Senin, 31 Oktober 2016

[CERBUNG] Fate - Part 3

Part 3

Ernest menggerutu kesal di dalam kamarnya. “Dia sakit dan masih memikirkan larangan kekasihnya?” Ernest menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, “Dia gila atau terlalu cinta pada kekasihnya itu?” gumam Ernest. Ernest mendesah kesal, dirinya memutar tubuh hingga dirinya menghadap ke samping saat ini.
Sudah pukul dua belas malam, namun Ernest tidak mendapat telepon apapun dari Adeeva. Tunggu! Dia bahkan tidak memiliki nomor teleponku. Ucap Ernest dalam hati. Dengan secepat kilat Ernest berlari menuju kamar Adeeva dan tanpa mengetuk pintu, Ernest langsung masuk.
Adeeva kaget saat mendapat Ernest berlari mendekat padanya, “Ada apa?” tanya Adeeva yang masih memegang laptop di pangkuannya. Dirinya masih dengan posisi seperti sebelumnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Ernest sambil melirik pada laptop di pangkuan Adeeva

“Ohh, harus ada yang aku periksa. Beberapa naskah belum ku selesaikan. Aku tidak bisa tidur, jadi aku memutuskan mengerjakan tugasku” jelas Adeeva dengan senyum semanis mungkis yang dapat ia simpulakan
Ernest bergerak cepat mengambil laptop di pangkuan Adeeva, “Aku tidak tahu jika ada orang sakit yang masih bekerja” Ernest meletakan laptop Adeeva di meja kerja gadis itu lalu kembali mendekat pada Adeeva, “Tidak ada laptop sampai kau sembuh” lalu Ernest duduk di sisi ranjang Adeeva dan membantu istrinya itu untuk berbaring.
“Aku sudah lebih baik Ernest” ucap Adeeva lirih karena takut oleh tatapan Ernest yang sebelumnya sangat marah padanya
“Tidak!” Ernest menarik selimut dan menutupi sebagian tubuh Adeeva, “Seharusnya Angel memberi obat yang membuatmu mengantuk lebih cepat”
Adeeva tersenyum melihat Ernest yang begitu mengkhawatirkannya. Dulu saat Adeeva sakit, hanya Dave yang datang dan merawatnya, sedangkah Jo lebih memilih pergi ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mengapa Jo tidak seperti Ernest saat ini dulu? Tanya Adeeva dalam hati
Ernest memperhatikan Adeeva yang masih menatapnya dengan senyum, “Kau tidak akan memejamkan matamu?” tanya Ernest yang membuat Adeeva mengerjap kaget
“Aku bilang aku tidak merasa mangantuk sama sekali Ernest”
“Oke, aku akan membacakan cerita untukmu” lalu Ernest mengambil ponselnya dari dalam saku celana, lalu mencari cerita yang bisa Ia ceritakan pada Adeeva. “Oke, aku akan membacakan cerita mengenai Cinderella dan sepatu kaca”
Adeeva mengernyit “Aku sudah sering menonton film itu”
Ernest berdecak kesal, “Karena kau bisanya hanya menonton, maka sekarang aku akan bacakan”
Mendengar perkataan Ernest yang memaksa akhirnya Adeeva hanya mendesah pasrah dan mengangguk setuju. Ia pun mulai mendengarkan cerita Ernest. Walau Adeeva sudah menontonnya berkali-kali, namun saat ini Ia merasakan berbeda. Suara Ernest yang bercerita tanpa ekspresi dan sangat dingin membuat Adeeva lebih berpikir tentang adega-adegan dalam kisah Cinderella yang Ernest bacakan. Saking bingungnya, Adeeva merasa matanya mulai berat dan mengantuk, perlahan Ia pun terpejam.
“Baik Cinderella maupun Pangeran Tampan tidak dapat melupakan kejadian pada malam itu. Mereka...” Ernest terdiam lalu menoleh dan menatap Adeeva sudah tertidur pulas. Ernest menatap wajah Adeeva, “Benar kata Reyhan, kau memang sangat cantik” ucap Ernest lirik seraya meningkirkan rambut Adeeva yang jatuh di wajah gadis itu. Ernest pun menyelimuti Adeeva, lalu menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utama.
***
Ernest bangun pukul lima dan langsung bersiap-siap. Ia harus menjemput Ariana dan mengantar kekasihnya itu ke bandara lalu kembali ke rumah. Sebelum menuruni tangga, Ernest memutuskan untuk menengok keadaan Adeeva, gadis itu masih tertidur dengan posisi yang sama seperti semalam saat Ernest meninggalkannya. Ernest mengingat sesuatu dan langsung memasuki kamar Adeeva, mencari selembar kertas dan pulpen. Dia menulis sesuatu disana dan meletakannya di meja kecil di samping ranjang Adeeva.
Ernest keluar dari rumahnya. Ia masih menggunakan supirnya, dengan begitu Ia masih bisa tidur di dalam mobil. Sekitar pukul enam kurang sepuluh menit, Ernest sudah tiba di depan apartemen Ariana. Kekasihnya itu sudah berdiri di lobi dengan koper besa di sisinya. Ernest pun berjalan keluar dari mobil dan membantu Ariana mengangkat kopernya dan meletakannya ke dalam bagasi. Apa dia ingin pindah ke Jepang? Kopernya cukup untuk memindahkan baju satu lemari ucap Ernest dalam hati.
“Sayang.. Aku sudah sarapan roti tawar tadi. Jadi kita tidak perlu berhenti untuk mencari makan. Kita bisa langsung ke bandara” Ariana memegang lengan Ernest di dalam mobil.
Kau sudah, aku belum jawab Ernest dalam hati, namun kenyataannya dia hanya tersenyum dan mengangguk pada Ariana.
***
Adeeva bangun, “Sudah pukul enam. Aku harus masak” Adeeva melihat jam kecil di meja samping. Namun pandangan Adeeva tertuju pada kertas di atas meja itu.
Selamat pagi
Jangan beranjak dari tempat tidurmu!
Aku akan segera pulang!
098388877766
Hubungi aku jika kau butuh sesuatu.
Ingat! Jangan beranjak dari tempat tidurmu!
Adeeva tersenyum melihat surat itu, “Dasar laki-laki otoriter” Adeeva segera mencari ponselnya di dalam tas miliknya yang tergeletak di sisinya. Ia membuka kunci ponsel miliknya, banyak sekali pesan namun saat Adeeva mengecek satu persatu pesan, tidak ada pesan dari Jonathan. Perasaan khawatir menyerangnya, namun saat di bandara kemarin Jo bilang padanya untuk tidak menghubungi lebih dulu, kekasihnya itu akan menghubunginya nanti.
Adeeva menekan menyimpan nomor ponsel Ernest dalam kontaknya, saat di kolom nama, Adeeva bingung, apa yang harus dia tulis? “Hmm Suamiku? Oh tidak-tidak. Hm Suami sementaraku? Tidak, Ayah bisa curiga. Apa yaa” Adeeva berpikir lagi, lalu dia tersenyum dan mengetik nama yang pas untuk Ernest. “Mr. Sinis bin otoriter” Senyum Adeeva lebih lebar saat dia menekan tombol save di ponselnya.
Adeeva menuruti perintah Ernest, dia sama sekali tidak beranjak dari tempat tidur. Ia sebenarnya merasa bosan dan melihat laptopnya tergeletak begitu saja di meja kerjanya, Ia ingin sekali berlari dan mengambilnya, namun Adeeva takut jika saat Ia memegang laptop, Ernest datang dan memarahinya lagi.
Adeeva menoleh melihat jam di sampingnya “Jam delapan” Adeeva mendesah. Lalu dia tiba-tiba tersenyum dan menelepon Ernest.
“Siapa ini?” Suara Ernest yang sinis terdengar sangat jelas
“Adeeva..” ucap Adeeva seraya mengernyit tidak suka
“Oh” Ucap Ernest singkat membuat Adeeva mendesah kesal, “Ada apa?”
“Kau sudah di jalan pulang?” tanya Adeeva hati-hati
“Ya, apa kau perlu sesuatu?”
Adeeva berpikir sejenak, “Apa kau bisa I Fu Mi di Cafe Amour? Tiba-tiba aku ingin makan itu” ucap Adeeva dibuat seolah Ia benar-benar menginginkannya
“oke” jawab Ernest singkat, “Aku tutup”
“Ernest!!” teriak Adeeva sebelum Ernest benar-benar menutup teleponnya
“apa lagi?”
“Jam berapa kau akan sampai rumah?” Adeeva menahan nafasnya saat menanyakan hal itu.
Tanpa sepengetahuan Adeeva Ernest mengernyit. Lalu Ia berpikir dan segera menjawab, “Mungkin satu setengah jam”
Adeeva menghembuskan nafas lega, “Oke. Hati-hati di jalan”
***
Ernest sangat senang saat tadi Adeeva menelponnya. Namun, saat istri sementaranya itu bertanya jam berapa Ia akan sampai, itu membuat Ernest sedikit heran, maka dari itu Ernest berbohong setengah jam lebih lama.
Ernest menuruti kemauan Adeeva dan membelikan I Fu Mi dari cafe yang di sebut Adeeva. Untuk daja cafe itu buka 24 jam, jika tidak mungkin Ernest harus menunggu beberapa jam sampai cafe itu benar-benar buka. Ernest memerintahkan supirnya untuk melaju lebih cepat, karena perasaannya tidak tenang.
Saat sampai di rumah, Ernest tidak menakan bel dan langsung mengambil piring dari dapur dan membawanya ke atas menuju kamar Adeeva. Dengan cepat Ia membuka pintu dan mendapati Adeeva duduk bersandar di tempat tidur dan saat itu menatap dirinya.
“Kau sudah pulang?” tanya Adeeva
Ernest heran, dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Ya pasti ada. “Ini makananmu” Ernest menyiapkan makanan Adeeva ke atas piring yang tadi Ia bawa.
“Kau tidak makan?” tanya Adeeva seraya menatap tepat pada mata Ernest yang membuat laki-laki itu salah tingkah
“hah? Oh. Tidak. Aku bisa makan nanti saja” Ernest memalingkan wajahnya
“Tidak! Kau juga harus makan, mari makan bersamaku” Adeeva duduk menghadap Ernest, “Kau duduk disini” Adeeva menepuk-nepuk sisi ranjangnya
Ernest memandang Adeeva sejenak lalu menuruti gadis itu dan duduk.
“Aku hanya demam dan sekarang sudah baikan, kau tidak akan tertular. Buka mulutmu, aaaaa” Adeeva mengarahkan sendok berisi makanan ke arah muut Ernest
Ernest menatap bingung, namun tanpa berpikir panjang Ia pun memasukan makanan itu ke dalam mulutnya.
Sekitar sepuluh lima belas menit mereka makan sepiring berdua dengan Adeeva yang menyuapi Ernest dan tanpa suara dari mereka berdua.
Tiba-tiba Ernest melihat meja kerja Adeeva, laptop itu tertutup. Padahal Ernest ingat betul bahwa semalam Ia meletakan laptop itu dengan masih dalam keadaan terbuka. Perlahan Ernest berjalan menuju latop tersebut dan membuka laptop itu. Ia pun menekan tombol power dan voila.. laptop itu hidup, padahal semalam Ernest tidak sempat mematikan laptop itu.
Ernest memandang Adeeva yang sudah berdiri dan menatapnya takut. Ernest berjalan menghampiri Adeeva, “Bukankah aku bilang kau tidak boleh beranjak dari tempat tidurmu?” Ernest menatap Adeeva tajam
Adeeva merasa terintimidasi sekarang, ternyata membohongi pria dihadapannya sangat sulit. “Aku bosan, aku tak bisa hanya tidur saja seharian”
“Jika aku katakan kau untuk tidak beranjak berarti kau tidak boleh beranjak dari sana!!!!” Ernest berteriak pada Adeeva
Adeeva terperajat kaget, Ia tidak pernah melihat Ernest semarah ini. Namun itu juga tidak benar, Adeeva tidak melakukan hal yang mengganggunya. Adeeva pun memberanikan diri menatap Ernest, “Aku bilang aku bosa! Lagi pula apa hubungannya denganmu? Itu pekerjaanku, urusanku! Mengapa kau jadi marah-marah dan mengurusi apa yang aku lakukan?? Bukankah kita sepakat untuk tidak ikut campur dalam urusan kita masing-masih??” Adeeva terpancing dan mengucapkan itu semua dengan nada tinggi
Ernest mendesah kesal, “Kau bilang ikut campur? Aku hanya khawatir jika kau jatuh sakit lagi! Kau tidak tahu seberapa panik dan khawatirnya aku kemarin mendapati kau pingsan di depan pintu rumahku! Kau tidak tahu berapa jam aku harus mengelap keringatmu dan memastikan kau baik-baik saja. Aku hanya khawatir dan kau justru menilaiku ikut campur. Oke fine! Aku tidak akan ikut campur lagi! Tidak akan!!!!’ Ernest berjalan cepat keluar dari kamar Adeeva lalu membanting pintu berwarna merah itu.
Adeeva hampir menangis mendengar ucapan Ernest. Dia mundur dan mendudukan dirinya di atas kasur. Adeeva memikirkan setiap kata-kata Ernest. Mungkin selama hidupnya ini pertama kalinya ada orang lain yang peduli padanya, selain Dave. Ini pertama kalinya ada orang yang begitu mengkhawatirkannya dan Ia justru membentak orang itu karena ikut campur. Adeeva sangat merasa menyesal. Namun saat dia ingin menyusul Ernest, tiba-tiba dia merasa mengantuk dan akhirnya dia justru tertidur.
***
Pukul tujuh malam. Adeeva baru saja terbangun dan langsung melesat ke dapur. Ia mencoba memasak dan membuat makan malam. Biasanya Ernest akan turun karena mencium aroma makanannya, namun sampai makanan itu selesai di masak. Ernest tidak juga turun, rasa penyesalan semakin besar di dalam diri Adeeva. Adeeva pun memutuskan untuk membawa makanan itu ke atas, ke kamar Ernest.
Adeeva menyanggah nampan dengan tangan kanan dan tubuhnya ketika tangan kirinya mengetuk pintu. Namun tak ada jawaban dari Ernest, perlahan Adeeva memutar knop pintu kamar Ernest. “Tidak di kunci” Adeeva pun langsung masuk dan memegang nampan dengan kedua tangannya.
Adeeva melihat Ernest berbaring di atas ranjang king size milik laki-laki itu. dengan langkah sepelan mungkin Adeeva mendekat, Ia menaruh nampan di atas meja di sisi ranjang. Perlahan Ia menyentuh pundak Ernest. Laki-laki itu tidur dengan memiringkan tubuhnya menghadap Adeeva.
“Ernest” panggil Adeeva, namun tak ada jawaban, Adeeva mengelus lagi pundak Ernest, “Ernest bangun, makan malammu”
Perlahan Ernest membuka matanya, Ia langsung mendapati Adeeva ada disana. Duduk di samping ranjangnya dan sedang menatap dirinya. Perlahan Ernest mengerjap mencoba memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.
“Aku minta maaf. Aku yang salah. Maafkan aku” ucap Adeeva saat Ernest menatapnya
Ernest tak bisa membalas ucapan itu, mendapati Adeeva ada dikamarnya saat ini saja sudah sangat menyenangkan untuk laki-laki itu.
“Ernest. Kau mau memaafkanku kan?” tanya Adeeva lagi karena tak ada jawaban dari Ernest
Ernest menatap Adeeva, bukan tatapan tajam atau marah, Ia menatap Adeeva dengan lembut. Lalu dengan sekali gerakan Ia duduk dan memeluk Adeeva.
Adeeva terperajat kaget, Ernest memeluknya, tapi mengapa dia merasa aneh dan jantungnya, jantungnya berdetak lebih cepat.
Ernest memeluk Adeeva erat. Dia tidak tahu mengapa dirinya memeluk Adeeva, yang dia tahu Ia sangat ingin memeluk Adeeva, ya sangat ingin. Ernest menghirup aroma tubuh Adeeva, aroma rambut dan tubuhnya sama, aroma strawberry. Ernest tahu bahwa Adeeva sudah mandi dan membersihkan diri. Perlahan Ernest mengeratkan pelukannya.
Adeeva hanya diam, Ia seharusnya menolak dan mendorong Ernest. Namun, tubuhnya tak mengindahkan pikiran Adeeva, tubuh dan hatinya menikmati ini. Tak ada yang memeluk dirinya seerat ini, tidak ada, bahkan Dave dan Jo pun tidak pernah.
“Ernest” ucap Adeeva akhirnya “Kau membuatku sulit bernafas”
Ernest langsung melepas pelukannya dan menatap Adeeva yang mencoba mengatur nafasnya. Ernest menatap setiap inci wajah Adeeva.
“Kau boleh melihatku dan menatapku lagi nanti, tapi sekarang kau harus makan.” Adeeva bergerak dengan salah tingkah, Ia mengambil nampan berisi makanan dan minum untuk Ernest.
Ernest menatap nampan itu, tanpa bertanya Ia sudah tahu Adeeva yang memasaknya, karena tadi Ernest mencium aroma itu namun dengan sombongnya Ernest justru berusaha untuk tertidur dan melupakan rasa laparnya
“Kau bisa makan sendiri?” tanya Adeeva dan Ernest mengangguk
Adeeva meletakan nampan itu di pangkuan Ernest dan memindahkan gelas berisi air ke meja. Adeeva ingin beranjak pergi namun Ernest menahan tangannya dan menarik Adeeva agar tetap duduk disana.
“Kau juga pasti belum makan, makanlah bersamaku” ucapan Ernest sangat lembut membuat Adeeva tidak bisa menolak.
Mereka pun makan berdua dalam hening. Ernest memaksa untuk menyuapi Adeeva dan sekali lagi Adeeva tidak bisa menolak. Tatapan Ernest padanya sangat berbeda dengan tatapan Ernest tadi siang saat di kamarnya, saat ini Ernest menatapnya lembut tanpa ada kemarahan disana. Selama lima belas menit mereka akhirnya menyelesaikan makan malam mereka.
“Aku akan menaruh piringnya di bawah dan mencucinya” Adeeva berdiri dan mengambil nampan di pangkuan Ernest, namun Ernest memegang ujung baju Adeeva
“letakan saja disana” Ernest menunjuk meja di samping ranjangnya,
Adeeva mengernyit tidak mengerti
“Ku mohon, letakan saja disana” ucap Ernest lagi lebih lembut.
Adeeva pun menuruti Ernest lalu kembali menatap Ernest dan bertolak pinggang menatap laki-laki itu, “Oke sudah. Kau mau apa lagi bos?” Adeeva menatap kesal pada Ernest.
Namun Ernest langsung menarik tangan Adeeva hingga gadis itu jatuh di atas tubuhnya, dengan gerakan cepat Ernest memutar tubuh Adeeva hingga berada di samping nya.
“Apa..Apa yang kau lakukan” Adeeva ingin beranjak namun Ernest menahannya dengan memeluk pinggang Adeeva
“Ku mohon, aku tidak akan macam-macam. Hanya seperti ini saja malam ini, ku mohon” ucap Ernest lirih.
Adeeva ingin menolak namun Ernest menariknya dalam pelukan laki-laki itu. wajah Adeeva tepat di depan dada Ernest, membuat Adeeva bisa menghirup aroma maskulin Ernest.
Ernest memeluk Adeeva erat dengan posisi tiduran. Menekankan kepala Adeeva ke dalam dadanya, Ia ingin Adeeva mendengar setiap detak jantungnya yang begitu cepat saat bersama dengan Adeeva.
“Jangan menentangku lagi” ucap Ernest, “Aku mohon”
Adeeva mendengar itu, suara Ernest begitu terdengar putus asa maka Adeeva pun mengangguk. “Baiklah”
Mendengar jawaban Adeeva, Ernest pun tersenyum. Mempererat pelukannya, “Aku kehilangan ibuku sudah cukup lama”
Adeeva bingung, mengapa Ernest mengucapkan itu, namun akhirnya Adeeva hanya membalas pelukan laki-laki yang jadi suaminya itu, walau hanya sementara.
Ernest kembali tersenyum mendapati Adeeva membalas pelukannya, “Aku tidak pernah sarapan sebelumnya apalagi bangun di bawah jam tujuh, aku tidak pernah memakan makanan rumahan dan aku bukan tipe orang yang peduli dengan orang lain semenjak ibuku meninggal.” Ernest membelai rambut Adeeva dan menghirup aroma strawberry dari rambut itu, “Namun tiba-tiba itu semua berubah, semuanya Adeeva, semua. Kau membuatku ingin bangun lebih pagi hanya untuk melihatmu memasak, kau membuatku sarapan karena aku ingin menyicipi setiap jenis masakanmu, kau membuatku merasakan bagaimana rasa masakan rumahan lagi dan kau membuatku penasaran Adeeva, kau membuatku ingin tahu tentang dirimu lebih banyak”
Adeeva membelalakan matanya walau Ernest tak bisa melihat itu, “Ernest...” ucap Adeeva
“Kau hadir karena kebodohan Ayahku, kau terpaksa hadir di hidup ku karena Ayahku, kau terpaksa menikah juga karena Ayahku. Kau harus tahu aku sangat menyesal kita bertemu dengan cara seperti ini, aku tak pernah menginginkannya” Ernest kembali menghirup aroma strawberry itu agar membuatnya tenang, “Itu yang membuatku takut, aku takut apa yang kau lakukan untukku di rumah ini itu hanya sebuah rasa kasihanmu karena Ayahku, aku takut kau...”
“Tidak!” Sela Adeeva yang berucap di dada Ernest, “Aku tak pernah merasa kasihan padamu, aku melakukan semua itu karena aku suka dan aku ingin”
Mendengar ucapan Adeeva membuat Ernest bernafas lega, “Kau selalu bisa membuatku lebih tenang” Ernest mengecup puncak kepala Adeeva
Adeeva kembali terkejut, detak jantungnya sudah sangat cepat. Adeeva juga baru menyadari bahwa detak jantung Ernest lebih cepat dari sebelumnya.
“Ernest.. kau tahu bahwa kita”
“Tidak Adeeva. Ku mohon, jangan ingatkan aku tentang apapun. Ku mohon” sela Ernest dengan ucapan sangan memohon membuat Adeeva kembali diam.
Ernest membelai rambut Adeeva, “Jangan beranjak dari sini sampai aku terbangun esok hari”
Mendengar perintah itu Adeeva ingin mengelak dan menolak, namun Ia sadar bahwa Ia sudah berjanji tidak akan menentang laki-laki ini lagi, Ia pun diam dan mencoba tidur.
***
Ernest mengerjapkan matanya, Ia sudah bangun dan mendapati Adeeva masih tertidur di dalam pelukannya. Ernest tersenyum lalu mengecup puncak kepala Adeeva. “Terimakasih” ucapnya lirih. Ernest tidak kembali tidur, Ia hanya ingin terus tersadar dan memeluk Adeeva.
Jika aku boleh memohon pada-Mu dengan segala keegoisanku. Aku menginginkan gadis ini lebih dari apapun di dunia, aku bisa mengorbankan apapun yang aku miliki untuk nya. Tuhan, bisakah kau mengabulkan doa ku yang egois ini? Ernest berdoa dalam hatinya.
Adeeva mengerjap, merasakan ada tangan yang membelai rambutnya, lalu Ia mendangak dan mendapati Ernest disana memeluknya dan membelai rambutnya. Adeeva ingat semua yang terjadi kemarin, terlalu aneh namun membuat Adeeva senang, entahlah.
“Aku harus memasak Ernest. Bolehkah aku beranjak dari sini?” Adeeva masih mendangak menatap Ernest
Ernest pun menunduk dan menatap mata gadis itu, lalu dengan lembut Ia mencium kening Adeeva beberapa detik dan langsung melepasnya. “Baiklah, mari kita memasak” lalu Ernest melepas pelukannya
Adeeva dengan cepat beranjak dari ranjang Ernest, “Apa-apaan itu tadi?” tanyanya kesal, “Aku harus mandi, kau juga dan hanya aku yang memasak, aku tidak suka di ganggu saat memasaak”
Ernest menatap Adeeva yang sudah menatapnya kesal, “Apa kita akan mandi bersama?” tatapan jahil Ernest pada Adeeva
“Ohh Tuhan! Tidakkk!! Awas kau berani masuk ke kamar ku!” Adeeva berlari hingga harus sedikit membanting pintu.
Ernest tersenyum, Ia mendapati Adeeva yang sehat dan ceria lagi.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar