan duduk di dekat pintu masuk agar Adeeva bisa langsung melihatnya. Ernest pun memesan Americano kesukaannya, lalu berjalan menuju toilet.
Letak toilet cafe ini ada di belakang ujung. Harus melewati lorong yang memisahkan meja pelanggan. Di ujung kanan terdapat meja dan kursi kayu biasa, Ernest pus menengok ke sisi sebelahnya, disana disediakan meja bulat dan sofa setengah lingkaran. Namun mata Ernest langsung terperajat kaget saat melihat dua sosok yang dikenalnya, Tidak mungkin! Ernest pun bersembunyi dan menguping pembicaraan mereka.
“Kau harus memutuskan perempuan sialan dan kampungan itu”
“Aku akan melakukannya, tapi tidak sekarang”
“Apa yang kau tunggu? Kau bilang kau tertarik padaku. Kau cinta padaku, tapi kau masih tidak bisa melepasnya”
“Sayang.. bersabarlah. Akan terlalu kejam memutuskannya begitu saja. Bukankah kau berpikir begitu juga?”
“Memang.. ahh aku lelah seperti ini terus”
“Bukankah kita melewati satu minggu menyenangkan di Jepang? Jangan cemberut seperti itu. kau semakin terlihat cantik”
“kau ini bisa saja. Aku akan segera memutuskan hubunganku dengan laki-laki tak punya hati itu, setelah itu kau harus memutuskan perempuan sialan itu. janji?”
“Janji”
Ernest menggeram marah,
“Ernest” suara Adeeva membuatnya menoleh kaget “Apa yang kau lihat?”
Ernest menghalangi Adeeva agar tidak melihat kedua orang itu.
“Awas..” Adeeva berhasil mendorong tubuh Ernest. Adeeva tersentak kaget siapa yang dilihatnya. Adeeva mundur dua langkang dan menutup mulutnya tidak percaya. Dengan cepat Ia lari dari keluar.
Ernest menyusul Adeeva, namun Ia melihat kopinya sudah siap di meja, terpaksa Ia pun ke kasir dan menaruh uang seratus ribu dan menunjuk mejanya. Tanpa peduli ucapan sanga kasir, Ernest segera berlari menyusul Adeeva. Saat ada di parkiran, tak di sangka Adeeva berdiri di depan mobil miliknya. Ernest mengira Adeeva akan pergi ke tempat lain.
Adeeva menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia lalu menatap Ernest yang sudah ada di hadapannya. “Aku mau pulang” ucapnya, lalu Ernest merangkulnya dan membukakan pintu untuk Adeeva.
Ernest dengan lembut memasangkan sabuk pengaman pada Adeeva lalu memasng sabuknya sendiri. Ia pun segera menyalakan mesin dan menginjak pedal gasnya.
Adeeva hanya menatap jalanan lurus, Ia berusaha tidak menangis, Ia berusaha tidak berteriak dan Ia sangat berusaha untuk tidak marah.
Setelah sampai di rumah Ernest membukakan pintu mobil dan kembali merangkul Adeeva. Menuntunnya masuk ke dalam rumah hingga masuk ke dalam kamar istrinya itu. Ernest mendudukan Adeeva di atas ranjang, Ia pun ikut duduk disampingnya.
“Katakan padaku, apa yang aku lihat tadi tidak benar” Adeeva menatap Ernest
“Itu kenyataan Adeeva” ucap Ernest
“Tapi.. tapi mengapa?” Adeeva menatap Ernest penuh tanya, “Dia, Dia sangat menyayangiku. Dia bilang dia sangat mencintaiku. Dia tidak mungkin mengkhianatiku Ernest.” Suara Adeeva mulai terdengar sangat purau, “Aku..aku...”
Ernest dengan gesit memeluk Adeeva, memeluknya dengan erat dan membelai rambutnya. Ernest tidak mengerti bagaimana cara menenangkannya. Namun, Ernest juga patah hati disini, bukan karena Ia melihat Ariana dan Jo bermesraan, tapi karena Adeeva menangis untuk laki-laki yang bahkan tidak pantas untuk di tangisi
Adeeva membalas pelukan Ernest, “Kau tidak menangis?” tanya Adeeva dengan polosnya,
Ernest tersenyum mendengar pertanyaan Adeeva lalu melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Adeeva, menatap gadis itu tajam. “Aku ingin sekali menangis, tapi bukan karena dua orang yang bahkan tidak pantas untuk aku tangisi itu, aku ingin menangis karena kau menangisi orang yang salah Adeeva”
Adeeva menatap Ernest, menyerap semua kata-kata Ernest. Benar, dia tidak boleh menangisi orang yang salah. Ucapnya dalam hati.
“Aku akan membuat mereka menyesal, aku janji” ucap Ernest
***
Adeeva keluar dari kamarnya karena tadi Ia mendengar Ernest membuka pintu. Namun saat Ia keluar, Ernest sudah tak ada di lorong kamarnya. Di tangga pun sudah tidak ada, Adeeva mendengar ada suara dari bawah. Akhirnya Ia memutuskan untuk turun. Adeeva berjalan menuju ruang tamu. Adeeva membelalakan matanya saat mendapati Ernest sedang memeluk mesra Ariana.
“Aku kangen kamu” ucap Ariana riang
Adeeva mendesah kesal, Ia bahkan mengepalkan kedua tangannya.
Saat itu, Ernest melihat Adeeva yang memandang dirinya dan Ariana. Ernest melihat mata Adeeva yang mulai berair, dengan cepat Ia mendorong Ariana.
Adeeva berlari menuju pintu.
Ernest ikut berlari dan mengejar Adeeva.
Adeeva membuka pintu, saat itu muncul sosok Jonathan diahadapannya. Laki-laki itu langsung mendekat pada Adeeva, namun Adeeva mundur satu langkah saat Jo berniat memegang pipinya.
“Jangan mendekat” Ucap Adeeva
“Ada apa? Aku baru datang mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya Jo bingung
Plaakkk Adeeva menampar Jo
“Kau pikir apa yang kau lakukan!!!??” Jo mengangkat tangan berniat menampar Adeeva namun sebelum itu terjadi, Ernest sudah menahan tangan itu.
Ernest membanting tangan Jo, “Jangan pernah berani menyentuh Adeeva” ucap Ernest geram
Jo menatap tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?
Buukk
Lalu tanpa pikir panjang Ernest memukul Jo, membabi buta. Tak mempedulikan teriakan Arianan dan Adeeva yang meminta Ernest berhenti. Ia terus memukulin Jo hingga wajah Jo berubah biru dan darah di bibir dan pelipisnya.
“Ernest, aku mohon berhenti” Adeeva memegang lengan Ernest
Ernest menoleh dan mendapati Adeeva menangis. Dengan berat hati Ernest menyudahi sesi pukulannya pada Jo. Ia langsung melihat pada Ariana, menatap tajam dan marah pada gadis itu.
“Kau bawa dia! Jangan sampai kalian berdua muncul dihadapanku lagi!!!!” teriak Ernest membuat Ariana langsung membopoh Jo dan meninggalkan Ernest dan Adeeva
Adeeva menatap nanar pada Ernest, mata Adeeva sudah memerah, wajahnya sudah basah karena air mata. Adeeva langsung memeluk Ernest.
“Apa yang kau lakukan? Kau bisa membunuhnya” ucap Adeeva dengan isakan tangis yang masih terdengar oleh Ernest
“Kau menangis karena takut dia mati?” Ernest melepaskan pelukan Adeeva, memegang kedua pundak Adeeva dan menatap gadis itu kesal.
Adeeva memukul lengan Ernest dengan tangan kananya, “bodoh! Jika dia mati kau bisa masuk penjara!!!!” teriak Adeeva dengan tetap mengeluarkan air mata
Ernest tersenyum lalu memeluk Adeeva, “tidak akan, sudah jangan menangis lagi”
Kali ini Adeeva yang melepaskan pelukan Ernest yang membuat laki-laki itu mengernyit bingung. “Aku masih marah padamu! Jangan sentuh aku!!!” Adeeva berbalik dan berlari menuju kamarnya
Ernest berdiri bingung, namun Ia ingat sesuatu lalu Ia merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menelpon Reyhan.
“Aku akan perlu bantuan mu. Urus semuanya” setelah mengatakan itu Ernest menutup ponselnya dan menaruhnya lagi di dalam saku.
Ernest langsung mengejar Adeeva ke dalam kamar gadis itu.
Ernest membuka pintu dan mendapati Adeeva duduk di ajas ranjang dengan wajah merajuk. Ernest perlahan mendekati Adeeva, namun saat Ernest menatapnya Adeeva justru buang muka. Ernest tersenyum, “Maafkan aku”
Adeeva mirik Ernest, “Maaf untuk apa?” tanyanya
“Karena membuatmu khawatir” jawabnya
Adeeva semakin merajuk, “kau bahkan tidak tahu apa salahmu” ucapnya kesal
Ernest menatap bingung, “Apalagi yang aku lakukan?” Tak mendengar jawaban Adeeva Ia pun kembali mengingat apa yang terjadi tadi.
Ariana menelpon dirinya bahwa gadis itu sudah berada di depan rumahnya dan menyuruh Ernest untuk turun. Dengan pemikiran akan membalas perbuatan Arianan, Ernest pun turun dan mempersilahkan Ariana masuk. Namun gadis itu tiba-tiba memeluknya, dengan rencana membawa terbang Ariana terlebih dahulu lalu menghempaskannya begitu saja, Ernest pun membalas pelukan Arianan.
Ernest mendengar suara desah nafas lain, Ia menoleh dan mendapati Adeeva sudah beridiri tak jauh dari mereka dengan mata yang menahan air mata.
Ah aku ingat Ernest duduk di sebelah Adeeva, namun gadis itu masih tak berniat untuk menatapnya. Ernest pun harus memutar tubuh gadis itu paksa agar menghadap ke arahnya. “Aku minta maaf. Aku salah.”
Adeeva menatap penuh tanya.
“Aku salah karena memeluk Ariana begitu mesranya, tapi itu semua karena bagian dari rencanaku”
Adeeva mengernyit,
“Kau mau memaafkanku kan?”
Adeeva menatap serius pada Ernest, “Rencanamu bermesraan dengan kekasihmu itu?”
Ernest yang mendengar nada menggerutu Adeeva justru tersenyum senang.
“Kau tersenyum???” Adeeva menatapnya tajam
Ernest langsung menarik tubuh Adeeva dan memeluknya. “Aku minta maaf. Wanita sialan itu yang lebih dulu memelukku, sehingga aku tiba-tiba memikirkan sebuah rencana”
“Jika dia tidak memelukmu, apa kau akan berencana memeluknya juga?” tanya Adeeva dengan nada ketus
Ernest mempererat pelukannya, “Tidak akan”
Dua kata itu membuat Adeeva mendesah lega. Lalu membalas pelukan Ernest. Mereka berpelukan cukup lama. Hingga Adeeva kembali meminta Ernest untuk melepasnya, lalu Ernest pun melepasnya.
“Aku mengantuk, keluar dari kamarku, aku ingin tidur” ucap Adeeva pada Ernest dan menunjuk pintu keluar
Ernest tersenyum, “Aku rasa tak ada alasan lagi untuk kita tidak berbagi tempat tidur” Ernest tersenyum nakal,
Adeeva ingin membalas ucapan Ernest namun tiba-tiba Ernest sudah membungkam bibir Adeeva dengan bibirnya. Awalnya Ernest hanya menempelkan bibirnya namun lama kelamaan, Ernest melumat bibir Adeeva lembut. Terus menerus sampai Adeeva harus mendorong tubuh Ernest untuk menghirup oksigen.
“Tunggu” ucap Adeeva
Ernest memandang bingung,
“Aku.. aku.. maksudku...” Ernest tak menggubris perkataan Adeeva, Ia langsung mendorong Adeeva hingga jatuh tertidur dan kembali menciumnya.

Kita bertemu karena perjodohan, kita bertemu saat kita memiliki orang lain yang kita cintai dan mencintai kita, kita bertemu dengan terhalang perbedaan kebiasaan, kita bertemu dengan sifat yang berbeda, kita bertemu dan mulai mencintai, kita bertemu dan mulai melupakan rasa sakit, kita bertemu dan menemukan kebahagiaan kita berdua sendiri. Kita bertemu karena takdir.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar