ORANG KETIGA
Aku menatapnya
lagi, melihat apa yang dimiliki dirinya sehingga aku benar-benar menjatuhkan
hatiku padanya. Tidak, tak ada yang spesial dari dirinya, tidak ada, semuanya
biasa saja. Dia hanya seorang Manajer Operasional disalah satu perusahaan di
Jakarta, tingginya hanya sekitar 175 cm, kulitnya sawo matang, matanya sedikit
sipit dan hidungnya bahkan tidak dapat dikatakan mancung, tapi mengapa aku
begitu saja jatuh cinta pada orang seperti dia?.
“Kau
akan jatuh cinta padaku jika kau terus melihatku seperti itu, Airin” Beni
mengibas-ibaskan tangannya tepat di depan mukaku.
“terlalu
percaya diri” aku mengalihkan pandanganku darinya.
Beni
tak pernah tahu isi hatiku, bahkan aku sendiri baru menyadarinya beberapa hari
yang lalu. Aku sadar saat aku mulai merindukannya, mulai memperhatikannya dan
saat aku mulai merasakan cemburu saat Ia sedang bersama Sherly, kekasihnya.
“Hidup
itu harus memiliki rasa percaya diri Ai”Beni mengusap-usap rambutku. Tidak, Ia
mulai membuat jantungku berdebar lagi.
“Ben,
berhenti mengacak-acak rambutku!” Aku berdiri dan meninggalkannya duduk sendiri
di kantin.
Aku
berjalan secepat yang aku bisa, aku tak ingin Beni mendengar detak jantungku,
tidak, tidak sama sekali.
“Ai..
Tunggu” Beni merangkulku dari belakang. “Jangan terlalu cepat marah, kapan kau
akan memiliki kekasih jika sikapmu kekanakan seperti ini? Huh?”
Aku
berhenti dan menoleh untuk dapat menatapnya
“Bahkan
dengan sikapku yang kekanakan seperti ini sudah banyak laki-laki yang mengantri
ingin menjadi kekasihku, Ben.” Aku bertolak pinggang
“Oh
My God! Really??... Yang mana? Aku tidak melihat satu pun yang mengantri” Beni
menolah ke kanan dan kiri.
“Kau
akan merindukanku jika nanti aku memiliki kekasih, aku jamin itu! huh!” saat
ini aku benar-benar berlari meninggalkan Beni.
Aku
menaiki tangga darurat agar tidak bertemu Beni di lift, entah mengapa aku kesal
mendengar ucapannya tadi dan aku sama sekali sedang tidak ingin melihatnya.
Aku
bersahabat dengan Beni sudah hampir lima tahun sejak aku bekerja di kantor yang
sama dengannya. Walau berbeda divisi kami terlalu sering bersama di beberapa
rapat dan tugas, lalu persahabatan ini pun terjalin. Awal aku mengenalnya, Ia
tidak memiliki kekasih, Sherly baru lima bulan hadir dalam kehidupan Beni sebagai
kekasinya. Awalnya aku sangat mendukung hubungan mereka, namun beberapa hari
ini aku merasa sangat sulit untuk melihat mereka berdua, terlalu sulit.
“Kau
naik tangga lagi?”
“Astaghfirullah....”
aku terkejut saat membuka pintu tangga darurat, “Hanya ingin berolahraga saja”
jawabku pada Alex yang entah darimana ada di depan pintu.
“Kasihanilah
kakimu Airin. Kau menggunakan high heels, jika setiap hari kau naik tangga,
kakimu akan penuh dengan luka”
Mendengar
ucapannya aku menunduk menatap kakiku dan tepat pada saat itu aku baru
merasakan perih di tumit dan jari-jari kakiku.
“Au...”
rintihku saat aku menggerakan kakiku
“see?
Sakit kan? Kemari!” Alex menuntunku menuju pantry lalu menyuruhku duduk di
salah satu kursi disana.
Alex
berlari kesalah satu lemari dan mengambil kotak P3K.
“Lex,
aku bisa melakukannya sendiri” ucapku
“Aku
tahu” Ia hanya menjawab seadanya, lalu membuka sepatuku dan aku melihat tumit
dan ujung jari kakiku berdarah serta sedikit lebam.
“Aku
kira hanya lecet sedikit” gumamku
Alex
tak mendengarkanku, Ia sibuk dengan peralatannya untuk mengobati luka di
kakiku. Alex adalah rekan kerjaku yang paling dekat denganku selain Beni.
“Ada
apa denganmu sebenarnya? Lihat sekarang kakimu terluka seperti ini. Untuk
sementara berhenti menggunakan high heels, aku akan mencarikan sandal jepit
untukmu” Alex merapihkan kotak P3K lalu menyimpannya kembali.
“Tidak
perlu, aku masih bisa menggunakan sepatu ini. Tidak terlalu sakit”
Alex
tak mendengarkanku, Ia justru berjalan keluar pantry.
***
Aku
berbaring diranjangku, menatap langit-langit kamarku yang penuh dengan hiasan
bintang. Hiasan-hiasan itu dibuat oleh Beni. Jika semua hal yang ada dalam
hidupku selalu berhubungan dengan Beni, bagaimana aku bisa melupakannya?
Aku
memikirkan hal-hal tentang perasaanku kepada Beni hinggal pagi hari, untung
saja hari ini adalah hari sabtu dan aku libur. Mataku lelah tapi tak dapat
tidur, aku merasa pusing dan kedinginan, sepertinya aku demam.
Aku
mengambil ponselku di meja kecil di samping tempat tidurku, aku mencari nama
seseorang disana. Beni? Tidak, jangan
hubungi dia, ini akan menambahku susah melupakan perasaan ini. Akhirnya aku
putuskan menelpon Alex. Aku harus menelponnya hingga tiga kali sampai Ia
mengangkat teleponnya.
“Hallo...”
“Lex,
bisa kau ke rumahku? Sepertinya aku sakit.” Ucapku langsung secepat yang aku
bisa setelah terdengar suara di sebrang telepon.
“Kau
sakit? Tunggu aku disana!” Telepon terputus begitu saja
Mungkin
aku benar-benar sakit, bahkan aku mendengar suara Alex seperti suara Beni. Apa
yang harus aku lakukan? Aku bisa gila jika seperti ini terus.
Sekitar
lima belas menit aku menunggu, tiba-tiba aku mendengar langkah kaki yang
terburu-buru.
“Ai...”
oh tidak! Beni “Mengapa kau bisa
sakit seperti ini?” Beni mendekatiku yang masih terbaring lalu memegang
keningku memastikan suhu tubuhku, “Kau benar-benar sakit”
“Kemana
Alex? Aku meneleponnya. Darimana kau tahu aku sakit?” tanyaku
“Mengapa
kau hanya menelepon Alex? Untung saja aku yang menjawab teleponmu tadi, jika
tidak mungkin aku tidak akan tahu kau sakit” Beni membuka laci lemari kecil di
samping tempat tidurku.
Aku
hanya diam, ini lebih baik karena semakin sering aku berbicara dengannya
semakin kencang detak jantungku dan demamku bisa saja semakin tinggi.
“Aku
akan mengambil kompres dan obat-obatan di dapur. Jangan beranjak dari sana!”
Beni keluar begitu saja dari kamarku.
Saat
Beni pergi, aku muali mengatur nafasku, sejak tadi aku seperti kehilangan
oksigen. “Sial! Mengapa jantungku harus berdetak seperti ini?”
Aku
buru-buru menutup tubuhku dengan selimut saat Beni kembali memasuki kamarku.
“Duduk!
Minumlah obat ini terlebih dahulu”
Aku
menurutinya, minum obat lalu berbaring lagi dan menarik selimutku lagi.
Kami
hanya diam tak ada yang membuka percakapan. Beni sibuk merapihkan letak kain
kompres di kepalaku dan merapihkan selimutku.
“Ada
apa dengan kakimu?” tanyanya saat ia melihat kakiku menerima bebera plester dan
lebam.
“Hanya
lecet sedikit. Kau tahu wanita suka memakai high heels walau menyakiti kaki
mereka bukan?” jawabku sesantai mungkin.
“Ini
pertama kalinya kakimu terluka karena hal yang kau lakukan selama lima tahun
ini. Itu tidak masuk akal Ai” Beni menatapku tajam.
Tidak,
tidak, jantungku oh Tuhan.
“Ben,
sebaiknya kau pulang. Aku sudah lebih baik.”
“Kau
mengusirku? Ai, sebenarnya ada apa denganmu? Mengapa kau aneh beberapa hari
ini? Apa aku berbuat salah?” Beni duduk di pinggir tempat tidurku.
Aku
memejamkan mataku sejenak, mengatur nafasku dan meyakinkan diriku.
“Tidak
bukan kau yang salah Ben, aku yang salah. Jadi aku mohon untuk sementara ini
jangan muncul dihadapanku. Ini, ini akan lebih sulit jika kau terus berada
disekitarku.” Aku duduk dan menatapny. Oh
Tuhan, detak jangtungku!
“Apa
maksudmu? Kesalahan apa yang kau lakukan Ai? Katakan padaku, aku akan selalu
memaafkan apapun salahmu bukan? Kita sudah dewasa Ai” Beni memegang kedua
lenganku.
“Aku
menyukaimu Ben! Aku mulai jatuh cinta padamu! Itu yang membuatku merasa tidak
nyaman berada didekatmu! Jadi aku mohon pergilah Ben. Aku ingin sendiri saja
disini!” aku menekuk lututku dan memeluknya. Air mataku keluar begitu saja
tanpa izinku.
“Ai....”
“Bukankah
dia menyuruhmu untuk pergi? Biarkan aku yang menemaninya” aku mendapati suara
Alex.
“Ini
urusanku dengan Airin. Bisakah kau keluar?”
“Tidak..
Airin mengharapkan aku yang datang bukan kau. Jadi, kau yang harusnya pergi!”
suara Alex meninggi
Aku
tak tahu bagaimana posisi mereka sekarang, namun aku merasakan bahwa Beni sudah
beranjak dari tempat tidurku sejak Alex membuka pintu tadi.
“Bagaimana
keadaanmu?” Alex duduk disampingku. Tanpa berpikir panjang aku langsung
memeluknya. Aku merasa sangat bodoh karena mengatakan hal yang seharusnya tidak
aku katakan pada Beni.
“Besok
aku akan kesini lagi. Kita perlu membicarakan ini” ucap Beni lalu melangkah
pergi.
Aku
tak melihatnya, aku terus memendamkan wajahku pada dada Alex. Ini lebih baik
untukku, aku bisa berteriak jika melihat Beni pergi dan tentunya aku akan
sangat malu.
***
Aku
sudah berhadapan dengan Beni. Ini adalah keadaan yang tak pernah aku harapkan.
Aku dan Beni bersahabat, seharusnya aku tak merasakan perasaan ini. Ini semua
salahku.
“Aku
tak menyalahkanmu Ai, tapi kau tahu bahwa aku sangat mencintai Sherly, bukan?”
aku tak menjawab. Aku hanya terus menunduk.
“Tak
ada yang bisa kita lakukan jika itu masalah hati.” Beni menarik nafas sejenak,
“Aku akan tetap menjadi sahabatmu, selalu dan selamanya” Beni mendekat padaku
dan memelukku.
Entah
mengapa mataku mulai meneteskan tangis. Entah mengapa juga hatiku merasa sakit
mendengar ucapannya. Ini memang salahku, namun aku juga tak tahu harus
bagaimana menanggapi ini.
“Aku
tahu, maafkan aku Ben” Aku langsung berdiri melepaskan pelukan Beni. “Aku harus
beristirahat, kau bisa pulang sekarang” tanpa mendengar panggilan Beni, aku
berjalan cepat menuju kamarku.
Ini
terlalu menyakitkan, melihatnya terlalu membuat hatiku sakit. Aku seharusnya
sadar bahwa Beni sangat mencintai kekasihnya, aku hanya seorang wanita yang
menjadi sahabatnya. Aku sekarang percaya bahwa tak akan ada persahabatan yang
kekal antara laki-laki dan perempuan, karena entah disadari atau tidak,
keduanya atau hanya salah satu dari mereka akan memiliki perasaan lebih dari
sahabat, cepat ataupun lambat.
***
Aku
merapihkan semua barang dimejaku, ku putuskan untuk mengundurkan diri hari ini.
Kantor ini terlalu tidak nyaman bagiku, ini adalah satu-satunya tempat yang
bisa mempertemukan aku dan Beni kapan saja dan itu tak pernah aku inginkan.
Sampai perasaan ini hilang, aku akan menjauh darinya, entah itu akan memakan
waktu yang sangat lama ataupun tidak, namun itulah yang terbaik bagiku saat
ini.
“Kau
yakin?” Alex bertanya padaku
“Sangat
yakin” jawabku lantang
Alex
membantuku membawakan semua barangku ke mobil. Aku sudah mendapat pekerjaan
baru, walau tidak setinggi jabatanku disini namun itu cukup untukku hidup.
Lebih baik aku bekerja sebagai karyawan biasa daripada aku menjadi manajer
namun hatiku tersiksa setiap harinya.
“Aku
akan mengunjungimu nanti malam” ucap Alex
Aku
mengangguk dan tersenyum padanya. “Aku akan masak yang paling enak”
“oke..
hati-hati di jalan. Hubungi aku jika kau sudah sampai rumah”
“Oke”
Aku
mengendarai mobilku sendiri sampai rumah. Hanya butuh waktu setengah jam dan
aku sudah sampai di rumah dengan selamat.
Aku
langsung merapihkan semua barang-barangku, namun tiba-tiba ponseku berdering.
“Hallo..”
“Kau
gila! Untuk apa kau keluar? Ai, kau tidak perlu melakukan semua ini hanya untuk
menghindariku. Kau dan aku bukan remaja lagi, kita bisa membicarakan ini. Apa
yang kau lakukan sekarang sungguh kekanakan! Aku akan kesana sekarang jadi diam
di rumah....”
“Tidak!”
aku menyela “Jangan sampai kau kesini, jangan pernah mendekatiku Ben. Aku minta
maaf, namun ini memang yang terbaik bagiku sekarang”
“Baik?
Baik kau bilang? Jangan hanya karena aku, kau mengorbankan karirmu seperti ini
Ai. Kau harus melihat laki-laki lain, Alex contohnya. Dia sangat mencintaimu,
kau seharusnya melihat dia bukan aku. Aku akan tetap kesana nanti!” telepon pun
terputus begitu saja.
Aku
menyandarkan tubuhku di sofa, mengatur nafasku yang tiba-tiba saja menderu.
Beni memang benar, mengapa aku tak pernah merasakan apapun untuk Alex? Padahal
dia yang selalu ada didekatku, padahal dia yang selalu mencintaiku tanpa
mengharapkan balasan apapun dariku. Haruskah aku membuka hatiku untuknya?
Hari
sudah mulai sore, aku mulai memasak untuk makan malam. Aku sudah putuskan untuk
menerima Alex saat ini, mungkin dengan begitu aku bisa melupakan Beni.
Jam
sudah menunjukan pukul tujuh malam dan suara mobil Alex sudah terdengar di
depan rumahku. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membukakan pintu.
“Aku
bahkan belum menekan bel nya” Ucap Alex
“Aku
bisa tahu itu kau hanya dengan mendengar suara mobilmu. Ayo masuk, aku sudah
membuat makanan yang banyak untukmu” aku menggandeng tangan Alex
“Airin....”
panggil Alex, “kau tidak salah makan?” Alex menoleh ke tangannya yang aku
pegang.
Aku
menggeleng dan menariknya untuk segera masuk.
“Airin,
kau baik-baik saja?” tanya Alex setelah kami sudah berdiri didepan meja makan.
“Mengapa
kau menanyakan hal-hal seperti itu?”
“Kau
memegang tanganku Airin, ini tidak seperti biasanya”
“Alex...
saat ini, aku putuskan untuk membuka hatiku untukmu” aku menatapnya
“Airin...”
Alex memegang kedua pipiku “Hanya karena kau tidak bisa bersama Beni, bukan
berarti kau sembarangan menerima laki-laki lain di hatimu. Cinta tak semudah
itu Airin”
Aku
menunduk sejenak lalu kembali menatapnya, “aku tahu, tapi Tuhan selalu
memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan apa yang kita inginkan. Mungkin
Tuhan memberikan anugerah kepadamu untuk mencintaiku karena aku membutuhkanmu.
Bisakah kau membantuku?”
“apa?”
“Ajari
aku cara mencintaimu” ucapku mantap
“Airin,
aku tak bisa mengajarimu, namun aku tetap bisa mencintaimu. Jadi, kau hanya
perlu menerimanya dan nanti saatnya tiba, kau akan bisa mencintaiku tanpa perlu
aku ajari apapun kepadamu”
Aku
memeluk Alex. Pelukannya selalu bisa membuatku tenang dan nyaman. Aku berdoa
bahwa Tuhan akan menganugerahkan cintaku untuknya suatu saat nanti, ya aku akan
mulai berdoa tentang itu sekarang.
“Bisakah
aku ikut makan?” suara Beni
Aku
melepas pelukanku pada Alex, “Beni...”
“Tentu..
kita semua satu kantor bukan” jawab Alex tanpa persetujuanku.
Kami
akhirnya makan dalam hening. Aku tak berani melihat Alex dan Beni. Jantungku
bisa saja mati jika berdetak sebegini cepatnya.
“Aku
perlu bicara dengan Airin. Bisakah kau meninggalkanku dengannya?” Beni bertanya
pada Alex
“Tentu...”
jawab Alex lalu mendekat padaku dan mencium keningku, “Aku akan berada di
teras, hubungi aku jika terjadi sesuatu”
Aku
sangat terkejut mendapat perlakuan seperti itu dari Alex. Namun, hal itu
membuat detak jantungku lebih tenang dan aku bisa bernafas seperti biasanya.
“Ada
apa antara kau dengan Alex?” tanya Beni saat Alex sudah terlihat menutup pintu
“Apa
itu yang ingin kau bicarakan?” tanyaku balik
“Tidak”
Beni berjalan dan duduk di sampingku, “Ai, aku benar-benar tak mengerti jalan
pikiranmu. Mengapa kau harus keluar dari kantor? Kau tahu posisimu disana sudah
sangat bagus”
“Aku
tak mementingkan posisi Ben, aku mementingkan hatiku. Apa kau pikir nyaman
bekerja saat hatimu sakit? Tidak Ben, aku tidak bisa seperti itu terus”
“Dan
kau memutuskan keluar dan menjalin hubungan dengan Alex? Itu terlalu cepat
Airin”
“Kau
yang menyuruhku Ben dan aku tak pernah ingin menjadi orang ketiga dalam
hubunganmu dengan Sherly. Bukankah kau bilang kau sanga mencintainya?”
“Tapi
tidak secepat ini dan kau meninggalkanku begitu saja. Kau membuatku hampa di
kantor dengan seperti ini Ai” Beni memegang kedua pipiku
“Ben,
kau tidak bisa mendapatkan seluruh hal yang kau inginkan di dunia ini. Kau
sudah mendapatkan Sherly dan itu berarti kau harus kehilanganku”
“Tidak!
Aku cabut kata-kataku tentang Alex. Berhentilah berhubungan dengannya!” Beni
memukul meja seraya berdiri.
“Ben
kau tidak bisa seegois itu. aku tak ingin dalam hubunganmu ada aku sebagai
orang ketiga dan aku juga tidak ingin dalam hubunganku ada kau sebagi orang
ketiga. Mungkin ini jalan bagi kita Beni. Hidup dengan kebahagiaan
masing-masing” aku ikut beridiri dan menatapnya
Tiba-tiba
saja Beni memelukku, “Kau sahabatku yang tak akan pernah aku lepaskan” beni
memelukku lebih erat
“Ben
lepas... Beni!” usahaku sia-sia, Beni tak melepaskannya
“Lepaskan
dia!!” Alex menarik lenganku dan dengan begitu aku langsung jatuh kepelukan
Alex. “Jika kau terus disini, kau hanya akan menyakitinya jadi aku mohon,
pergilah”
Tuhan
itu adil, ya aku percaya itu. Tuhan adil dalam menentukan kebahagiaan seseorang
dan Tuhan adil dalam memberikan sesuatu pada hamba-Nya. Aku tak mendapat
kebahagiaan yang aku inginkan, namun Tuhan memberikan kebahagiaan yang lebih
dari itu. Aku tak mendapatkan orang yang aku cintai, namun Tuhan memberikan
seseorang yang sangat mencintaiku. Mencintai seseorang memang membahagiakan,
namun dicintai lebih lah sangat bisa membuatku bahagia. Karena aku tak ingin
menjadi orang ketiga dalam hubungan sahabatku, aku harap Tuhan juga akan
menjauhkan orang ketiga dalam hubunganku, Amin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar