Angin dingin menusuk
hingga ke dalam tulang Adeeva. Ia hanya memejamkan matanya, menahan seluruh
rasa dingin yang sebenarnya sudah membuat seluruh tubuhnya mati rasa. Ia tetap
berdiri di balkon villanya yang terletak di daerah cianjur. Jika dia memiliki keberanian
lebih dan jika bunuh diri itu di halal kan, maka mungkin dirinya sudah terjun
dari atas balkon dan tergeletak tidak bernyawa di bawah sana. Namun Adeeva
masih memilik akal sehat dan masih percaya akan Tuhan, maka disinilah dia
sekarang berdiri dengan pasrah pada apapun yang terjadi dalam hidupnya.
Adeeva
Atmadja, seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, seorang penulis novel dan
editor di salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Ayahnya seorang pemilik
hotel di daerah puncak dan beberapa daerah lainnya, ibunya sudah meninggal dua
tahun yang lalu, dan Ia hanya memiliki satu kakak laki-laki bernama Dave yang
mewarisi seluruh ilmu bisnis hotel Ayahnya.
“Deev...”
Dave melangkah mendekati Adeeva yang masih berdiri di balkon. Perlahan Dave
menyentuh bahu adik satu-satunya itu. “Ayah dan Paman sudah menunggu di bawah”
Adeeva
menghembuskan nafas, seolah Ia melepaskan seluruh bebannya saat ini. Ia pun
berbalik dan menatap Dave serius. “Aku masih tidak mengerti dengan semua ini,
ini terlalu mendadak Dave”
Dave
membelai rambut Adeeva, “Aku tahu, maaf karena aku tak bisa berbuat banyak
untukmu” Dave melangkah maju, mendekap adiknya dalam pelukan terhangat yang
dapat Ia berikan. “Tapi aku janji bahwa Ernest tidak akan pernah bisa
menyakitimu, aku janji”
Disinilah
Adeeva, disebuah pernikahan sederhana untuk dirinya. Adeeva baru mengenal
Ernest satu minggu yang lalu di salah satu rumah sakit di Bogor, namun Ia harus
menikahi laki-laki asing itu atas nama perjodohan dan atas nama kemanusiaan.
Ayah
Ernest memiliki penyakit jantung yang mudah sekali kambuh. Jika Adeeva tidak
memiliki hati nurani, dia bisa langsung pergi dan lari untuk menolak perjodohan
ini, tapi Adeeva masih memiliki hati, tidak mungkin dirinya membebaskan diri
sementara seorang laki-laki setengah baya sedang berjuang dengan kematiannya.
“Maaf”
ucap Ernest setelah acara pernikahan mereka.
Adeeva
tak bergeming, dia masih sibuk menatap kolam renang dihadapannya. Bertemu
dengan Ernest adalah mimpi terburuknya. Ia hanya memikirkan Jonathan, Jonathan
kekasihnya disana.
“Mungkin
kata maaf saja tidak cukup, dan aku juga yakin bahwa kata terimakasih juga
tidak cukup. Tapi aku bisa menjanjikan bahwa aku akan menjamin seluruh hidupmu.
Seluruhnya, sepenuhnya” Ernest berdiri tepat disisi Adeeva.
Adeeva
menoleh, menatap laki-laki yang sudah sah jadi suaminya ini.
“Ini
keputusanku. Aku tak perlu apapun darimu.” Adeeva menarik nafas sejenak, “Aku
tegaskan sekali lagi, dalam hubungan ini tak ada yang boleh ikut campur urusan
masing-masing. Aku harap kita tetap menjaga privasi kita” Setelah mengatakan
itu Adeeva melangkah pergi meninggalkan Ernest disana, sendiri.
Ernest
menatap tubuh Adeeva yang melangkah pergi, mendekati Ayahnya, tersenyum dan
membicarakan sesuatu yang membuat Ayahnya tersenyum bersama dengan Ayah
mertuanya sekarang.
“Aku
janji kau akan bahagia, Deev”
***
“Ahh
lelahnya” keluh Adeeva setelah Ia sudah sampai di rumah barunya, tentu saja
rumah Ernest. “Kamarku yang mana? Aku tidak perlu memindahkan barang dari
apartemenku kesini kan? Aku masih bisa tinggal disana”
“Tidak!
Kau harus tinggal disini” ucap Ernest tegas, “aku tidak ingin mengambil risiko
jika suatu saat Ayah datang dan tak menemukanmu”
Adeeva
memijat pelipisnya, sakit kepalanya mulai menyerang lagi. “oke oke, kau atur
saja.” Adeeva duduk di salah satu sof di ruang tamu
Ernest
menatap Adeeva sesaat lalu berjalan melewatinya, namun tiba-tiba Ernest
berhenti. “Di atas, pintu berwarna merah, itu kamarmu”
“Oke
Thank You!” Adeeva segera beranjak dan berjalan menuju tangga. Di tengah-tengah
anak tangga Adeeva berbalik, “Aku akan sering mendengarkan musik tanpa
earphone, aku juga akan sering keluar rumah, aku tidak suka pesta, aku harap
kau bisa mengerti” Adeeva tersenyum lalu melambai pada Ernest
Ernest
menatap takjub, wanita itu dapat berubah-ubah kapan saja. Kadang dia ramah,
kadang dia ketus, kadang dia dingin bahkan kadang dia bisa jadi pendiam. Dalam
waktu satu minggu saja Ernest sudah menemukan semua sifat Adeeva.
“Memikirkannya
membuat kepalaku pusing” gumam Ernest pada dirinya sendiri
Saat
Ernest melangkah di anak tangga pertama, ponselnya berdering yang membuat
Ernest harus mengernyit lagi karena kesal.
Ariana
“Haloo”
sapa Ernest
“Sayang,
Kamu kemana saja? Aku menunggumu menelpon sejak pagi. Aku mengirimimu pesan
tapi tak ada yang kamu baca. Besok aku akan kesana, kita jadi pergi makan
siang, kan?” Ucapan panjang Ariana membuat kerutan pada kening Ernest lebih
banyak
“maaf,
oke. Besok kau boleh kesini” Dan tanpa ucapan selamat malam, Ernest sudah
mematikan ponselnya.
***
Ernest
tidak biasanya terbangun pukul enam, namun kali ini dia harus bangun. Ia
mencium sesuatu yang harum yang membuat perutnya meronta untuk mengikuti dari
mana asal bau makanan itu. Ernest turun ke lantai dasar dan menuju dapur.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Ernest setelah melihat Adeeva sedang berdiri disana
dan menuangkan sebuah sup kedalam mangkuk besar. Adeeva menggunakan apron
berwarna pink polos, rambutnya di ikat satu, walau berantakan namun membuat
wajah Adeeva terlihat seluruhnya.
“Hai..
aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi kemarin kita sudah menikah dan
disinilah aku” Adeeva melepaskan apronnya, “maaf jika membangunkanmu, tapi aku
biasa sarapan jam enam, jika kau ingin sarapan nanti aku bisa menyimpan untukmu
dan akan aku hangatkan nanti jika kau ingin makan”
“Tidak,
tidak perlu. Aku, aku bisa makan sekarang” Jawab Ernest mengikuti Adeeva yang
duduk di meja panjang yang disediakan di dapur.
Seumur
hidup Ernest, dia tidak pernah mengenal namanya sarapan, ya terkecuali dulu
saat Ibunya masih hidup. Setelah Ibunya meninggal, seluruh hidup Ernest
berubah.
“Kau
tidak perlu memasak untukku lain kali” ucap Ernest seraya menyuapkan seseondok
nasi ke dalam mulutnya.
“Aku
tidak memasak untukmu, aku memasak untukku” Adeeva menyesap kopinya terlebih
dahulu, “Jika kau takut aku menggunakan bahan makanmu, tenang saja, aku membeli
semua ini dengan uangku sendiri, aku hanya meminjam perabotanmu”
Ernest
ingin menyela, bukan itu yang ia maksud sama sekali bukan itu. namun dia
mengurungkan niatnya untuk menjelaskan.
“Aku
akan pergi dan kembali sekitar pukul sepuluh nanti, kau ada rencana?” Adeeva
menatap Ernest
“bukankah
kita sepakat untuk tidak ikut campur urusan masing-masing?”
“ohh
benar. Sorry...” ucap Adeeva acuh
Mereka
makan dalam diam, tak ada yang berani membuka percakapan. Semuanya terlalu
mendadak bagi keduanya, mereka tidak mengenal satu sama lain.
“Terimakasih”
ucap Ernest setelah selesai makan dan beranjak dari kursinya lalu kembali
menuju kamar
Adeeva
menggeleng, “Dia terlalu kaya dan dingin, seharusnya dia menawarkan untuk
mencuci piring jika dia benar-benar berterimakasih”
***
“Kau
gila, kau benar-benar gila” Jonathan berteriak di dalam mobil. Ia baru saja
mendengar cerita dari kekasihnya bahwa, kekasihnya telah menikah dengan
laki-laki lain dan sekarang mereka menuju rumah pengantin baru itu
“jangan
marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi kami sepakat bahwa jika
kesehatan ayahnya sudah membaik, kami akan bercerai”
“Kau
kira menikah dan bercerai semudah itu Deev?” Jonathan menoleh dan menatap
Adeeva sejenak lalu kembali berkonsentrasi dengan mobilnya
“huh”
Adeeva mendesah, apapun yang akan dia jelaskan memang semuanya salahnya, jadi
lebih baik Adeeva diam, toh Jo juga tidak akan meninggalkannya hanya karena
ini.
Beberapa
menit, Adeeva dan Jonathan sudah tiba di rumah Ernest. Dengan sedikit
tergesa-gesa, Jonathan berjalan memasuki rumah itu.
Saat
Jonathan menekan bel, saat itu pula munucl seorang laki-laki tinggi, memiliki
badan yang bidang, tidak dipungkiri dia memiliki wajah yang lumayan. Namun
pandangan Jo beralih pada wanita disampingnya yang sedang mengapit lengan
laki-laki itu mesra.
“Siapa
kau?” tanya Ernest melihat tatapan Jo yang menajam padanya
“Ernest,
kita masuk dulu. Aku ingin menjelaskan sesuatu” Adeeva memandang Ernest memohon.
Mereka
berempat pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.
“Maaf
sebelumnya Ernest. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggu acaramu, namun
sepertinya ini harus dijelaskan pada mereka bukan?” Adeeva menatap Jonathan dan
Ariana bergantian.
Jonathan
yang sudah mengetahui itu tak bingung sama sekali, namun Ariana yang sepertinya
tidak mengerti apapun yang diucapkan oleh Adeeva memandang Ernest meminta
penjelasan.
Ernest
melihat Ariana, “Begini, Ariana. Dia adalah Adeeva”
“Adeeva?
Aku tidak tahu kalau kamu memiliki teman bernama Adeeva. Dan jelaskan padaku
apa yang dimaksud wanita itu!” Ariana membuat penekanan tega pada kata wanita
itu yang membuat Jonathan memandang tidak suka pada Ariana, namun sebelum
Jonathan bertindak lebih jauh, Adeeva sudah memegang tangan Jonathan.
“Begini,
dia itu adalah istriku” ucap Ernest yang membuat mata Ariana terbelalak
“Apa?!
Kau gila! Tidak, tidak. Cara becandamu kali itu tidak lucu sayang. Sungguh!”
Ariana menggeleng tidak percaya
“Biar
aku jelaskan” Ernest lalu menjelaskan semuanya, mengenaik ayahnya, mengenai
perjodohan, pernikahan dan sampai perjanjian antara dirinya dan Adeeva
Ariana
mendesah kesal, “Jadi aku berkencan dengan suami orang saat ini? Oh Tuhan.
Sayang, mengapa kau tidak katakan pada Ayahmu jika kau memiliki kekasih, kau
memiliki aku sayang”
“Tidak
bisa. Itu membahayakannya” Jawab Ernest lirih
Jonathan
menatap kedua sejoli yang sedang bertengkar lalu dengan kesal Ia berdiri, “aku
kesini tidak untuk mendengar pertengkaran kalian, aku hanya ingin menegaskan
jika Adeeva adalah kekasihku, dan kau!” Jonathan menunjuk pada Ernest, “Kau
hanya suami sementara Adeeva, hanya pura-pura, kau tidak ku izinkan untuk
menyentu Adeeva dalam keadaan apapun”
“hei!
Kau pikir kekasihku akan sudi menyentuh wanita murahan seperti itu!” Ariana
bertolak pinggang menatap Jonathan kesal
“Jaga
ucapanmu!!!!” Jonathan hampir melangkah menghampiri Ariana jika tangannya tidak
di cegah oleh Adeeva.
Adeeva
menatap tidak senang pada Ariana, “Kita sama-sama memiliki pasangan, jadi aku
harap kita bisa saling menghormati di rumah ini” Adeeva menatap Ernest dan
Ariana bergantian lalu menarik Jonathan agar keluar dari rumah itu
***
Adeeva
meletakan semua masakan yang Ia buat di atas meja. Dia bahkan tidak sempat
makan malam karena harus menenangkan Jonathan seharian penuh. Alhasil dia hanya
bisa membuat sup rumput laut untuk makan malamnya.
“Kau
hanya makan itu?” sebuah suara mengejutkan Adeeva
Adeeva
menatap Ernest dihadapannya, “Kau bisa lihat sendiri” lalu dengan satu suapan
Adeeva memasukan sup itu ke dalam mulutnya.
Ernest
memperhatikan Adeeva yang begitu lahap, lalu tiba-tiba Ia merasa sangat lapar
dan peurnya pun menghasilkan suara yang dapat di dengan oleh Adeeva dengan
sangat jelas.
“Kau
belum makan? Supnya ada banyak. Aku bisa memasakan telur dadar atau mata sapi
jika kau ingin makan dengan nasi.” Tawar Adeeva yang segera turun dari kursinya
dan menuju lemari es dan mengambil dua butir telur.
“Terimakasih”
ucap Ernest seraya duduk di salah satu kursi
“Kau
ingin ku masakah apa? Telur mata sapi saja? Telur dadar saja? Nasi goreng
biasa? Nasi goreng selimut? Atau apa?” Adeeva memandang Ernest
“Nasi
goreng selimut? Apa itu?” tanya Ernest bingung
“Oke..
aku akan memasakan itu. tunggu disana”
Setelah
mengucapkan kata tunnggu, Adeeva segera menyibukan dirinya dengan semua
bahan-bahan yang diperlukan. Selama kurang lebih sepuluh menit, Adeeva sudah
ada di menaruh sepiring nasi goreng selimut di atas meja Ernest.
“Aku
tidak tahu seberapa banyak porsi nasi yang biasanya kau makan di malam hari,
tapi ini kurasa cukup untuk makan malam, bagaimana?” tanya Alexa seraya kembali
duduk di kursinya, di samping Ernest
“Jadi
seperti ini nasih goreng selimut” Tanpa menjawab pertanyaan Adeeva, Ernest
segera memakan semua nasi dan telur yang ada di piringnya. Ini pertama kalinya
Ernest memakan-makanan rumahan semenjak Ibunya meninggal. Dan seperti masakan
rumah lainnya, Ernest mengakui nasi goreng selimut itu sangat lezat, namun
laki-laki itu tidak dapat mengucapkannya.
Adeeva
tak tertarik dengan komentar Ernest, jadi dia lebih memilih menikmati
makanannya.
“Kau...
tidak makan nasi?” tanya Ernest pada akhirnya
Adeeva
kaget dan menoleh, laki-laki itu sudah menghabiskan seluruh minumannya. Adeeva
menatap Ernest, “Hah? Oh.. tidak, aku dilarang makan nasi di malam hari”
Ernest
mengernyit, “dilarang? Oleh dokter?” ini bukan ernest, dia bukan tipe orang
yang banyak bertanya seperti ini.
“Oh
bukan bukan. Jo yang melarangku” jawab Adeeva seraya melanjutkan makannya.
“Kekasihmu
melarangmu makan nasi? Apa hak dia? Maksudku, apa alasannya?” Ernest meruntuk
dalam dirinya, kenapa dia harus banyak bertanya dengan istri sementaranya ini.
“Jo
tidak suka wanita yang berlebihan berat badan. Jadi untuk menjaga berat
tubuhku, aku harus menjaga pola makan, tidur dan olahragaku”
Ernest
mengernyit, kasihan ucap ernest dalam
hati.
Ernest
tidak tahu mengapa masih ada laki-laki yang berpikiran sempit seperti itu.
Tapi, untuk apa Ernest memikirkannya? Itu bahkan bukan urusannya.
Ernest
beranjak dari kursi dan berjalan pergi.
Adeeva
menatap kepergian Ernest dengan pandangan kesal. “Lagi-lagi pergi seolah tidak
meninggalkan beban” Adeeva berbalik memandang piring kotor, perabotan kotor.
“laki-laki tidak tahu terimakasih” keluhnya
***
Ernest
membaringkan tubuhnya di ranjang. Menatap atam kamarnya yang berwarna putih,
sejenak Ia memikirkan tentang hidupnya yang mulai berubah. Sarapan, makan
malam, terlalu banyak bertanya, semua diakukan Ernest seharian ini sangat
berbeda dengan dirinya sebelumnya.
Sebelum
memutuskan untuk mengabulkan permintaan Ayahnya, Ernest bukanlah orang yang
suka bangun pagi hanya untuk sarapan, Ia lebih suka minum kopi di kantornya.
Ernest juga tidak pernah makan malam di rumah, dengan masakan rumah, Ia lebih
sering makan malam di cafe atau restaurant sebelum Ia pulang atau memesan
makanan untuk di kirim ke kantor saat Ia tidak pulang ke rumah. Ernest juga
bukan orang yang penasaran dan banyak bertanya, Ia orang yang lebih diam, tidak
memikirkan banyak hal, jika di tanya pun hanya menjawab sesingkat mungkin.
Namun tiga hal tersebut berubah saat Ernest bersama Adeeva, gadis yang sah
menjadi istrinya itu walau hanya sementara telah membuat Ernest sedikit merubah
pola hidupnya.
Ernest
perlahan mengantuk, terlalu kenyang ternyata membuat orang sangat mudah
mengantuk. Mata Ernest pun mulai menutup memasuki alam tidurnya.
***
Ernest
mengerjap dan sedikit mengendus, lagi-lagi Ia harus terpaksa terbangun karena
aroma masakan, tanpa menunggu suara perutnya Ernest sudah berjalan secepat
mungkin menuju dapur. Dilihatnya Adeeva sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam
panci kecil.
Aku tak pernah membayangkan bahwa
aku bisa terbangun hanya karena aroma masakannya.
Ernest perlahan mendekat. Lalu duduk di salah satu kursi yang kemarin Ia duduki
untuk makan. Meja panjang yang ada di dapur Ernest ternya berubah fungsi
menjadi meja makannya sekarang.
Adeeva
berbalik dan telah mendapati Ernest yang duduk dan menatapnya, “Kau bangun
lebih pagi?” Tanya Adeeva
“Aroma
masakanmu, membuatku terbangun” jawab Ernest dengan tatapan sedingin mungkin
“Oh
Maafkan aku, aku tidak tahu jika aromanya masuk hingga kekamarmu” Adeeva
menunduk meminta maaf
“Tidak
apa-apa” jawab Ernest singkat yang membuat Adeeva sedikit memincingkan mata dan
kembali fokus dengan masakannya.
Selama
lima belas menit Adeeva memasak, selama itu pula Ernest menatapnya. Adeeva
tidak tahu jika Ernest memiliki kebiasaan seperti itu, menatap orang, hal itu
membuat Adeeva tidak nyaman, sangat.
Adeeva
meletakan semua masakannya di atas meja. Mungkin terlalu banyak untuk sebuah
sarapan.
“Masakan
apa lagi ini?” Tanya Ernest memandangi satu persatu makanan dihadapannya
“Oh
Ini namanya sapo tahu seafood. Ini namanya udang goreng tepung, yang ini nama
tempe goreng, ini namanya sambal, dan yang di dalam toples besar ini namanya
KERUPUK” Adeeva menjelaskand dengan sedikit kesal
“Kau
memasak untuk dua orang sebanyak ini?” tanya Ernest menoleh pada Adeeva yang
sudah duduk disampingnya.
“siapa
bilang aku memasak untuk dua orang?” Adeeva menatap Ernest, sesaat Ia terdiam
lalu mulai sibuk menyendok makanannya. “Aku memasak untuk diriku dan kau, lalu
aku akan menyiapkan untuk Jo dan tentu saja kekasihmu jika kau ingin memberikan
untuknya, jika tidak kau bisa tinggalkan ini semua disini dan pembantumu pasti
akan memakannya”
Ucapan
Adeeva sedikit menyentak hati Ernest. Nama Jo dan kata kekasihmu, membuat Ernest
kembali tersadar jika mereka memiliki kehidupan masing-masing. Bayangan Ernest
tentang Adeeva yang menjadi istrinya seketika memudar, karena dua kata itu.
Ernest
tak menanggapi dan langsung melahap makanan yang sudah disendokan oleh Adeeva
ke atas piring miliknya tanpa Ernest ketahui kapan gadis itu melakukannya.
Mereka
berdua makan dalam diam. Sesekali Ernest melirik kepada istri sementaranya itu,
lalu jika Adeeva menyadarinya Ernest kembali fokus dengan makanan. Selama
kurang dari lima belas menit mereka makan. Ernest yang selesai duluan pun
beranjak dari kursi.
“Mulai
besok aku akan meninggalkan uang belanja untukmu.” Ucap Ernest yang membuat
Adeeva menatapnya
“Tidak
perlu. Aku tidak ...”
“Kau
harus menerimanya” Ernest menyela dan tanpa mendengar jawaban Adeeva laki-laki
itu sudah kembali ke kamar
Adeeva
menyipitkan mata lalu mendesah kesal, “Dasar laki-laki dingin dan otoriter”
***
Ernest
sudah rapih dengan setelan jas, dasi dan juga tas kerjanya. Ia menuruni tangga
dan melihat ke arah dapur. Terletak dua gundukan tempat makan. Ernest mendekat
lalu membaca tulisan di atas tempat makan itu.
Untuk Ernest
Satu
tempat makan berwarna biru tua, lalu disebelahnya terdapat tulisan untuk Jo.
Ernest
mengernyit membaca nama itu, dengan cepat Ia menyambar tempat makan yang
bertuliskan namanya. Lalu kembali melangkah pergi.
Ernest
duduk di belakang, dia memang memiliki seorang supir khusus untuk mengantar dan
menjemputnya. Ernest tidak suka menyetir sendiri, walau Ia bisa, Ia lebih suka
menggunakan supir karena itu mempermudah dirinya untuk lebih fokus terhadap
pekerjaannya.
Perlahan
Ernest melihat tempat makan yang dibawakan Adeeva tadi, ternya disisi tempat
makan itu terdapat sebuah kertas yang digulung. Ernest dengan penasaran
mengambil kertas itu dan membacanya.
Hai..
Aku tidak tahu akan kau berikan
pada siapa bekal ini. Jika kau memberikan pada kekasihmu, ku harap kau
menjelaskannya dengan pelan-pelan agar dia tidak cemburu. Namun, jika kau memutuskan
untuk memberikannya pada orang lain juga tidak apa-apa, itu bukan urusanku.
Hehe
Selamat bekerja dan semoga harimu
menyenangkan ^^
Ernest
membaca surat itu lalu tersenyum, Ia melipat kembali surat itu dan memasukannya
ke dalam tas miliknya. Ia tak pernah merasa sesemangat ini saat pergi bekerja.
***
Adeeva
menuruni tangga menggunakan kemeja putih panjang dan hotpants jeans biru
dongkernya. Ia tersenyum saat mendapati kotak bekalnya yang satu sudah di ambil
oleh Ernest, lalu dengan cepat Adeeva menyambar kotak satunya dan berjalan
pergi.
Adeeva
menunggu taxi di depan rumah Ernest. Ia harus berdiri selama sepuluh menit
sampai akhirnya sebuah mobil sedan berwarna biru – taxi – itu muncul dan
berhenti dihadapannya.
Ia
menyebutkan alamat kantornya dan sang supir langsung mengangguk mengerti.
Walau
sebenarnya seorang editor tidak harus pergi ke kantor, namun Adeeva lebih suka
pergi kesana dan menemui Jo. Ya, mereka berdua satu kantor, Adeeva memang
bertemu Jo di kantornya dan menjalin hubungan dengan laki-laki itu. bukan
karena posisi Jo sebagi pemilik dari penerbitan tempatnya bekerja Adeeva
menyukai Jo, namun karena Jo adalah satu-satunya laki-laki yang Adeeva pikir
sangat mengerti dirinya.
Dan
disinilah Adeeva, di depan kator Jo dengan membawa kotak makannya. Perlahan
Adeeva mengetuk pintu sampai Jo mengijinkannya untuk masuk.
“Kau
rupanya” Jo melirik Adeeva dan kembali menatap layar ponselnya
“Aku
bawahan makanan untukmu” Adeeva mengangkat kotak makan berwarna merah tua itu
dan meletakkannya di atas meja kerja Jo
“Terimakasih
sayang. Coba kita lihat apa yang kau bawa” Jo menggesek laptopnya lalu
mengambil kotak makan tiga susun itu. “hmm nasi, sapo tahu dan udang goreng
tepung” Jo menatap Adeeva dan tersenyum, “kau juga makan makanan ini semua tadi
pagi?” Adeeva hanya mengangguk dan Jo kembali melanjutkan ucapannya, “kau hanya
boleh minum jus kalau begitu nanti siang, kau sarapan dengan menu seperti ini
yang sangat banyak memiliki kalori, kau bisa saja gemuk sayang”
Adeeva
kehilangan senyumnya, Ia menatap Jo sesaat lalu kembali tersenyum semanis
mungkin yang bisa Ia lakukan, “Aku tahu.” Adeeva beranjak dari kursinya, “aku
harus menyelesaikan pekerjaanku, sampai jumpa” Adeeva berjalan cepat menuju
pintu ruangan Jo
Adeeva
mendesah, lalu Ia sejenak menarik nafas dan menghembuskannya, Adeeva melakukan
hal itu sampai tiga kali. “Jo hanya ingin aku sehat, ya, dia pria yang baik”
Adeeva bergumam pada dirinya sendiri
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:
Posting Komentar