Ernest
menatap Adeeva dengan tersenyum tanpa malu Ia terus menatap Adeeva dengan
pandangan memuja.
“Hei!!”
Ernest hampir jatuh dari kursinya saat sebuah tangan menepuk pundaknya
Mata
Ernest menyipit, “Reyhan?”
“Ya
ini aku” Reyhan tersenyum pada Ernest
“Hai
Rey.. kau akan sarapan bersama kami?” tanya Adeeva saat mendengar suara Reyhan
disana
Reyhan
tersenyum semanis mungkin pada Adeeva, “Hai Deev... tentu saja. Aku merindukan
masakanmu yang sangat lezat itu” dan Adeeva hanya tersenyum malu.
Ernest
menatap tajam Reyhan, “Apa itu tadi? Rey? Deev? Sejak kapan kalian sedekat
itu?” tanya Ernest kesal
“Wow
wow, sabar sobat. Itu hanya terjadi begitu saja, mungkin kami memang berjodoh”
jawab Reyhan “Bukan begitu Deev?” teriak Reyhan pada Adeeva
Adeeva
hanya mengangguk, Ia terlalu sibuk dengan masakannya sekarang.
“Apa?”
Ernest terbelalak tidak setuju, “Tunggu, duduk disana!” Ernest menunjuk kursi
paling pojok.
Reyhan
menatap Ernest bingung, namun akhirnya Ia menuruti perintah sahabatnya itu.
“Aku
tidak tahu kau rajin bangun pagi di hari senin” Ernest menatap Reyhan penuh
tanya
“haha
Ada apa denganmu? Mengapa kau begitu sinis padaku Ernest? Aku hanya ingin
sarapan bersama kalian berdua” Reyhan tersenyum jahil
“Tidak!
Ini terakhir kalinya kau datang kesini untuk sarapan!” perintah Ernest dengan
nada se otoriter mungkin
“baiklah,
kalau begitu aku akan datang saat makan malam”
“Reyhan!!!’
Ernest menatap tajam Reyhan
“Baiklah-baiklah..
aku hanya bercanda sobat! Aku kemari untuk memberikan kau laporan bahwa kasus
pencucian uang perusahaan Woody sudah selesai, dan laki-laki sombong akan
mendekam di dalam penjara.
Ernest
tersenyum senang mendengar itu, lalu senyumnya hilang dan kembali menatap tajam
Reyhan, “Tunggu! Kau bisa memberitahuku di kantor ku, atau kau bisa menelponku
saja”
Reyhan
lagi-lagi tersenyum jahil dan beberapa saat melirik ke arah Adeeva, “tentu kau
tahu alasannya”
“Jangan
meliriknya seperti itu!!!!”
“Apa
kalian sudah selesai bertengkar?” tanya Adeeva yang duduk di tengah-tengah
Ernest dan Reyhan
“Wah
sudah selesai. Perutku sudah sangat lapar” Reyhan tersenyum senang melihat
hidangan di depannya.
Mereka
bertiga pun makan seraya membicarakan tentang perusahaan Woody tadi. Walau
tidak mengerti, namun Adeeva mencoba memahami setiap ucapan dari Ernest maupun
Reyhan. Mungkin jika Ia harus belajar tentang dunia hukum dan bisnis, Ia akan
memilih Reyhan mengajarinya, karena Ernest terlalu datar sehingga Adeeva tidak
bisa mencerna hampir semua kalimatnya
Saat
Ernest dan Reyhan berbincang lagi sesudah makan, Adeeva sudah menyiapkan dua
kotak bekal untuk keduanya.
“Satu
untuk Ernest, satu lagi spesial untuk Reyhan tamu kami” Adeeva tersenyum
meletakan kotak makan tiga susun di hadapan Ernest dan Reyhan.
“Waah
aku dapat juga” Reyhan melirik Ernest dan tersenyum jahil lagi. “terimakasih
Deev yang cantik” pujinya
Ernest
menggertakan giginya, “bukankah kau harus segera ke kantor mu? Aku yakin
klienmu sedang menunggu sekarang”
“Ohh
tid...”
“Reyhan!!!”
Sela Ernest setengah berteriak membuat Reyhan harus berdiri dan berlari pergi
sambil melambai pada Adeeva.
Adeeva
tersenyum dan membalas lambaian Reyhan.
“turunkan
tanganmu” perintah Ernest pada Adeeva
Adeeva
menatap kesal lalu menurunkan tangannya perlahan,
“Mengapa
kau membuatkan bekal untuk Reyhan?” tanya Ernest dengan suara yang sangat
dingin
Adeeva
menatap ngeri, “Aku tidak enak hati jika hanya membuat untukmu, dia ada disini.
Maka dari itu aku juga buatkan untuknya”
Ernest
mengangguk mengerti, lalu turun dan kursinya dan mendekati Adeeva. Tanpa
peringatan, tanpa persetujuan, Ernest memeluk Adeeva. Ernest kembali mencium
aroma strawberry itu.
“Lain
kali tidak usah buatkan untuknya, tidak, lain kali tidak usah buatkan untuk
siapapun kecuali aku” bisiknya pada Adeeva membuat Adeeva sedikit merinding.
Lalu
dengan cepat Ernest melepaskan pelukannya. Mengambil tas dan bekalnya. Namun
saat Ia melangkah pergi, Ia merasakan ada yang kurang dan tertinggal. Ia
kembali menatap Adeeva yang masih menatapnya. Lalu Ernest berjalan cepat ke
arah Adeeva.
“Apa?
Ada yang tertinggal?” tanya Adeeva bingung
Ernest
pun langsung mencium kening Adeeva. “hubungi aku nanti”
Ernest
pergi dengan perasaan lega, tidak ada yang kurang apalagi tertinggal sekarang.
***
Adeeva
berkutik dengan pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan novel salah satu penulis,
karena hari sabtu nanti adalah deadlinenya. Walau ini pekerjaan yang
menyenangkan baginya, namun dalam kondisi tubuh yang belum sehat betul membuat
Adeeva harus berusaha lebih keras. Ia sudah meminum dua butir obat sakit
kepalanya dalam waktu delapan jam terakhir. Ia bahkan melupakan makan siangnya.
Saat Adeeva ingin minum obat ketiganya, ponselnya berderinga.
Mr. Sinis bin otoriter
Adeeva
tersenyum melihat nama yang tertera, sepertinya Ia benar memberi nama itu untuk
Ernest. Dengan cepat Adeeva menakal tombol jawab.
“Hallo...”
jawab Adeeva
“Mengapa
kau tidak menghubungiku?” tanya Ernest langsung
“Apa?”
Adeeva sedikit berteriak menanyakan kalimat Ernest barusan
“Mengapa
kau tidak menghubungiku?” ulangnya
Adeeva
tersenyum, teringat ucapan Ernest saat laki-laki itu pergi, “Aku kira itu hanya
basa-basi”
“Itu
bukan basa-basi”
“Baiklah
baiklah, maaf. Lagi pula, aku tak membutuhkan apapun, jadi untuk apa
menghubungimu?”
“Apa
kau akan menghubungiku hanya karena kau butuh sesuatu?”
Adeeva
berpikir sejenak, “Sepertinya begitu. Memang untuk apa lagi aku menghubungimu?”
Terdengar
desahan keras dari Ernest, “Mulai sekarang kau harus menghubungiku setiap jam
makan siang”
Adeeva
ingin menolak, namun teringat janjinya pada Ernest akhirnya Adeeva mengangguk
walau tidak dapat dilihat oleh Ernest, “Baiklah”
“dan..
apakah kau juga menuliskan pesan di bekal Reyhan?” tanya Ernest lagi
Adeeva
memang selalu memberikan pesan di setiap bekal Ernest sebelumnya, hari ini pun
juga seperti itu. “Tidak. Aku tidak sempat menulis, Ia datang terlalu
tiba-tiba”
“Jadi
jika kau sempat kau akan menulis?”
Adeeva
tersenyum mendengar nada kesal di suara Ernest, “Tetap tidak”
“Pintar.”
Ucap Ernest, “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Menyelasikan
mengedit novel. Deadline sudah dekat tapi aku belum juga menyelesaikannya”
“Suruh
orang lain yang mengerjakan”
Adeeva
mendesah, laki-laki sombong ini benar-benar, “Tidak bisa. Aku sudah diberi
tugas sebagi editornya. Bagaimana mungkin aku bisa memeberikan tugas ini pada
orang lain?”
“Aku
bisa melakukannya. Kau ingin aku mencari orang lain?” tawar Ernest
“Tidak”
Dengan cepat Adeeva pun menolah
“Baiklah.
Aku akan pulang membawa makanan dari restauran tempat aku meeting. Kau tidak
perlu memasak dan jangan meminum obat apapun jika kau pusing atau lelah. Kau
hanya perlu tidur”
Adeeva
tersenyum lalu memasukan pil yang di tangannya ke dalam botol. Kemudian
memasukan botol itu kedalam laci, “Baiklah”
“sampai
jumpa”
“Sampai
jumpa, semoga meetingmu berjalan lancar”
“Terimakasih”
Ernest berpikir sejenak, “Semoga harimu menyenangkan”
Disitulah
obrolan keduanya selesai.
***
Setelah
kejadian malam itu, saat Ernest memeluk Adeeva selama tidurnya, hubungan
keduanya membaik. Tak ada keributan besar, hanya masalah sepele yang tak
membuat keduanya bertengkar hebat lagi.
Adeeva
sudah berada di dalam mobil Ernest. Laki-laki itu entah karena angin apa,
berniat mengantar Adeeva ke kantor penerbitnya untuk menyerahkan naskah.Ernest
mengendari mobilnya sendiri dengan senang hati di hari sabtu.
“Kau
tidak apa-apa menyetir? Kau punya SIM? Jika kau merasa lelah bilang padaku,
biar aku saja yang menyetir” tanya Adeeva dengan gugup, dirinya sudah memegang
sabuk pengaman begitu erat
“Aku
tidak apa-apa, aku punya SIM dan aku tidak lelah Adeeva. Kau tenang saja, tak
akan terjadi apapun” Ernest meraih
tangan kanan Adeeva dengan tangan kirinya. Menggenggamnya dengan erat.
“Tidak.
Kau harus menyetir, lepaskan tanganku” Wajah Adeeva panik
“Ini
matic dan jalanan pun lancar. Tidak perlu khawatir” bukannya melepas tangan
Adeeva, Ernest justru mempererat genggamannya.
Setelah
menempuh berjalanan setengah jam lebih. Akhirnya mereka sampai di kantor
penerbit tempat Adeeva bekerja.
“Aku
akan ke atas sebentar. Kau bisa menunggu di cafe itu, kopi disana sangat
nikmat” ucap Adeeva sebelum melangkah pergi.
Suasana
kantor memang sangat sepi di hari sabtu, mungkin karena semua pegawai libur.
Ernest sudah mengatakan jika Adeeva bisa menyerahkannya Senin namun wanita itu
benar-benar keras kepala dan bertekad mengantarnya hari ini juga. Alhasil,
beginilah keadaan kantor. Sepi tanpa orang. Untuk saja cafe di sebelah gedung
penerbit ini masih buka.
Ernest
berjalan agak lambar menuju cafe. Saat Ia memasuki cafe Ia memutuskan duduk di
dekat pintu masuk agar Adeeva bisa langsung melihatnya. Ernest pun memesan
Americano kesukaannya, lalu berjalan menuju toilet.
Letak
toilet cafe ini ada di belakang ujung. Harus melewati lorong yang memisahkan
meja pelanggan. Di ujung kanan terdapat meja dan kursi kayu biasa, Ernest pus
menengok ke sisi sebelahnya, disana disediakan meja bulat dan sofa setengah
lingkaran. Namun mata Ernest langsung terperajat kaget saat melihat dua sosok
yang dikenalnya, Tidak mungkin!
Ernest pun bersembunyi dan menguping pembicaraan mereka.
“Kau
harus memutuskan perempuan sialan dan kampungan itu”
“Aku
akan melakukannya, tapi tidak sekarang”
“Apa
yang kau tunggu? Kau bilang kau tertarik padaku. Kau cinta padaku, tapi kau
masih tidak bisa melepasnya”
“Sayang..
bersabarlah. Akan terlalu kejam memutuskannya begitu saja. Bukankah kau berpikir
begitu juga?”
“Memang..
ahh aku lelah seperti ini terus”
“Bukankah
kita melewati satu minggu menyenangkan di Jepang? Jangan cemberut seperti itu.
kau semakin terlihat cantik”
“kau
ini bisa saja. Aku akan segera memutuskan hubunganku dengan laki-laki tak punya
hati itu, setelah itu kau harus memutuskan perempuan sialan itu. janji?”
“Janji”
Ernest
menggeram marah,
“Ernest”
suara Adeeva membuatnya menoleh kaget “Apa yang kau lihat?”
Ernest
menghalangi Adeeva agar tidak melihat kedua orang itu.
“Awas..”
Adeeva berhasil mendorong tubuh Ernest. Adeeva tersentak kaget siapa yang
dilihatnya. Adeeva mundur dua langkang dan menutup mulutnya tidak percaya.
Dengan cepat Ia lari dari keluar.
Ernest
menyusul Adeeva, namun Ia melihat kopinya sudah siap di meja, terpaksa Ia pun
ke kasir dan menaruh uang seratus ribu dan menunjuk mejanya. Tanpa peduli
ucapan sanga kasir, Ernest segera berlari menyusul Adeeva. Saat ada di
parkiran, tak di sangka Adeeva berdiri di depan mobil miliknya. Ernest mengira
Adeeva akan pergi ke tempat lain.
Adeeva
menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia lalu menatap Ernest yang sudah ada di
hadapannya. “Aku mau pulang” ucapnya, lalu Ernest merangkulnya dan membukakan
pintu untuk Adeeva.
Ernest
dengan lembut memasangkan sabuk pengaman pada Adeeva lalu memasng sabuknya
sendiri. Ia pun segera menyalakan mesin dan menginjak pedal gasnya.
Adeeva
hanya menatap jalanan lurus, Ia berusaha tidak menangis, Ia berusaha tidak
berteriak dan Ia sangat berusaha untuk tidak marah.
Setelah
sampai di rumah Ernest membukakan pintu mobil dan kembali merangkul Adeeva.
Menuntunnya masuk ke dalam rumah hingga masuk ke dalam kamar istrinya itu.
Ernest mendudukan Adeeva di atas ranjang, Ia pun ikut duduk disampingnya.
“Katakan
padaku, apa yang aku lihat tadi tidak benar” Adeeva menatap Ernest
“Itu
kenyataan Adeeva” ucap Ernest
“Tapi..
tapi mengapa?” Adeeva menatap Ernest penuh tanya, “Dia, Dia sangat
menyayangiku. Dia bilang dia sangat mencintaiku. Dia tidak mungkin
mengkhianatiku Ernest.” Suara Adeeva mulai terdengar sangat purau,
“Aku..aku...”
Ernest
dengan gesit memeluk Adeeva, memeluknya dengan erat dan membelai rambutnya.
Ernest tidak mengerti bagaimana cara menenangkannya. Namun, Ernest juga patah
hati disini, bukan karena Ia melihat Ariana dan Jo bermesraan, tapi karena
Adeeva menangis untuk laki-laki yang bahkan tidak pantas untuk di tangisi
Adeeva
membalas pelukan Ernest, “Kau tidak menangis?” tanya Adeeva dengan polosnya,
Ernest
tersenyum mendengar pertanyaan Adeeva lalu melepaskan pelukannya dan memegang
kedua pundak Adeeva, menatap gadis itu tajam. “Aku ingin sekali menangis, tapi
bukan karena dua orang yang bahkan tidak pantas untuk aku tangisi itu, aku
ingin menangis karena kau menangisi orang yang salah Adeeva”
Adeeva
menatap Ernest, menyerap semua kata-kata Ernest. Benar, dia tidak boleh menangisi orang yang salah. Ucapnya dalam
hati.
“Aku
akan membuat mereka menyesal, aku janji” ucap Ernest
***
Adeeva
keluar dari kamarnya karena tadi Ia mendengar Ernest membuka pintu. Namun saat
Ia keluar, Ernest sudah tak ada di lorong kamarnya. Di tangga pun sudah tidak
ada, Adeeva mendengar ada suara dari bawah. Akhirnya Ia memutuskan untuk turun.
Adeeva berjalan menuju ruang tamu. Adeeva membelalakan matanya saat mendapati
Ernest sedang memeluk mesra Ariana.
“Aku
kangen kamu” ucap Ariana riang
Adeeva
mendesah kesal, Ia bahkan mengepalkan kedua tangannya.
Saat
itu, Ernest melihat Adeeva yang memandang dirinya dan Ariana. Ernest melihat
mata Adeeva yang mulai berair, dengan cepat Ia mendorong Ariana.
Adeeva
berlari menuju pintu.
Ernest
ikut berlari dan mengejar Adeeva.
Adeeva
membuka pintu, saat itu muncul sosok Jonathan diahadapannya. Laki-laki itu
langsung mendekat pada Adeeva, namun Adeeva mundur satu langkah saat Jo berniat
memegang pipinya.
“Jangan
mendekat” Ucap Adeeva
“Ada
apa? Aku baru datang mengapa kau menatapku seperti itu?” tanya Jo bingung
Plaakkk
Adeeva menampar Jo
“Kau
pikir apa yang kau lakukan!!!??” Jo mengangkat tangan berniat menampar Adeeva
namun sebelum itu terjadi, Ernest sudah menahan tangan itu.
Ernest
membanting tangan Jo, “Jangan pernah berani menyentuh Adeeva” ucap Ernest geram
Jo
menatap tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?
Buukk
Lalu
tanpa pikir panjang Ernest memukul Jo, membabi buta. Tak mempedulikan teriakan
Arianan dan Adeeva yang meminta Ernest berhenti. Ia terus memukulin Jo hingga
wajah Jo berubah biru dan darah di bibir dan pelipisnya.
“Ernest,
aku mohon berhenti” Adeeva memegang lengan Ernest
Ernest
menoleh dan mendapati Adeeva menangis. Dengan berat hati Ernest menyudahi sesi
pukulannya pada Jo. Ia langsung melihat pada Ariana, menatap tajam dan marah
pada gadis itu.
“Kau
bawa dia! Jangan sampai kalian berdua muncul dihadapanku lagi!!!!” teriak
Ernest membuat Ariana langsung membopoh Jo dan meninggalkan Ernest dan Adeeva
Adeeva
menatap nanar pada Ernest, mata Adeeva sudah memerah, wajahnya sudah basah
karena air mata. Adeeva langsung memeluk Ernest.
“Apa
yang kau lakukan? Kau bisa membunuhnya” ucap Adeeva dengan isakan tangis yang
masih terdengar oleh Ernest
“Kau
menangis karena takut dia mati?” Ernest melepaskan pelukan Adeeva, memegang
kedua pundak Adeeva dan menatap gadis itu kesal.
Adeeva
memukul lengan Ernest dengan tangan kananya, “bodoh! Jika dia mati kau bisa
masuk penjara!!!!” teriak Adeeva dengan tetap mengeluarkan air mata
Ernest
tersenyum lalu memeluk Adeeva, “tidak akan, sudah jangan menangis lagi”
Kali
ini Adeeva yang melepaskan pelukan Ernest yang membuat laki-laki itu mengernyit
bingung. “Aku masih marah padamu! Jangan sentuh aku!!!” Adeeva berbalik dan
berlari menuju kamarnya
Ernest
berdiri bingung, namun Ia ingat sesuatu lalu Ia merogoh saku celananya,
mengambil ponsel dan menelpon Reyhan.
“Aku
akan perlu bantuan mu. Urus semuanya” setelah mengatakan itu Ernest menutup
ponselnya dan menaruhnya lagi di dalam saku.
Ernest
langsung mengejar Adeeva ke dalam kamar gadis itu.
Ernest
membuka pintu dan mendapati Adeeva duduk di ajas ranjang dengan wajah merajuk.
Ernest perlahan mendekati Adeeva, namun saat Ernest menatapnya Adeeva justru
buang muka. Ernest tersenyum, “Maafkan aku”
Adeeva
mirik Ernest, “Maaf untuk apa?” tanyanya
“Karena
membuatmu khawatir” jawabnya
Adeeva
semakin merajuk, “kau bahkan tidak tahu apa salahmu” ucapnya kesal
Ernest
menatap bingung, “Apalagi yang aku lakukan?” Tak mendengar jawaban Adeeva Ia
pun kembali mengingat apa yang terjadi tadi.
Ariana
menelpon dirinya bahwa gadis itu sudah berada di depan rumahnya dan menyuruh
Ernest untuk turun. Dengan pemikiran akan membalas perbuatan Arianan, Ernest
pun turun dan mempersilahkan Ariana masuk. Namun gadis itu tiba-tiba
memeluknya, dengan rencana membawa terbang Ariana terlebih dahulu lalu
menghempaskannya begitu saja, Ernest pun membalas pelukan Arianan.
Ernest
mendengar suara desah nafas lain, Ia menoleh dan mendapati Adeeva sudah
beridiri tak jauh dari mereka dengan mata yang menahan air mata.
Ah aku ingat
Ernest duduk di sebelah Adeeva, namun gadis itu masih tak berniat untuk
menatapnya. Ernest pun harus memutar tubuh gadis itu paksa agar menghadap ke
arahnya. “Aku minta maaf. Aku salah.”
Adeeva
menatap penuh tanya.
“Aku
salah karena memeluk Ariana begitu mesranya, tapi itu semua karena bagian dari
rencanaku”
Adeeva
mengernyit,
“Kau
mau memaafkanku kan?”
Adeeva
menatap serius pada Ernest, “Rencanamu bermesraan dengan kekasihmu itu?”
Ernest
yang mendengar nada menggerutu Adeeva justru tersenyum senang.
“Kau
tersenyum???” Adeeva menatapnya tajam
Ernest
langsung menarik tubuh Adeeva dan memeluknya. “Aku minta maaf. Wanita sialan
itu yang lebih dulu memelukku, sehingga aku tiba-tiba memikirkan sebuah
rencana”
“Jika
dia tidak memelukmu, apa kau akan berencana memeluknya juga?” tanya Adeeva
dengan nada ketus
Ernest
mempererat pelukannya, “Tidak akan”
Dua
kata itu membuat Adeeva mendesah lega. Lalu membalas pelukan Ernest. Mereka
berpelukan cukup lama. Hingga Adeeva kembali meminta Ernest untuk melepasnya,
lalu Ernest pun melepasnya.
“Aku
mengantuk, keluar dari kamarku, aku ingin tidur” ucap Adeeva pada Ernest dan
menunjuk pintu keluar
Ernest
tersenyum, “Aku rasa tak ada alasan lagi untuk kita tidak berbagi tempat tidur”
Ernest tersenyum nakal,
Adeeva
ingin membalas ucapan Ernest namun tiba-tiba Ernest sudah membungkam bibir
Adeeva dengan bibirnya. Awalnya Ernest hanya menempelkan bibirnya namun lama
kelamaan, Ernest melumat bibir Adeeva lembut. Terus menerus sampai Adeeva harus
mendorong tubuh Ernest untuk menghirup oksigen.
“Tunggu”
ucap Adeeva
Ernest
memandang bingung,
“Aku..
aku.. maksudku...” Ernest tak menggubris perkataan Adeeva, Ia langsung
mendorong Adeeva hingga jatuh tertidur dan kembali menciumnya.
Kita bertemu karena perjodohan,
kita bertemu saat kita memiliki orang lain yang kita cintai dan mencintai kita,
kita bertemu dengan terhalang perbedaan kebiasaan, kita bertemu dengan sifat
yang berbeda, kita bertemu dan mulai mencintai, kita bertemu dan mulai
melupakan rasa sakit, kita bertemu dan menemukan kebahagiaan kita berdua
sendiri. Kita bertemu karena takdir.
SELESAI

Tidak ada komentar:
Posting Komentar