Seorang wanita tengah
duduk di tepi kolam renang, kakinya dibiarkan terendam dalam air kaporit itu,
sedangkan kepalanya menengadah menatap langit yang gelap. Malam ini tidak ada
satu pun bintang yang terlihat, mungkin karena musim penghujan sedang melanda Indonesia,
maka bintang pun tertutup oleh awan hitam.
Wanita itu mendesah beberapa kali, beberapa hal yang Ia
pikirkan membuat dirinya lemas dan tak bertenaga. Seolah hal buruk akan menimpa
wanita itu.
“Aku hanya memohon pada-Mu. Bisakah kau membuatnya
kembali menatapku?” ucap wanita berusia dua puluh empat tahun itu. Dengan kaki
yang hampir beku karena menahan dinginnya air kolam, wanita itu berdiri dan
berjalan menjauhi kolam renang yang hanya di terangi beberapa lampu di sisi
kolam.
“Aku kira kau akan duduk disana semalaman” seorang
laki-laki yang terlihat lebih muda dari wanita itu bersandar pada sisi pintu
masuk
Wanita itu tersenyum, “Kamu belum tidur? Bukankah katamu
besok pekan ujian tengah semester?”
Laki-laki itu mendekat pada wanita tersebut, tinggi
wanita itu hanya setinggi dada laki-laki itu. “Aku sudah bisa memastikan
nilaiku, Keisha” laki-laki itu mengusap lembut kepala wanita yang bernama
Keisha itu.
Keisha memberengut, “Aku kakakmu Rasha! Jangan mengusap
kepalaku seperti itu!” Keisha berjalan mendahulu adik laki-lakinya yang bernama
Rasha itu.
“Haha sorry sorry sista!!” Rasha ikut berlari dan
merangkul kakaknya
Keisha Varisha Ardani, anak sulung dari salah satu
pebisnis properti paling disegani di Indonesia. Setelah kedua orang tuanya
meninggal satu tahun lalu, seluruh bisnis Ayahnya menjadi tanggung jawab
Keisha. Adiknya, Rasha Vincent Ardani masih duduk di bangku kuliah semester
enam.
Keisha bukan seseorang yang menyukai bisnis, dia lebih
suka dunia entertain. Sebelumnya Keisha aktif menjadi model di berbagai
majalah, bukan karena Ia kaya, melainkan visualnya yang mendekati sempurna.
Walau tinggi badannya hanya sekitar seratus enam puluh, namun wajahnya
benar-benar sangat baik berada disetiap lembar majalah fashion.
Rasha justru bertolak belakang dengan Keisha, laki-laki
itu sama sekali tidak suka di foto. Wajahnya sangat tampan, namun kepriadiannya
sangat buruk. Rasha terkenal dengan kesinisannya, bukan hanya dengan teman
laki-lakinya, namun dengan wanita pun Ia seperti itu. Banyak rekan bisnis
Ayahnya yang membandingkan sifat Rasha dan Keisha yang sangat bertolak belakang
itu.
Hidup Keisha dan Rasha baik-baik saja, walau hanya
tinggal berdua dan beberapa pembantu rumah tangga. Mereka tidak pernah memiliki
masalah. Namun, satu hal yang mereka baru ketahui, satu hal yang membuat Rasha
hampir mencekik seseorang.
***
“Jika kau tidak menurutinya, harta kalian akan disita dan
disumbangkan kepada Yayasan dan Pesantren. Kau harus memikirkannya baik-baik”
seorang laki-laki tengah bawa dengan kacamata tebal dan berjas duduk di kursi,
diseberang meja kerja Keisha.
Keisha memijat pelipisnya pelan, “Paman harusnya
memberitahuku sejak dulu”
“Ayahmu yang memintaku untuk mengatakannya saat ini.
Bulan besok kau sudah seperempat abad” Laki-laki yang dipanggil Paman oleh
Keisha itu membenarkan letak kacamatanya
“Jangan berlebihan Paman. Aku baru dua puluh lima tahun,
aku bahkan belum selesai dengan brandku. Mengapa Paman datang disaat aku sedang
ingin berusaha sendiri? Mengapa Paman harus memberitahuku? Tidak bisakah Paman
pura-pura lupa atau apapun itu?” Keisha menatap Pamannya itu dengan memohon
Laki-laki itu menggeleng, “Sekarang terserah padamu, aku
sudah buatkan janji dengan Faustin. Dia sahabatku dan sahabat Ayahmu. Aku akan
mengirimkan alamatnya nanti, datang atau tidak itu terserah padamu. Kau yang
memutuskan segalanya”
Keisha mendesah, nafasnya terasa lebih berat dari
sebelumnya. Ini bukan hanya masalah dirinya, ini juga menyangkut Rasha,
perusahaan dan nama baik almarhum Ayahnya. Keisha harus mengambil keputusan
yang paling bijaksana yang bisa Ia ambil.
Ponsel Keisha bergetar, sebuah SMS dari Pamannya tadi.
Tertulis jelas tempat dan waktu yang sudah sempat disinggung oleh Pamannya.
Keisha lagi-lagi hanya menghembuskan nafas berat.
Saat Keisha ingin menaruh ponselnya, pintu ruangan Keisha
tiba-tiba saja terbuka. Sosok Rasha dengan tshirt putih dan rip jeans hitam
masuk mendekat pada Keisha.
“Aku lihat Paman Jo tadi. Dia memaksamu lagi?” Rasha
langsung duduk dihadapan Keisha dengan tatapan tajam
Keisha menggeleng, “Paman tidak pernah memaksaku Rasha”
“Jangan turuti surat wasiat gila itu! Mengapa Ayah selalu
saja menyulitkanmu? Biar aku yang bicara pada Paman nanti. Jika dia tidak
membakar surat itu, akan aku cekik dia sam....”
“Rasha!” Keisha sedikit meninggikan suaranya. “Jangan
bertindak bodoh. Mungkin ini permintaan terakhir Ayah yang bisa aku wujudkan”
Rasha menggertakan giginya kesal, “Sampai kapan kau akan
pasrah seperti itu Kei? Tidak bisakah kau bersuara. Aku menyukai ini, aku tidak
suka itu, aku ingin begini, aku tidak ingin begitu. Apakah sesulit itu untuk
mengatakan tidak?”
Keisha menatap Rasha, “Kau tahu? Aku sangat menyayangimu.
Apapun yang terjadi, aku akan tetap sangat menyayangimu” Keisha menggapai
tangan Rasha yang ada di meja.
Rasha terdiam dan mendesah pasrah, “Aku akan ikut saat
kau bertemu dengan laki-laki itu”
Keisha tersenyum dan mengangguk
***
Rasha menggerak-gerakan tubuhnya beberapa kali. Ia
menggunakan tshirt hitam dibalut dengan jas biru dongker dengan celana yang
senada. Pakaian itu memang salah satu pakaian yang Rasha benci. Walau itu
membuatnya terlihat lebih dewasa, namun dia benar-benar membenci itu.
“Kalau kamu gerak-gerak terus jasnya nanti kusut” ucap
Keisha yang sedang fokus menyetir.
“Kenapa aku tidak gunakan jeans dan tshirt saja? Kau tahu
aku sama sekali tidak nyaman dengan pakaian seperti ini. Tubuhku seolah
terkungkung tak berdaya”
Keisha menggeleng, “Apa kau pikir kau ini seorang anak
SMA? Biasakan menggunakan pakaian seperti itu. apa saat wisuda nanti kau hanya
ingin menggunakan tshirt??”
“Tentu. Toh tubuhku akan diselimuti dress hitam itu.
tidak akan ada yang tahu” jawab Rasha dengan semangat
“Pakaian toga, itu bukan dress Rasha haha” Keisha sedikit
tertawa
Rasha memperhatikan tawa kakak wanitanya itu. Setelah
kedua orang tuanya pergi, Rasha berjanji pada dirinya sendiri bahwa Ia akan
menjaga Keisha, Ia akan membuat Keisha bahagia dengan cara apapun walau itu
harus mengorbankan dirinya sendiri.
“Wah tempatnya besar juga. Aku belum pernah ke restaurant
ini” ucap Keisha saat Ia selesai memarkir mobil dan melepas sabuk pengamannya.
“Jika kau berubah pikiran, aku bisa menjadi Lewis
Hamilton sekarang juga”
Keisha menatap Rasha dengan menahan tawa, “Rapihkan jasmu
dan keluar”
Keisha keluar dari mobil lebih dulu lalu disusul oleh
Rasha. Tanpa meminta izin, Rasha merangkul Keisha dan berjalan bersama memasuki
restaurant italia itu.
“Sudah reservasi nona?” tanya salah satu pelayan wanita
Keisha mengangguk, “Atas nama Faustin”
“Oh Tuan Faustin sudah menunggu di atas. Mari saya antar”
pelayan itu berjalan lebih dulu dan Keisha beserta Rasha mengikuti dari
belakang.
Rasha berbisik pada Keisha, “Aku rasa orang itu tidak
terlalu kaya, seharunya dia memesan satu restauran saat menyambutmu”
Keisha memukul pelan dada Rasha “Bodoh!”
Setelah menaiki anak tangga, mereka pun sampai di ruangan
yang sudah dipesan.
“Disana Tuan Faustin sedang menunggu” ucap pelayan itu
seraya menunjuk seorang laki-laki paruh baya dengan jas hitam.
Keisha dan Rasha saling berpandangan saat menyadari ada
satu orang yang mereka kenal.
“Aku bisa mencekiknya sekarang jika kau mau” Rasha
memandang Keisha
“Diam. Ayoo” Keisha mengapit tangan Rasha dan berjalan
menuju meja besar yang tersedia disudut ruangan.
“Selamat malam.. maaf saya terlambat” sapa Keisha seraya
sedikit membungkuk.
Laki-laki bernama Fausti tersebut sedikit kaget, namun
dengan segera berdiri dan memeluk Keisha.
“Oh Ya Tuhan.. kau sudah besar dan sangat cantik rupanya”
ucap Faustin setelah memeluk Keisha dengan tiba-tiba
“Maaf Tuan, Keisha sudah sangat cantik sejak lahir” Rasha
menarik tubuh Keisha sedikit menjauh dari laki-laki itu
“Apa dia tidak terlalu tua untukmu?” bisik Rasha yang
langsung mendapat injakan kaki dari Keisha.
“Duduklah, kalian berdua pasti sudah sangat lapar” ucap
Faustin
Keisha dan Rasha langsung duduk bersebrangan dengan
laki-laki bernama Faustin itu. Keisha tersenyum pada Faustin, namun Rasha
justru menatap orang lain disebelah Faustin.
“Akhir-akhir ini Paman sering berada di Indonesia. Apa
Paman Jo kehilangan kepercayaan di Singapur?” tanya Rasha sambil menatap
laki-laki yang ternyata pamannya sendiri itu
“Rasha!” Keisha menepuk paha Rasha
“Haha, Aku belum bisa kembali sampai urusan kakakmu itu
beres.” Jawab Jo dengan sedikit tertawa hambar. Ia memang sudah tahu akan
selalu ada nada sarkartis dalam setiap pertanyaan Rasha.
Rasha mengangguk-angguk, “Paman sudah mengecek usia
laki-laki ini? Laki-laki ini lebih pantas jadi Ayahku daripada kakak iparku. Apa
pengelihatan Paman juga berkurang sekarang?”
“Apa? Oh Tuhan.. Rasha tunggu...” ucap Faustin
Rasha menatap Faustin dan menungu lanjutan dari laki-laki
itu
“Ayah...” suara laki-laki lain membuat semua orang
menengadah. Laki-laki itu tinggi dan tampan, mungkin usianya sekitar 28-30
tahunan.
“Kau datang juga, ayo duduk” Faustin menarik kursi
disebelahnya
“Maaf, jalanan sangat padat malam ini.” Ucap laki-laki
itu
Keisha dan Rasha saling menatap, “Kau akan menikahi pria
dengan seorang anak yang mungkin lebih tua darimu” bisik Rasha
“Diam bodoh” Keisha kali ini mencubit pinggang Rasha
“Au!” rintih Rasha
“Ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Faustin khawatir
Rasha mengangguk, “Tempat ini sepertinya bernyamuk”
Tatapan Jo pada Rasha menajam dan Rasha membalasnya tidak
kalah tajam. Mungkin jika tatapan itu pedang, mereka berdua sudah saling
melukai satu sama lain.
“Haha apa iya? Kau lucu sekali, kau tumbuh dengan watak
humoris dari ibumu” ucap Faustin membuat Keisha sedikit bingung.
Orang lain akan menyebut Rasha sakartis, sinis, sombong
atau kata negatif lainnya. Namun laki-laki itu berbeda, ini pertama kalinya ada
orang menyebut Rasha lucu selain Ibu dan Ayahnya.
Rasha hanya bisa tersenyum masam mendengar komentar itu.
“Oh iya aku sampai lupa. Kenalkan dia adalah putra
keduaku, Arkan” Faustin memperkenalkan anaknya. Satu pertu berjabat tangan
dengan Arkan begitu juga dengan Keisha.
“Dia yang aku maksud. Bukan Faustin yang ini” ucap Jo
Keisha dan Rasha saling memandang, “Kau senang?” bisik
Rasha
Keisha tersenyum tanpa menjawab bisikan Rasha. Siapapun
itu, entah lebih tua atau lebih muda, kenyataan bahwa kebebasannya akan segera
berakhir membuat Keisha sedikit pusing.
“Ayaaahhhhh!!!!” suara melengking seorang wanita dari
arah tangga membuat semua orang menoleh pada wanita itu. sang wanita berlari
dengan riang ke arah Faustin dan tanpa aba-aba memeluknya dari belakang.
“Aku rindu Ayah” wanita itu mengecup pipi Faustin
“Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak berteriak” ucap
seorang laki-laki yang ternyata sejak tadi berada dibelakang wanita itu.
“Oh Ya Tuhan.. ayo Ayah kenalkan dahulu pada teman-teman
Ayah. Jadi, Kei, Rasha, dia adalah putri bungsuku Grania dan dia adalah putra
sulungku Alan” lagi-lagi mereka langsung menjabat tangan satu sama lain
Keisha hanya diam, kepala semakin pusing karena suara
dari Grania tadi. Ia tidak terbiasa dengan teriakan-teriakan seperti itu. Di
kepalanya hanya hafal teriak fotografer dan staf, itu pun tidak melengking
seperti tadi.
“Jika orang itu tadi benar yang akan kau nikahi, kau akan
menjadi wanita dua puluh lima tahun dengan tiga orang anak dewasa” bisik Rasha
Keisha langsung menatap Rasha tajam, tapi yang ditatap
hanya menyengir kuda seolah tak berbuat apapun.
***
“Aku tidak tahu harus mulai darimana, tapi aku juga sama
kagetnya denganmu” ucap Arkan saat mereka berdua memiliki waktu bersama.
Faustin, Alan dan Jo sedang sibuk berbincang masalah bisnis di balkon
restauran, sedangkan Grania sibuk dengan para koki di dapur dan Rasha turun
kebawah untuk bermain piano. Mereka semua berpencar saat selesai berbicara
tentang surat wasiat dan surat perjanjian.
Keisha tidak menatap Arkan dihadapannya, Ia masih
menunduk, kepalanya sudah sangat sakit untuk mencerna semuanya. Pekerjaan di
kantor harus Ia diamkan dulu hari ini, pembangunan brandnya pun tertunda,
ditambah surat-surat dari Ayahnya yang bisa mengubah hidup Keisha tiga ratus
enam puluh derajat.
“Apa kau memiliki seseorang sekarang? Sepertinya kau
sangat terpuruk” tanya Arkan
Keisha buru-buru menggelang lalu menatap Arkan, “Aku
sepertinya harus pulang. Aku akan pamit pada Paman” Keisha segera berdiri,
namun saat itu juga tubuh Keisha jatuh ke lantai.
“Kei!” jerit Arkan kaget, dengan cepat Arkan berlari
menghampiri Keisha yang tergeletak di lantai.
“Ada apa?” suara Alan. Ia, Ayahnya dan Jo ikut berlari
saat mendengar teriakan Arkan.
“Aku tidak tahu, tadi dia ingin pergi menemui Ayah untuk
pamit, lalu tiba-tiba dia pingsan” jawab Arkan seraya menopang tubuh Keisha
“Bawa dia ke rumah sakit!” ucap Jo.
Arkan dengan cepat membopoh tubuh Keisha. Dengan sedikit
berlari, Arkan menuruni tangga, namun ditengah anak tangga Ia berpapasan dengan
Rasha.
“Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi dengan Keisha?”
tanya Rasha dengan tatapan marah namun segera mendekat dan menyentuh kepala
Keisha
“Dia tiba-tiba pingsan. Kami akan membawanya ke rumah
sakit” ucap Jo
“Tidak!” Rasha dengan cepat meraih tubuh Keisha dari
tangan Arkan. “Aku akan membawanya pulang. Dia akan baik-baik saja!” Rasha
berbalik dan berjalan menuju mobil
Arkan hanya diam melihat Rasha yang tidak terlihat
khawatir sama sekali. Kakaknya pingsan, namun Rasha justru melarangnya membawa
Keisha ke rumah sakit.
“Sepertinya trauma mereka berdua masih belum sembuh” ucap
Jo membuat Arkan menoleh dan menatap penuh tanya, “Sejak kepergian kedua orang
tua mereka. Keisha dan Rasha sama sekali tidak ingin menginjakan kaki di rumah
sakit, bagi mereka berdua rumah sakit hanya akan menambah rasa sakitmu dan
membawamu pada kematian”
“Tapi Paman, apa dia akan baik-baik saja?” tanya Alan
Jo mengangguk.
“Jenguk dia besok pagi” perintah Faustin pada Arkan
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:
Posting Komentar