Ernest
menggerutu kesal di dalam kamarnya. “Dia sakit dan masih memikirkan larangan
kekasihnya?” Ernest menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, “Dia gila atau
terlalu cinta pada kekasihnya itu?” gumam Ernest. Ernest mendesah kesal,
dirinya memutar tubuh hingga dirinya menghadap ke samping saat ini.
Sudah
pukul dua belas malam, namun Ernest tidak mendapat telepon apapun dari Adeeva. Tunggu! Dia bahkan tidak memiliki nomor
teleponku. Ucap Ernest dalam hati. Dengan secepat kilat Ernest berlari
menuju kamar Adeeva dan tanpa mengetuk pintu, Ernest langsung masuk.
Adeeva
kaget saat mendapat Ernest berlari mendekat padanya, “Ada apa?” tanya Adeeva
yang masih memegang laptop di pangkuannya. Dirinya masih dengan posisi seperti
sebelumnya.
“Apa
yang sedang kau lakukan?” tanya Ernest sambil melirik pada laptop di pangkuan
Adeeva
“Ohh,
harus ada yang aku periksa. Beberapa naskah belum ku selesaikan. Aku tidak bisa
tidur, jadi aku memutuskan mengerjakan tugasku” jelas Adeeva dengan senyum
semanis mungkis yang dapat ia simpulakan
Ernest
bergerak cepat mengambil laptop di pangkuan Adeeva, “Aku tidak tahu jika ada
orang sakit yang masih bekerja” Ernest meletakan laptop Adeeva di meja kerja
gadis itu lalu kembali mendekat pada Adeeva, “Tidak ada laptop sampai kau
sembuh” lalu Ernest duduk di sisi ranjang Adeeva dan membantu istrinya itu
untuk berbaring.
“Aku
sudah lebih baik Ernest” ucap Adeeva lirih karena takut oleh tatapan Ernest
yang sebelumnya sangat marah padanya
“Tidak!”
Ernest menarik selimut dan menutupi sebagian tubuh Adeeva, “Seharusnya Angel
memberi obat yang membuatmu mengantuk lebih cepat”
Adeeva
tersenyum melihat Ernest yang begitu mengkhawatirkannya. Dulu saat Adeeva
sakit, hanya Dave yang datang dan merawatnya, sedangkah Jo lebih memilih pergi
ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mengapa Jo tidak seperti Ernest saat ini dulu? Tanya Adeeva dalam
hati
Ernest
memperhatikan Adeeva yang masih menatapnya dengan senyum, “Kau tidak akan
memejamkan matamu?” tanya Ernest yang membuat Adeeva mengerjap kaget
“Aku
bilang aku tidak merasa mangantuk sama sekali Ernest”
“Oke,
aku akan membacakan cerita untukmu” lalu Ernest mengambil ponselnya dari dalam
saku celana, lalu mencari cerita yang bisa Ia ceritakan pada Adeeva. “Oke, aku
akan membacakan cerita mengenai Cinderella dan sepatu kaca”
Adeeva
mengernyit “Aku sudah sering menonton film itu”
Ernest
berdecak kesal, “Karena kau bisanya hanya menonton, maka sekarang aku akan
bacakan”
Mendengar
perkataan Ernest yang memaksa akhirnya Adeeva hanya mendesah pasrah dan
mengangguk setuju. Ia pun mulai mendengarkan cerita Ernest. Walau Adeeva sudah
menontonnya berkali-kali, namun saat ini Ia merasakan berbeda. Suara Ernest yang
bercerita tanpa ekspresi dan sangat dingin membuat Adeeva lebih berpikir
tentang adega-adegan dalam kisah Cinderella yang Ernest bacakan. Saking
bingungnya, Adeeva merasa matanya mulai berat dan mengantuk, perlahan Ia pun
terpejam.
“Baik
Cinderella maupun Pangeran Tampan tidak dapat melupakan kejadian pada malam
itu. Mereka...” Ernest terdiam lalu menoleh dan menatap Adeeva sudah tertidur
pulas. Ernest menatap wajah Adeeva, “Benar kata Reyhan, kau memang sangat
cantik” ucap Ernest lirik seraya meningkirkan rambut Adeeva yang jatuh di wajah
gadis itu. Ernest pun menyelimuti Adeeva, lalu menyalakan lampu tidur dan
mematikan lampu utama.
***
Ernest
bangun pukul lima dan langsung bersiap-siap. Ia harus menjemput Ariana dan
mengantar kekasihnya itu ke bandara lalu kembali ke rumah. Sebelum menuruni
tangga, Ernest memutuskan untuk menengok keadaan Adeeva, gadis itu masih
tertidur dengan posisi yang sama seperti semalam saat Ernest meninggalkannya.
Ernest mengingat sesuatu dan langsung memasuki kamar Adeeva, mencari selembar
kertas dan pulpen. Dia menulis sesuatu disana dan meletakannya di meja kecil di
samping ranjang Adeeva.
Ernest
keluar dari rumahnya. Ia masih menggunakan supirnya, dengan begitu Ia masih
bisa tidur di dalam mobil. Sekitar pukul enam kurang sepuluh menit, Ernest
sudah tiba di depan apartemen Ariana. Kekasihnya itu sudah berdiri di lobi
dengan koper besa di sisinya. Ernest pun berjalan keluar dari mobil dan
membantu Ariana mengangkat kopernya dan meletakannya ke dalam bagasi. Apa dia ingin pindah ke Jepang? Kopernya
cukup untuk memindahkan baju satu lemari ucap Ernest dalam hati.
“Sayang..
Aku sudah sarapan roti tawar tadi. Jadi kita tidak perlu berhenti untuk mencari
makan. Kita bisa langsung ke bandara” Ariana memegang lengan Ernest di dalam mobil.
Kau sudah, aku belum
jawab Ernest dalam hati, namun kenyataannya dia hanya tersenyum dan mengangguk
pada Ariana.
***
Adeeva
bangun, “Sudah pukul enam. Aku harus masak” Adeeva melihat jam kecil di meja
samping. Namun pandangan Adeeva tertuju pada kertas di atas meja itu.
Selamat pagi
Jangan beranjak dari tempat
tidurmu!
Aku akan segera pulang!
098388877766
Hubungi aku jika kau butuh sesuatu.
Ingat! Jangan beranjak dari tempat
tidurmu!
Adeeva
tersenyum melihat surat itu, “Dasar laki-laki otoriter” Adeeva segera mencari
ponselnya di dalam tas miliknya yang tergeletak di sisinya. Ia membuka kunci
ponsel miliknya, banyak sekali pesan namun saat Adeeva mengecek satu persatu
pesan, tidak ada pesan dari Jonathan. Perasaan khawatir menyerangnya, namun
saat di bandara kemarin Jo bilang padanya untuk tidak menghubungi lebih dulu,
kekasihnya itu akan menghubunginya nanti.
Adeeva
menekan menyimpan nomor ponsel Ernest dalam kontaknya, saat di kolom nama,
Adeeva bingung, apa yang harus dia tulis? “Hmm Suamiku? Oh tidak-tidak. Hm
Suami sementaraku? Tidak, Ayah bisa curiga. Apa yaa” Adeeva berpikir lagi, lalu
dia tersenyum dan mengetik nama yang pas untuk Ernest. “Mr. Sinis bin otoriter”
Senyum Adeeva lebih lebar saat dia menekan tombol save di ponselnya.
Adeeva
menuruti perintah Ernest, dia sama sekali tidak beranjak dari tempat tidur. Ia
sebenarnya merasa bosan dan melihat laptopnya tergeletak begitu saja di meja
kerjanya, Ia ingin sekali berlari dan mengambilnya, namun Adeeva takut jika
saat Ia memegang laptop, Ernest datang dan memarahinya lagi.
Adeeva
menoleh melihat jam di sampingnya “Jam delapan” Adeeva mendesah. Lalu dia
tiba-tiba tersenyum dan menelepon Ernest.
“Siapa
ini?” Suara Ernest yang sinis terdengar sangat jelas
“Adeeva..”
ucap Adeeva seraya mengernyit tidak suka
“Oh”
Ucap Ernest singkat membuat Adeeva mendesah kesal, “Ada apa?”
“Kau
sudah di jalan pulang?” tanya Adeeva hati-hati
“Ya,
apa kau perlu sesuatu?”
Adeeva
berpikir sejenak, “Apa kau bisa I Fu Mi di Cafe Amour? Tiba-tiba aku ingin
makan itu” ucap Adeeva dibuat seolah Ia benar-benar menginginkannya
“oke”
jawab Ernest singkat, “Aku tutup”
“Ernest!!”
teriak Adeeva sebelum Ernest benar-benar menutup teleponnya
“apa
lagi?”
“Jam
berapa kau akan sampai rumah?” Adeeva menahan nafasnya saat menanyakan hal itu.
Tanpa
sepengetahuan Adeeva Ernest mengernyit. Lalu Ia berpikir dan segera menjawab,
“Mungkin satu setengah jam”
Adeeva
menghembuskan nafas lega, “Oke. Hati-hati di jalan”
***
Ernest
sangat senang saat tadi Adeeva menelponnya. Namun, saat istri sementaranya itu
bertanya jam berapa Ia akan sampai, itu membuat Ernest sedikit heran, maka dari
itu Ernest berbohong setengah jam lebih lama.
Ernest
menuruti kemauan Adeeva dan membelikan I Fu Mi dari cafe yang di sebut Adeeva.
Untuk daja cafe itu buka 24 jam, jika tidak mungkin Ernest harus menunggu
beberapa jam sampai cafe itu benar-benar buka. Ernest memerintahkan supirnya
untuk melaju lebih cepat, karena perasaannya tidak tenang.
Saat
sampai di rumah, Ernest tidak menakan bel dan langsung mengambil piring dari
dapur dan membawanya ke atas menuju kamar Adeeva. Dengan cepat Ia membuka pintu
dan mendapati Adeeva duduk bersandar di tempat tidur dan saat itu menatap
dirinya.
“Kau
sudah pulang?” tanya Adeeva
Ernest
heran, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Ya pasti ada. “Ini makananmu”
Ernest menyiapkan makanan Adeeva ke atas piring yang tadi Ia bawa.
“Kau
tidak makan?” tanya Adeeva seraya menatap tepat pada mata Ernest yang membuat
laki-laki itu salah tingkah
“hah?
Oh. Tidak. Aku bisa makan nanti saja” Ernest memalingkan wajahnya
“Tidak!
Kau juga harus makan, mari makan bersamaku” Adeeva duduk menghadap Ernest, “Kau
duduk disini” Adeeva menepuk-nepuk sisi ranjangnya
Ernest
memandang Adeeva sejenak lalu menuruti gadis itu dan duduk.
“Aku
hanya demam dan sekarang sudah baikan, kau tidak akan tertular. Buka mulutmu,
aaaaa” Adeeva mengarahkan sendok berisi makanan ke arah muut Ernest
Ernest
menatap bingung, namun tanpa berpikir panjang Ia pun memasukan makanan itu ke
dalam mulutnya.
Sekitar
sepuluh lima belas menit mereka makan sepiring berdua dengan Adeeva yang
menyuapi Ernest dan tanpa suara dari mereka berdua.
Tiba-tiba
Ernest melihat meja kerja Adeeva, laptop itu tertutup. Padahal Ernest ingat
betul bahwa semalam Ia meletakan laptop itu dengan masih dalam keadaan terbuka.
Perlahan Ernest berjalan menuju latop tersebut dan membuka laptop itu. Ia pun
menekan tombol power dan voila.. laptop itu hidup, padahal semalam Ernest tidak
sempat mematikan laptop itu.
Ernest
memandang Adeeva yang sudah berdiri dan menatapnya takut. Ernest berjalan
menghampiri Adeeva, “Bukankah aku bilang kau tidak boleh beranjak dari tempat
tidurmu?” Ernest menatap Adeeva tajam
Adeeva
merasa terintimidasi sekarang, ternyata membohongi pria dihadapannya sangat
sulit. “Aku bosan, aku tak bisa hanya tidur saja seharian”
“Jika
aku katakan kau untuk tidak beranjak berarti kau tidak boleh beranjak dari sana!!!!”
Ernest berteriak pada Adeeva
Adeeva
terperajat kaget, Ia tidak pernah melihat Ernest semarah ini. Namun itu juga
tidak benar, Adeeva tidak melakukan hal yang mengganggunya. Adeeva pun
memberanikan diri menatap Ernest, “Aku bilang aku bosa! Lagi pula apa
hubungannya denganmu? Itu pekerjaanku, urusanku! Mengapa kau jadi marah-marah
dan mengurusi apa yang aku lakukan?? Bukankah kita sepakat untuk tidak ikut
campur dalam urusan kita masing-masih??” Adeeva terpancing dan mengucapkan itu
semua dengan nada tinggi
Ernest
mendesah kesal, “Kau bilang ikut campur? Aku hanya khawatir jika kau jatuh
sakit lagi! Kau tidak tahu seberapa panik dan khawatirnya aku kemarin mendapati
kau pingsan di depan pintu rumahku! Kau tidak tahu berapa jam aku harus
mengelap keringatmu dan memastikan kau baik-baik saja. Aku hanya khawatir dan
kau justru menilaiku ikut campur. Oke fine! Aku tidak akan ikut campur lagi!
Tidak akan!!!!’ Ernest berjalan cepat keluar dari kamar Adeeva lalu membanting
pintu berwarna merah itu.
Adeeva
hampir menangis mendengar ucapan Ernest. Dia mundur dan mendudukan dirinya di
atas kasur. Adeeva memikirkan setiap kata-kata Ernest. Mungkin selama hidupnya
ini pertama kalinya ada orang lain yang peduli padanya, selain Dave. Ini
pertama kalinya ada orang yang begitu mengkhawatirkannya dan Ia justru
membentak orang itu karena ikut campur. Adeeva sangat merasa menyesal. Namun
saat dia ingin menyusul Ernest, tiba-tiba dia merasa mengantuk dan akhirnya dia
justru tertidur.
***
Pukul
tujuh malam. Adeeva baru saja terbangun dan langsung melesat ke dapur. Ia
mencoba memasak dan membuat makan malam. Biasanya Ernest akan turun karena
mencium aroma makanannya, namun sampai makanan itu selesai di masak. Ernest
tidak juga turun, rasa penyesalan semakin besar di dalam diri Adeeva. Adeeva
pun memutuskan untuk membawa makanan itu ke atas, ke kamar Ernest.
Adeeva
menyanggah nampan dengan tangan kanan dan tubuhnya ketika tangan kirinya
mengetuk pintu. Namun tak ada jawaban dari Ernest, perlahan Adeeva memutar knop
pintu kamar Ernest. “Tidak di kunci” Adeeva pun langsung masuk dan memegang
nampan dengan kedua tangannya.
Adeeva
melihat Ernest berbaring di atas ranjang king size milik laki-laki itu. dengan
langkah sepelan mungkin Adeeva mendekat, Ia menaruh nampan di atas meja di sisi
ranjang. Perlahan Ia menyentuh pundak Ernest. Laki-laki itu tidur dengan
memiringkan tubuhnya menghadap Adeeva.
“Ernest”
panggil Adeeva, namun tak ada jawaban, Adeeva mengelus lagi pundak Ernest,
“Ernest bangun, makan malammu”
Perlahan
Ernest membuka matanya, Ia langsung mendapati Adeeva ada disana. Duduk di
samping ranjangnya dan sedang menatap dirinya. Perlahan Ernest mengerjap
mencoba memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.
“Aku
minta maaf. Aku yang salah. Maafkan aku” ucap Adeeva saat Ernest menatapnya
Ernest
tak bisa membalas ucapan itu, mendapati Adeeva ada dikamarnya saat ini saja
sudah sangat menyenangkan untuk laki-laki itu.
“Ernest.
Kau mau memaafkanku kan?” tanya Adeeva lagi karena tak ada jawaban dari Ernest
Ernest
menatap Adeeva, bukan tatapan tajam atau marah, Ia menatap Adeeva dengan
lembut. Lalu dengan sekali gerakan Ia duduk dan memeluk Adeeva.
Adeeva
terperajat kaget, Ernest memeluknya, tapi mengapa dia merasa aneh dan
jantungnya, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ernest
memeluk Adeeva erat. Dia tidak tahu mengapa dirinya memeluk Adeeva, yang dia
tahu Ia sangat ingin memeluk Adeeva, ya sangat ingin. Ernest menghirup aroma
tubuh Adeeva, aroma rambut dan tubuhnya sama, aroma strawberry. Ernest tahu
bahwa Adeeva sudah mandi dan membersihkan diri. Perlahan Ernest mengeratkan
pelukannya.
Adeeva
hanya diam, Ia seharusnya menolak dan mendorong Ernest. Namun, tubuhnya tak
mengindahkan pikiran Adeeva, tubuh dan hatinya menikmati ini. Tak ada yang
memeluk dirinya seerat ini, tidak ada, bahkan Dave dan Jo pun tidak pernah.
“Ernest”
ucap Adeeva akhirnya “Kau membuatku sulit bernafas”
Ernest
langsung melepas pelukannya dan menatap Adeeva yang mencoba mengatur nafasnya. Ernest
menatap setiap inci wajah Adeeva.
“Kau
boleh melihatku dan menatapku lagi nanti, tapi sekarang kau harus makan.”
Adeeva bergerak dengan salah tingkah, Ia mengambil nampan berisi makanan dan
minum untuk Ernest.
Ernest
menatap nampan itu, tanpa bertanya Ia sudah tahu Adeeva yang memasaknya, karena
tadi Ernest mencium aroma itu namun dengan sombongnya Ernest justru berusaha
untuk tertidur dan melupakan rasa laparnya
“Kau
bisa makan sendiri?” tanya Adeeva dan Ernest mengangguk
Adeeva
meletakan nampan itu di pangkuan Ernest dan memindahkan gelas berisi air ke
meja. Adeeva ingin beranjak pergi namun Ernest menahan tangannya dan menarik
Adeeva agar tetap duduk disana.
“Kau
juga pasti belum makan, makanlah bersamaku” ucapan Ernest sangat lembut membuat
Adeeva tidak bisa menolak.
Mereka
pun makan berdua dalam hening. Ernest memaksa untuk menyuapi Adeeva dan sekali
lagi Adeeva tidak bisa menolak. Tatapan Ernest padanya sangat berbeda dengan
tatapan Ernest tadi siang saat di kamarnya, saat ini Ernest menatapnya lembut
tanpa ada kemarahan disana. Selama lima belas menit mereka akhirnya
menyelesaikan makan malam mereka.
“Aku
akan menaruh piringnya di bawah dan mencucinya” Adeeva berdiri dan mengambil
nampan di pangkuan Ernest, namun Ernest memegang ujung baju Adeeva
“letakan
saja disana” Ernest menunjuk meja di samping ranjangnya,
Adeeva
mengernyit tidak mengerti
“Ku
mohon, letakan saja disana” ucap Ernest lagi lebih lembut.
Adeeva
pun menuruti Ernest lalu kembali menatap Ernest dan bertolak pinggang menatap
laki-laki itu, “Oke sudah. Kau mau apa lagi bos?” Adeeva menatap kesal pada Ernest.
Namun
Ernest langsung menarik tangan Adeeva hingga gadis itu jatuh di atas tubuhnya,
dengan gerakan cepat Ernest memutar tubuh Adeeva hingga berada di samping nya.
“Apa..Apa
yang kau lakukan” Adeeva ingin beranjak namun Ernest menahannya dengan memeluk
pinggang Adeeva
“Ku
mohon, aku tidak akan macam-macam. Hanya seperti ini saja malam ini, ku mohon”
ucap Ernest lirih.
Adeeva
ingin menolak namun Ernest menariknya dalam pelukan laki-laki itu. wajah Adeeva
tepat di depan dada Ernest, membuat Adeeva bisa menghirup aroma maskulin
Ernest.
Ernest
memeluk Adeeva erat dengan posisi tiduran. Menekankan kepala Adeeva ke dalam
dadanya, Ia ingin Adeeva mendengar setiap detak jantungnya yang begitu cepat
saat bersama dengan Adeeva.
“Jangan
menentangku lagi” ucap Ernest, “Aku mohon”
Adeeva
mendengar itu, suara Ernest begitu terdengar putus asa maka Adeeva pun
mengangguk. “Baiklah”
Mendengar
jawaban Adeeva, Ernest pun tersenyum. Mempererat pelukannya, “Aku kehilangan
ibuku sudah cukup lama”
Adeeva
bingung, mengapa Ernest mengucapkan itu, namun akhirnya Adeeva hanya membalas
pelukan laki-laki yang jadi suaminya itu, walau hanya sementara.
Ernest
kembali tersenyum mendapati Adeeva membalas pelukannya, “Aku tidak pernah
sarapan sebelumnya apalagi bangun di bawah jam tujuh, aku tidak pernah memakan
makanan rumahan dan aku bukan tipe orang yang peduli dengan orang lain semenjak
ibuku meninggal.” Ernest membelai rambut Adeeva dan menghirup aroma strawberry
dari rambut itu, “Namun tiba-tiba itu semua berubah, semuanya Adeeva, semua.
Kau membuatku ingin bangun lebih pagi hanya untuk melihatmu memasak, kau
membuatku sarapan karena aku ingin menyicipi setiap jenis masakanmu, kau
membuatku merasakan bagaimana rasa masakan rumahan lagi dan kau membuatku penasaran
Adeeva, kau membuatku ingin tahu tentang dirimu lebih banyak”
Adeeva
membelalakan matanya walau Ernest tak bisa melihat itu, “Ernest...” ucap Adeeva
“Kau
hadir karena kebodohan Ayahku, kau terpaksa hadir di hidup ku karena Ayahku,
kau terpaksa menikah juga karena Ayahku. Kau harus tahu aku sangat menyesal
kita bertemu dengan cara seperti ini, aku tak pernah menginginkannya” Ernest
kembali menghirup aroma strawberry itu agar membuatnya tenang, “Itu yang
membuatku takut, aku takut apa yang kau lakukan untukku di rumah ini itu hanya
sebuah rasa kasihanmu karena Ayahku, aku takut kau...”
“Tidak!”
Sela Adeeva yang berucap di dada Ernest, “Aku tak pernah merasa kasihan padamu,
aku melakukan semua itu karena aku suka dan aku ingin”
Mendengar
ucapan Adeeva membuat Ernest bernafas lega, “Kau selalu bisa membuatku lebih
tenang” Ernest mengecup puncak kepala Adeeva
Adeeva
kembali terkejut, detak jantungnya sudah sangat cepat. Adeeva juga baru
menyadari bahwa detak jantung Ernest lebih cepat dari sebelumnya.
“Ernest..
kau tahu bahwa kita”
“Tidak
Adeeva. Ku mohon, jangan ingatkan aku tentang apapun. Ku mohon” sela Ernest
dengan ucapan sangan memohon membuat Adeeva kembali diam.
Ernest
membelai rambut Adeeva, “Jangan beranjak dari sini sampai aku terbangun esok hari”
Mendengar
perintah itu Adeeva ingin mengelak dan menolak, namun Ia sadar bahwa Ia sudah
berjanji tidak akan menentang laki-laki ini lagi, Ia pun diam dan mencoba
tidur.
***
Ernest
mengerjapkan matanya, Ia sudah bangun dan mendapati Adeeva masih tertidur di
dalam pelukannya. Ernest tersenyum lalu mengecup puncak kepala Adeeva.
“Terimakasih” ucapnya lirih. Ernest tidak kembali tidur, Ia hanya ingin terus
tersadar dan memeluk Adeeva.
Jika aku boleh memohon pada-Mu
dengan segala keegoisanku. Aku menginginkan gadis ini lebih dari apapun di
dunia, aku bisa mengorbankan apapun yang aku miliki untuk nya. Tuhan, bisakah
kau mengabulkan doa ku yang egois ini? Ernest berdoa dalam
hatinya.
Adeeva
mengerjap, merasakan ada tangan yang membelai rambutnya, lalu Ia mendangak dan
mendapati Ernest disana memeluknya dan membelai rambutnya. Adeeva ingat semua
yang terjadi kemarin, terlalu aneh namun membuat Adeeva senang, entahlah.
“Aku
harus memasak Ernest. Bolehkah aku beranjak dari sini?” Adeeva masih mendangak
menatap Ernest
Ernest
pun menunduk dan menatap mata gadis itu, lalu dengan lembut Ia mencium kening
Adeeva beberapa detik dan langsung melepasnya. “Baiklah, mari kita memasak”
lalu Ernest melepas pelukannya
Adeeva
dengan cepat beranjak dari ranjang Ernest, “Apa-apaan itu tadi?” tanyanya
kesal, “Aku harus mandi, kau juga dan hanya aku yang memasak, aku tidak suka di
ganggu saat memasaak”
Ernest
menatap Adeeva yang sudah menatapnya kesal, “Apa kita akan mandi bersama?”
tatapan jahil Ernest pada Adeeva
“Ohh
Tuhan! Tidakkk!! Awas kau berani masuk ke kamar ku!” Adeeva berlari hingga
harus sedikit membanting pintu.
Ernest
tersenyum, Ia mendapati Adeeva yang sehat dan ceria lagi.
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:
Posting Komentar