Senin, 31 Oktober 2016

[CERBUNG] Fate - Part 1

Part 1

Angin dingin menusuk hingga ke dalam tulang Adeeva. Ia hanya memejamkan matanya, menahan seluruh rasa dingin yang sebenarnya sudah membuat seluruh tubuhnya mati rasa. Ia tetap berdiri di balkon villanya yang terletak di daerah cianjur. Jika dia memiliki keberanian lebih dan jika bunuh diri itu di halal kan, maka mungkin dirinya sudah terjun dari atas balkon dan tergeletak tidak bernyawa di bawah sana. Namun Adeeva masih memilik akal sehat dan masih percaya akan Tuhan, maka disinilah dia sekarang berdiri dengan pasrah pada apapun yang terjadi dalam hidupnya.
Adeeva Atmadja, seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, seorang penulis novel dan editor di salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Ayahnya seorang pemilik hotel di daerah puncak dan beberapa daerah lainnya, ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu, dan Ia hanya memiliki satu kakak laki-laki bernama Dave yang mewarisi seluruh ilmu bisnis hotel Ayahnya.

“Deev...” Dave melangkah mendekati Adeeva yang masih berdiri di balkon. Perlahan Dave menyentuh bahu adik satu-satunya itu. “Ayah dan Paman sudah menunggu di bawah”
Adeeva menghembuskan nafas, seolah Ia melepaskan seluruh bebannya saat ini. Ia pun berbalik dan menatap Dave serius. “Aku masih tidak mengerti dengan semua ini, ini terlalu mendadak Dave”
Dave membelai rambut Adeeva, “Aku tahu, maaf karena aku tak bisa berbuat banyak untukmu” Dave melangkah maju, mendekap adiknya dalam pelukan terhangat yang dapat Ia berikan. “Tapi aku janji bahwa Ernest tidak akan pernah bisa menyakitimu, aku janji”
Disinilah Adeeva, disebuah pernikahan sederhana untuk dirinya. Adeeva baru mengenal Ernest satu minggu yang lalu di salah satu rumah sakit di Bogor, namun Ia harus menikahi laki-laki asing itu atas nama perjodohan dan atas nama kemanusiaan.
Ayah Ernest memiliki penyakit jantung yang mudah sekali kambuh. Jika Adeeva tidak memiliki hati nurani, dia bisa langsung pergi dan lari untuk menolak perjodohan ini, tapi Adeeva masih memiliki hati, tidak mungkin dirinya membebaskan diri sementara seorang laki-laki setengah baya sedang berjuang dengan kematiannya.
“Maaf” ucap Ernest setelah acara pernikahan mereka.
Adeeva tak bergeming, dia masih sibuk menatap kolam renang dihadapannya. Bertemu dengan Ernest adalah mimpi terburuknya. Ia hanya memikirkan Jonathan, Jonathan kekasihnya disana.
“Mungkin kata maaf saja tidak cukup, dan aku juga yakin bahwa kata terimakasih juga tidak cukup. Tapi aku bisa menjanjikan bahwa aku akan menjamin seluruh hidupmu. Seluruhnya, sepenuhnya” Ernest berdiri tepat disisi Adeeva.
Adeeva menoleh, menatap laki-laki yang sudah sah jadi suaminya ini.
“Ini keputusanku. Aku tak perlu apapun darimu.” Adeeva menarik nafas sejenak, “Aku tegaskan sekali lagi, dalam hubungan ini tak ada yang boleh ikut campur urusan masing-masing. Aku harap kita tetap menjaga privasi kita” Setelah mengatakan itu Adeeva melangkah pergi meninggalkan Ernest disana, sendiri.
Ernest menatap tubuh Adeeva yang melangkah pergi, mendekati Ayahnya, tersenyum dan membicarakan sesuatu yang membuat Ayahnya tersenyum bersama dengan Ayah mertuanya sekarang.
“Aku janji kau akan bahagia, Deev”
***
“Ahh lelahnya” keluh Adeeva setelah Ia sudah sampai di rumah barunya, tentu saja rumah Ernest. “Kamarku yang mana? Aku tidak perlu memindahkan barang dari apartemenku kesini kan? Aku masih bisa tinggal disana”
“Tidak! Kau harus tinggal disini” ucap Ernest tegas, “aku tidak ingin mengambil risiko jika suatu saat Ayah datang dan tak menemukanmu”
Adeeva memijat pelipisnya, sakit kepalanya mulai menyerang lagi. “oke oke, kau atur saja.” Adeeva duduk di salah satu sof di ruang tamu
Ernest menatap Adeeva sesaat lalu berjalan melewatinya, namun tiba-tiba Ernest berhenti. “Di atas, pintu berwarna merah, itu kamarmu”
“Oke Thank You!” Adeeva segera beranjak dan berjalan menuju tangga. Di tengah-tengah anak tangga Adeeva berbalik, “Aku akan sering mendengarkan musik tanpa earphone, aku juga akan sering keluar rumah, aku tidak suka pesta, aku harap kau bisa mengerti” Adeeva tersenyum lalu melambai pada Ernest
Ernest menatap takjub, wanita itu dapat berubah-ubah kapan saja. Kadang dia ramah, kadang dia ketus, kadang dia dingin bahkan kadang dia bisa jadi pendiam. Dalam waktu satu minggu saja Ernest sudah menemukan semua sifat Adeeva.
“Memikirkannya membuat kepalaku pusing” gumam Ernest pada dirinya sendiri
Saat Ernest melangkah di anak tangga pertama, ponselnya berdering yang membuat Ernest harus mengernyit lagi karena kesal.
Ariana
“Haloo” sapa Ernest
“Sayang, Kamu kemana saja? Aku menunggumu menelpon sejak pagi. Aku mengirimimu pesan tapi tak ada yang kamu baca. Besok aku akan kesana, kita jadi pergi makan siang, kan?” Ucapan panjang Ariana membuat kerutan pada kening Ernest lebih banyak
“maaf, oke. Besok kau boleh kesini” Dan tanpa ucapan selamat malam, Ernest sudah mematikan ponselnya.
***
Ernest tidak biasanya terbangun pukul enam, namun kali ini dia harus bangun. Ia mencium sesuatu yang harum yang membuat perutnya meronta untuk mengikuti dari mana asal bau makanan itu. Ernest turun ke lantai dasar dan menuju dapur.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Ernest setelah melihat Adeeva sedang berdiri disana dan menuangkan sebuah sup kedalam mangkuk besar. Adeeva menggunakan apron berwarna pink polos, rambutnya di ikat satu, walau berantakan namun membuat wajah Adeeva terlihat seluruhnya.
“Hai.. aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi kemarin kita sudah menikah dan disinilah aku” Adeeva melepaskan apronnya, “maaf jika membangunkanmu, tapi aku biasa sarapan jam enam, jika kau ingin sarapan nanti aku bisa menyimpan untukmu dan akan aku hangatkan nanti jika kau ingin makan”
“Tidak, tidak perlu. Aku, aku bisa makan sekarang” Jawab Ernest mengikuti Adeeva yang duduk di meja panjang yang disediakan di dapur.
Seumur hidup Ernest, dia tidak pernah mengenal namanya sarapan, ya terkecuali dulu saat Ibunya masih hidup. Setelah Ibunya meninggal, seluruh hidup Ernest berubah.
“Kau tidak perlu memasak untukku lain kali” ucap Ernest seraya menyuapkan seseondok nasi ke dalam mulutnya.
“Aku tidak memasak untukmu, aku memasak untukku” Adeeva menyesap kopinya terlebih dahulu, “Jika kau takut aku menggunakan bahan makanmu, tenang saja, aku membeli semua ini dengan uangku sendiri, aku hanya meminjam perabotanmu”
Ernest ingin menyela, bukan itu yang ia maksud sama sekali bukan itu. namun dia mengurungkan niatnya untuk menjelaskan.
“Aku akan pergi dan kembali sekitar pukul sepuluh nanti, kau ada rencana?” Adeeva menatap Ernest
“bukankah kita sepakat untuk tidak ikut campur urusan masing-masing?”
“ohh benar. Sorry...” ucap Adeeva acuh
Mereka makan dalam diam, tak ada yang berani membuka percakapan. Semuanya terlalu mendadak bagi keduanya, mereka tidak mengenal satu sama lain.
“Terimakasih” ucap Ernest setelah selesai makan dan beranjak dari kursinya lalu kembali menuju kamar
Adeeva menggeleng, “Dia terlalu kaya dan dingin, seharusnya dia menawarkan untuk mencuci piring jika dia benar-benar berterimakasih”
***
“Kau gila, kau benar-benar gila” Jonathan berteriak di dalam mobil. Ia baru saja mendengar cerita dari kekasihnya bahwa, kekasihnya telah menikah dengan laki-laki lain dan sekarang mereka menuju rumah pengantin baru itu
“jangan marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi kami sepakat bahwa jika kesehatan ayahnya sudah membaik, kami akan bercerai”
“Kau kira menikah dan bercerai semudah itu Deev?” Jonathan menoleh dan menatap Adeeva sejenak lalu kembali berkonsentrasi dengan mobilnya
“huh” Adeeva mendesah, apapun yang akan dia jelaskan memang semuanya salahnya, jadi lebih baik Adeeva diam, toh Jo juga tidak akan meninggalkannya hanya karena ini.
Beberapa menit, Adeeva dan Jonathan sudah tiba di rumah Ernest. Dengan sedikit tergesa-gesa, Jonathan berjalan memasuki rumah itu.
Saat Jonathan menekan bel, saat itu pula munucl seorang laki-laki tinggi, memiliki badan yang bidang, tidak dipungkiri dia memiliki wajah yang lumayan. Namun pandangan Jo beralih pada wanita disampingnya yang sedang mengapit lengan laki-laki itu mesra.
“Siapa kau?” tanya Ernest melihat tatapan Jo yang menajam padanya
“Ernest, kita masuk dulu. Aku ingin menjelaskan sesuatu” Adeeva memandang Ernest memohon.
Mereka berempat pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.
“Maaf sebelumnya Ernest. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggu acaramu, namun sepertinya ini harus dijelaskan pada mereka bukan?” Adeeva menatap Jonathan dan Ariana bergantian.
Jonathan yang sudah mengetahui itu tak bingung sama sekali, namun Ariana yang sepertinya tidak mengerti apapun yang diucapkan oleh Adeeva memandang Ernest meminta penjelasan.
Ernest melihat Ariana, “Begini, Ariana. Dia adalah Adeeva”
“Adeeva? Aku tidak tahu kalau kamu memiliki teman bernama Adeeva. Dan jelaskan padaku apa yang dimaksud wanita itu!” Ariana membuat penekanan tega pada kata wanita itu yang membuat Jonathan memandang tidak suka pada Ariana, namun sebelum Jonathan bertindak lebih jauh, Adeeva sudah memegang tangan Jonathan.
“Begini, dia itu adalah istriku” ucap Ernest yang membuat mata Ariana terbelalak
“Apa?! Kau gila! Tidak, tidak. Cara becandamu kali itu tidak lucu sayang. Sungguh!” Ariana menggeleng tidak percaya
“Biar aku jelaskan” Ernest lalu menjelaskan semuanya, mengenaik ayahnya, mengenai perjodohan, pernikahan dan sampai perjanjian antara dirinya dan Adeeva
Ariana mendesah kesal, “Jadi aku berkencan dengan suami orang saat ini? Oh Tuhan. Sayang, mengapa kau tidak katakan pada Ayahmu jika kau memiliki kekasih, kau memiliki aku sayang”
“Tidak bisa. Itu membahayakannya” Jawab Ernest lirih
Jonathan menatap kedua sejoli yang sedang bertengkar lalu dengan kesal Ia berdiri, “aku kesini tidak untuk mendengar pertengkaran kalian, aku hanya ingin menegaskan jika Adeeva adalah kekasihku, dan kau!” Jonathan menunjuk pada Ernest, “Kau hanya suami sementara Adeeva, hanya pura-pura, kau tidak ku izinkan untuk menyentu Adeeva dalam keadaan apapun”
“hei! Kau pikir kekasihku akan sudi menyentuh wanita murahan seperti itu!” Ariana bertolak pinggang menatap Jonathan kesal
“Jaga ucapanmu!!!!” Jonathan hampir melangkah menghampiri Ariana jika tangannya tidak di cegah oleh Adeeva.
Adeeva menatap tidak senang pada Ariana, “Kita sama-sama memiliki pasangan, jadi aku harap kita bisa saling menghormati di rumah ini” Adeeva menatap Ernest dan Ariana bergantian lalu menarik Jonathan agar keluar dari rumah itu
***
Adeeva meletakan semua masakan yang Ia buat di atas meja. Dia bahkan tidak sempat makan malam karena harus menenangkan Jonathan seharian penuh. Alhasil dia hanya bisa membuat sup rumput laut untuk makan malamnya.
“Kau hanya makan itu?” sebuah suara mengejutkan Adeeva
Adeeva menatap Ernest dihadapannya, “Kau bisa lihat sendiri” lalu dengan satu suapan Adeeva memasukan sup itu ke dalam mulutnya.
Ernest memperhatikan Adeeva yang begitu lahap, lalu tiba-tiba Ia merasa sangat lapar dan peurnya pun menghasilkan suara yang dapat di dengan oleh Adeeva dengan sangat jelas.
“Kau belum makan? Supnya ada banyak. Aku bisa memasakan telur dadar atau mata sapi jika kau ingin makan dengan nasi.” Tawar Adeeva yang segera turun dari kursinya dan menuju lemari es dan mengambil dua butir telur.
“Terimakasih” ucap Ernest seraya duduk di salah satu kursi
“Kau ingin ku masakah apa? Telur mata sapi saja? Telur dadar saja? Nasi goreng biasa? Nasi goreng selimut? Atau apa?” Adeeva memandang Ernest
“Nasi goreng selimut? Apa itu?” tanya Ernest bingung
“Oke.. aku akan memasakan itu. tunggu disana”
Setelah mengucapkan kata tunnggu, Adeeva segera menyibukan dirinya dengan semua bahan-bahan yang diperlukan. Selama kurang lebih sepuluh menit, Adeeva sudah ada di menaruh sepiring nasi goreng selimut di atas meja Ernest.
“Aku tidak tahu seberapa banyak porsi nasi yang biasanya kau makan di malam hari, tapi ini kurasa cukup untuk makan malam, bagaimana?” tanya Alexa seraya kembali duduk di kursinya, di samping Ernest
“Jadi seperti ini nasih goreng selimut” Tanpa menjawab pertanyaan Adeeva, Ernest segera memakan semua nasi dan telur yang ada di piringnya. Ini pertama kalinya Ernest memakan-makanan rumahan semenjak Ibunya meninggal. Dan seperti masakan rumah lainnya, Ernest mengakui nasi goreng selimut itu sangat lezat, namun laki-laki itu tidak dapat mengucapkannya.
Adeeva tak tertarik dengan komentar Ernest, jadi dia lebih memilih menikmati makanannya.
“Kau... tidak makan nasi?” tanya Ernest pada akhirnya
Adeeva kaget dan menoleh, laki-laki itu sudah menghabiskan seluruh minumannya. Adeeva menatap Ernest, “Hah? Oh.. tidak, aku dilarang makan nasi di malam hari”
Ernest mengernyit, “dilarang? Oleh dokter?” ini bukan ernest, dia bukan tipe orang yang banyak bertanya seperti ini.
“Oh bukan bukan. Jo yang melarangku” jawab Adeeva seraya melanjutkan makannya.
“Kekasihmu melarangmu makan nasi? Apa hak dia? Maksudku, apa alasannya?” Ernest meruntuk dalam dirinya, kenapa dia harus banyak bertanya dengan istri sementaranya ini.
“Jo tidak suka wanita yang berlebihan berat badan. Jadi untuk menjaga berat tubuhku, aku harus menjaga pola makan, tidur dan olahragaku”
Ernest mengernyit, kasihan ucap ernest dalam hati.
Ernest tidak tahu mengapa masih ada laki-laki yang berpikiran sempit seperti itu. Tapi, untuk apa Ernest memikirkannya? Itu bahkan bukan urusannya.
Ernest beranjak dari kursi dan berjalan pergi.
Adeeva menatap kepergian Ernest dengan pandangan kesal. “Lagi-lagi pergi seolah tidak meninggalkan beban” Adeeva berbalik memandang piring kotor, perabotan kotor. “laki-laki tidak tahu terimakasih” keluhnya
***
Ernest membaringkan tubuhnya di ranjang. Menatap atam kamarnya yang berwarna putih, sejenak Ia memikirkan tentang hidupnya yang mulai berubah. Sarapan, makan malam, terlalu banyak bertanya, semua diakukan Ernest seharian ini sangat berbeda dengan dirinya sebelumnya.
Sebelum memutuskan untuk mengabulkan permintaan Ayahnya, Ernest bukanlah orang yang suka bangun pagi hanya untuk sarapan, Ia lebih suka minum kopi di kantornya. Ernest juga tidak pernah makan malam di rumah, dengan masakan rumah, Ia lebih sering makan malam di cafe atau restaurant sebelum Ia pulang atau memesan makanan untuk di kirim ke kantor saat Ia tidak pulang ke rumah. Ernest juga bukan orang yang penasaran dan banyak bertanya, Ia orang yang lebih diam, tidak memikirkan banyak hal, jika di tanya pun hanya menjawab sesingkat mungkin. Namun tiga hal tersebut berubah saat Ernest bersama Adeeva, gadis yang sah menjadi istrinya itu walau hanya sementara telah membuat Ernest sedikit merubah pola hidupnya.
Ernest perlahan mengantuk, terlalu kenyang ternyata membuat orang sangat mudah mengantuk. Mata Ernest pun mulai menutup memasuki alam tidurnya.
***
Ernest mengerjap dan sedikit mengendus, lagi-lagi Ia harus terpaksa terbangun karena aroma masakan, tanpa menunggu suara perutnya Ernest sudah berjalan secepat mungkin menuju dapur. Dilihatnya Adeeva sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam panci kecil.
Aku tak pernah membayangkan bahwa aku bisa terbangun hanya karena aroma masakannya. Ernest perlahan mendekat. Lalu duduk di salah satu kursi yang kemarin Ia duduki untuk makan. Meja panjang yang ada di dapur Ernest ternya berubah fungsi menjadi meja makannya sekarang.
Adeeva berbalik dan telah mendapati Ernest yang duduk dan menatapnya, “Kau bangun lebih pagi?” Tanya Adeeva
“Aroma masakanmu, membuatku terbangun” jawab Ernest dengan tatapan sedingin mungkin
“Oh Maafkan aku, aku tidak tahu jika aromanya masuk hingga kekamarmu” Adeeva menunduk meminta maaf
“Tidak apa-apa” jawab Ernest singkat yang membuat Adeeva sedikit memincingkan mata dan kembali fokus dengan masakannya.
Selama lima belas menit Adeeva memasak, selama itu pula Ernest menatapnya. Adeeva tidak tahu jika Ernest memiliki kebiasaan seperti itu, menatap orang, hal itu membuat Adeeva tidak nyaman, sangat.
Adeeva meletakan semua masakannya di atas meja. Mungkin terlalu banyak untuk sebuah sarapan.
“Masakan apa lagi ini?” Tanya Ernest memandangi satu persatu makanan dihadapannya
“Oh Ini namanya sapo tahu seafood. Ini namanya udang goreng tepung, yang ini nama tempe goreng, ini namanya sambal, dan yang di dalam toples besar ini namanya KERUPUK” Adeeva menjelaskand dengan sedikit kesal
“Kau memasak untuk dua orang sebanyak ini?” tanya Ernest menoleh pada Adeeva yang sudah duduk disampingnya.
“siapa bilang aku memasak untuk dua orang?” Adeeva menatap Ernest, sesaat Ia terdiam lalu mulai sibuk menyendok makanannya. “Aku memasak untuk diriku dan kau, lalu aku akan menyiapkan untuk Jo dan tentu saja kekasihmu jika kau ingin memberikan untuknya, jika tidak kau bisa tinggalkan ini semua disini dan pembantumu pasti akan memakannya”
Ucapan Adeeva sedikit menyentak hati Ernest. Nama Jo dan kata kekasihmu, membuat Ernest kembali tersadar jika mereka memiliki kehidupan masing-masing. Bayangan Ernest tentang Adeeva yang menjadi istrinya seketika memudar, karena dua kata itu.
Ernest tak menanggapi dan langsung melahap makanan yang sudah disendokan oleh Adeeva ke atas piring miliknya tanpa Ernest ketahui kapan gadis itu melakukannya.
Mereka berdua makan dalam diam. Sesekali Ernest melirik kepada istri sementaranya itu, lalu jika Adeeva menyadarinya Ernest kembali fokus dengan makanan. Selama kurang dari lima belas menit mereka makan. Ernest yang selesai duluan pun beranjak dari kursi.
“Mulai besok aku akan meninggalkan uang belanja untukmu.” Ucap Ernest yang membuat Adeeva menatapnya
“Tidak perlu. Aku tidak ...”
“Kau harus menerimanya” Ernest menyela dan tanpa mendengar jawaban Adeeva laki-laki itu sudah kembali ke kamar
Adeeva menyipitkan mata lalu mendesah kesal, “Dasar laki-laki dingin dan otoriter”
***
Ernest sudah rapih dengan setelan jas, dasi dan juga tas kerjanya. Ia menuruni tangga dan melihat ke arah dapur. Terletak dua gundukan tempat makan. Ernest mendekat lalu membaca tulisan di atas tempat makan itu.
Untuk Ernest
Satu tempat makan berwarna biru tua, lalu disebelahnya terdapat tulisan untuk Jo.
Ernest mengernyit membaca nama itu, dengan cepat Ia menyambar tempat makan yang bertuliskan namanya. Lalu kembali melangkah pergi.
Ernest duduk di belakang, dia memang memiliki seorang supir khusus untuk mengantar dan menjemputnya. Ernest tidak suka menyetir sendiri, walau Ia bisa, Ia lebih suka menggunakan supir karena itu mempermudah dirinya untuk lebih fokus terhadap pekerjaannya.
Perlahan Ernest melihat tempat makan yang dibawakan Adeeva tadi, ternya disisi tempat makan itu terdapat sebuah kertas yang digulung. Ernest dengan penasaran mengambil kertas itu dan membacanya.
Hai..
Aku tidak tahu akan kau berikan pada siapa bekal ini. Jika kau memberikan pada kekasihmu, ku harap kau menjelaskannya dengan pelan-pelan agar dia tidak cemburu. Namun, jika kau memutuskan untuk memberikannya pada orang lain juga tidak apa-apa, itu bukan urusanku. Hehe
Selamat bekerja dan semoga harimu menyenangkan ^^
Ernest membaca surat itu lalu tersenyum, Ia melipat kembali surat itu dan memasukannya ke dalam tas miliknya. Ia tak pernah merasa sesemangat ini saat pergi bekerja.
***
Adeeva menuruni tangga menggunakan kemeja putih panjang dan hotpants jeans biru dongkernya. Ia tersenyum saat mendapati kotak bekalnya yang satu sudah di ambil oleh Ernest, lalu dengan cepat Adeeva menyambar kotak satunya dan berjalan pergi.
Adeeva menunggu taxi di depan rumah Ernest. Ia harus berdiri selama sepuluh menit sampai akhirnya sebuah mobil sedan berwarna biru – taxi – itu muncul dan berhenti dihadapannya.
Ia menyebutkan alamat kantornya dan sang supir langsung mengangguk mengerti.
Walau sebenarnya seorang editor tidak harus pergi ke kantor, namun Adeeva lebih suka pergi kesana dan menemui Jo. Ya, mereka berdua satu kantor, Adeeva memang bertemu Jo di kantornya dan menjalin hubungan dengan laki-laki itu. bukan karena posisi Jo sebagi pemilik dari penerbitan tempatnya bekerja Adeeva menyukai Jo, namun karena Jo adalah satu-satunya laki-laki yang Adeeva pikir sangat mengerti dirinya.
Dan disinilah Adeeva, di depan kator Jo dengan membawa kotak makannya. Perlahan Adeeva mengetuk pintu sampai Jo mengijinkannya untuk masuk.
“Kau rupanya” Jo melirik Adeeva dan kembali menatap layar ponselnya
“Aku bawahan makanan untukmu” Adeeva mengangkat kotak makan berwarna merah tua itu dan meletakkannya di atas meja kerja Jo
“Terimakasih sayang. Coba kita lihat apa yang kau bawa” Jo menggesek laptopnya lalu mengambil kotak makan tiga susun itu. “hmm nasi, sapo tahu dan udang goreng tepung” Jo menatap Adeeva dan tersenyum, “kau juga makan makanan ini semua tadi pagi?” Adeeva hanya mengangguk dan Jo kembali melanjutkan ucapannya, “kau hanya boleh minum jus kalau begitu nanti siang, kau sarapan dengan menu seperti ini yang sangat banyak memiliki kalori, kau bisa saja gemuk sayang”
Adeeva kehilangan senyumnya, Ia menatap Jo sesaat lalu kembali tersenyum semanis mungkin yang bisa Ia lakukan, “Aku tahu.” Adeeva beranjak dari kursinya, “aku harus menyelesaikan pekerjaanku, sampai jumpa” Adeeva berjalan cepat menuju pintu ruangan Jo
Adeeva mendesah, lalu Ia sejenak menarik nafas dan menghembuskannya, Adeeva melakukan hal itu sampai tiga kali. “Jo hanya ingin aku sehat, ya, dia pria yang baik” Adeeva bergumam pada dirinya sendiri

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar