Senin, 31 Oktober 2016

[CERPEN] Orang Ketiga

ORANG KETIGA
Aku menatapnya lagi, melihat apa yang dimiliki dirinya sehingga aku benar-benar menjatuhkan hatiku padanya. Tidak, tak ada yang spesial dari dirinya, tidak ada, semuanya biasa saja. Dia hanya seorang Manajer Operasional disalah satu perusahaan di Jakarta, tingginya hanya sekitar 175 cm, kulitnya sawo matang, matanya sedikit sipit dan hidungnya bahkan tidak dapat dikatakan mancung, tapi mengapa aku begitu saja jatuh cinta pada orang seperti dia?.
            “Kau akan jatuh cinta padaku jika kau terus melihatku seperti itu, Airin” Beni mengibas-ibaskan tangannya tepat di depan mukaku.
            “terlalu percaya diri” aku mengalihkan pandanganku darinya.
            Beni tak pernah tahu isi hatiku, bahkan aku sendiri baru menyadarinya beberapa hari yang lalu. Aku sadar saat aku mulai merindukannya, mulai memperhatikannya dan saat aku mulai merasakan cemburu saat Ia sedang bersama Sherly, kekasihnya.

            “Hidup itu harus memiliki rasa percaya diri Ai”Beni mengusap-usap rambutku. Tidak, Ia mulai membuat jantungku berdebar lagi.
            “Ben, berhenti mengacak-acak rambutku!” Aku berdiri dan meninggalkannya duduk sendiri di kantin.
            Aku berjalan secepat yang aku bisa, aku tak ingin Beni mendengar detak jantungku, tidak, tidak sama sekali.
            “Ai.. Tunggu” Beni merangkulku dari belakang. “Jangan terlalu cepat marah, kapan kau akan memiliki kekasih jika sikapmu kekanakan seperti ini? Huh?”
            Aku berhenti dan menoleh untuk dapat menatapnya
            “Bahkan dengan sikapku yang kekanakan seperti ini sudah banyak laki-laki yang mengantri ingin menjadi kekasihku, Ben.” Aku bertolak pinggang
            “Oh My God! Really??... Yang mana? Aku tidak melihat satu pun yang mengantri” Beni menolah ke kanan dan kiri.
            “Kau akan merindukanku jika nanti aku memiliki kekasih, aku jamin itu! huh!” saat ini aku benar-benar berlari meninggalkan Beni.
            Aku menaiki tangga darurat agar tidak bertemu Beni di lift, entah mengapa aku kesal mendengar ucapannya tadi dan aku sama sekali sedang tidak ingin melihatnya.
            Aku bersahabat dengan Beni sudah hampir lima tahun sejak aku bekerja di kantor yang sama dengannya. Walau berbeda divisi kami terlalu sering bersama di beberapa rapat dan tugas, lalu persahabatan ini pun terjalin. Awal aku mengenalnya, Ia tidak memiliki kekasih, Sherly baru lima bulan hadir dalam kehidupan Beni sebagai kekasinya. Awalnya aku sangat mendukung hubungan mereka, namun beberapa hari ini aku merasa sangat sulit untuk melihat mereka berdua, terlalu sulit.
            “Kau naik tangga lagi?”
            “Astaghfirullah....” aku terkejut saat membuka pintu tangga darurat, “Hanya ingin berolahraga saja” jawabku pada Alex yang entah darimana ada di depan pintu.
            “Kasihanilah kakimu Airin. Kau menggunakan high heels, jika setiap hari kau naik tangga, kakimu akan penuh dengan luka”
            Mendengar ucapannya aku menunduk menatap kakiku dan tepat pada saat itu aku baru merasakan perih di tumit dan jari-jari kakiku.
            “Au...” rintihku saat aku menggerakan kakiku
            “see? Sakit kan? Kemari!” Alex menuntunku menuju pantry lalu menyuruhku duduk di salah satu kursi disana.
            Alex berlari kesalah satu lemari dan mengambil kotak P3K.
            “Lex, aku bisa melakukannya sendiri” ucapku
            “Aku tahu” Ia hanya menjawab seadanya, lalu membuka sepatuku dan aku melihat tumit dan ujung jari kakiku berdarah serta sedikit lebam.
            “Aku kira hanya lecet sedikit” gumamku
            Alex tak mendengarkanku, Ia sibuk dengan peralatannya untuk mengobati luka di kakiku. Alex adalah rekan kerjaku yang paling dekat denganku selain Beni.
            “Ada apa denganmu sebenarnya? Lihat sekarang kakimu terluka seperti ini. Untuk sementara berhenti menggunakan high heels, aku akan mencarikan sandal jepit untukmu” Alex merapihkan kotak P3K lalu menyimpannya kembali.
            “Tidak perlu, aku masih bisa menggunakan sepatu ini. Tidak terlalu sakit”
            Alex tak mendengarkanku, Ia justru berjalan keluar pantry.
***
            Aku berbaring diranjangku, menatap langit-langit kamarku yang penuh dengan hiasan bintang. Hiasan-hiasan itu dibuat oleh Beni. Jika semua hal yang ada dalam hidupku selalu berhubungan dengan Beni, bagaimana aku bisa melupakannya?
            Aku memikirkan hal-hal tentang perasaanku kepada Beni hinggal pagi hari, untung saja hari ini adalah hari sabtu dan aku libur. Mataku lelah tapi tak dapat tidur, aku merasa pusing dan kedinginan, sepertinya aku demam.
            Aku mengambil ponselku di meja kecil di samping tempat tidurku, aku mencari nama seseorang disana. Beni? Tidak, jangan hubungi dia, ini akan menambahku susah melupakan perasaan ini. Akhirnya aku putuskan menelpon Alex. Aku harus menelponnya hingga tiga kali sampai Ia mengangkat teleponnya.
            “Hallo...”
            “Lex, bisa kau ke rumahku? Sepertinya aku sakit.” Ucapku langsung secepat yang aku bisa setelah terdengar suara di sebrang telepon.
            “Kau sakit? Tunggu aku disana!” Telepon terputus begitu saja
            Mungkin aku benar-benar sakit, bahkan aku mendengar suara Alex seperti suara Beni. Apa yang harus aku lakukan? Aku bisa gila jika seperti ini terus.
            Sekitar lima belas menit aku menunggu, tiba-tiba aku mendengar langkah kaki yang terburu-buru.
            “Ai...” oh tidak! Beni “Mengapa kau bisa sakit seperti ini?” Beni mendekatiku yang masih terbaring lalu memegang keningku memastikan suhu tubuhku, “Kau benar-benar sakit”
            “Kemana Alex? Aku meneleponnya. Darimana kau tahu aku sakit?” tanyaku
            “Mengapa kau hanya menelepon Alex? Untung saja aku yang menjawab teleponmu tadi, jika tidak mungkin aku tidak akan tahu kau sakit” Beni membuka laci lemari kecil di samping tempat tidurku.
            Aku hanya diam, ini lebih baik karena semakin sering aku berbicara dengannya semakin kencang detak jantungku dan demamku bisa saja semakin tinggi.
            “Aku akan mengambil kompres dan obat-obatan di dapur. Jangan beranjak dari sana!” Beni keluar begitu saja dari kamarku.
            Saat Beni pergi, aku muali mengatur nafasku, sejak tadi aku seperti kehilangan oksigen. “Sial! Mengapa jantungku harus berdetak seperti ini?”
            Aku buru-buru menutup tubuhku dengan selimut saat Beni kembali memasuki kamarku.
            “Duduk! Minumlah obat ini terlebih dahulu”
            Aku menurutinya, minum obat lalu berbaring lagi dan menarik selimutku lagi.
            Kami hanya diam tak ada yang membuka percakapan. Beni sibuk merapihkan letak kain kompres di kepalaku dan merapihkan selimutku.
            “Ada apa dengan kakimu?” tanyanya saat ia melihat kakiku menerima bebera plester dan lebam.
            “Hanya lecet sedikit. Kau tahu wanita suka memakai high heels walau menyakiti kaki mereka bukan?” jawabku sesantai mungkin.
            “Ini pertama kalinya kakimu terluka karena hal yang kau lakukan selama lima tahun ini. Itu tidak masuk akal Ai” Beni menatapku tajam.
            Tidak, tidak, jantungku oh Tuhan.
            “Ben, sebaiknya kau pulang. Aku sudah lebih baik.”
            “Kau mengusirku? Ai, sebenarnya ada apa denganmu? Mengapa kau aneh beberapa hari ini? Apa aku berbuat salah?” Beni duduk di pinggir tempat tidurku.
            Aku memejamkan mataku sejenak, mengatur nafasku dan meyakinkan diriku.
            “Tidak bukan kau yang salah Ben, aku yang salah. Jadi aku mohon untuk sementara ini jangan muncul dihadapanku. Ini, ini akan lebih sulit jika kau terus berada disekitarku.” Aku duduk dan menatapny. Oh Tuhan, detak jangtungku!
            “Apa maksudmu? Kesalahan apa yang kau lakukan Ai? Katakan padaku, aku akan selalu memaafkan apapun salahmu bukan? Kita sudah dewasa Ai” Beni memegang kedua lenganku.
            “Aku menyukaimu Ben! Aku mulai jatuh cinta padamu! Itu yang membuatku merasa tidak nyaman berada didekatmu! Jadi aku mohon pergilah Ben. Aku ingin sendiri saja disini!” aku menekuk lututku dan memeluknya. Air mataku keluar begitu saja tanpa izinku.
            “Ai....”
            “Bukankah dia menyuruhmu untuk pergi? Biarkan aku yang menemaninya” aku mendapati suara Alex.
            “Ini urusanku dengan Airin. Bisakah kau keluar?”
            “Tidak.. Airin mengharapkan aku yang datang bukan kau. Jadi, kau yang harusnya pergi!” suara Alex meninggi
            Aku tak tahu bagaimana posisi mereka sekarang, namun aku merasakan bahwa Beni sudah beranjak dari tempat tidurku sejak Alex membuka pintu tadi.
            “Bagaimana keadaanmu?” Alex duduk disampingku. Tanpa berpikir panjang aku langsung memeluknya. Aku merasa sangat bodoh karena mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan pada Beni.
            “Besok aku akan kesini lagi. Kita perlu membicarakan ini” ucap Beni lalu melangkah pergi.
            Aku tak melihatnya, aku terus memendamkan wajahku pada dada Alex. Ini lebih baik untukku, aku bisa berteriak jika melihat Beni pergi dan tentunya aku akan sangat malu.
***
            Aku sudah berhadapan dengan Beni. Ini adalah keadaan yang tak pernah aku harapkan. Aku dan Beni bersahabat, seharusnya aku tak merasakan perasaan ini. Ini semua salahku.
            “Aku tak menyalahkanmu Ai, tapi kau tahu bahwa aku sangat mencintai Sherly, bukan?” aku tak menjawab. Aku hanya terus menunduk.
            “Tak ada yang bisa kita lakukan jika itu masalah hati.” Beni menarik nafas sejenak, “Aku akan tetap menjadi sahabatmu, selalu dan selamanya” Beni mendekat padaku dan memelukku.
            Entah mengapa mataku mulai meneteskan tangis. Entah mengapa juga hatiku merasa sakit mendengar ucapannya. Ini memang salahku, namun aku juga tak tahu harus bagaimana menanggapi ini.
            “Aku tahu, maafkan aku Ben” Aku langsung berdiri melepaskan pelukan Beni. “Aku harus beristirahat, kau bisa pulang sekarang” tanpa mendengar panggilan Beni, aku berjalan cepat menuju kamarku.
            Ini terlalu menyakitkan, melihatnya terlalu membuat hatiku sakit. Aku seharusnya sadar bahwa Beni sangat mencintai kekasihnya, aku hanya seorang wanita yang menjadi sahabatnya. Aku sekarang percaya bahwa tak akan ada persahabatan yang kekal antara laki-laki dan perempuan, karena entah disadari atau tidak, keduanya atau hanya salah satu dari mereka akan memiliki perasaan lebih dari sahabat, cepat ataupun lambat.
***
            Aku merapihkan semua barang dimejaku, ku putuskan untuk mengundurkan diri hari ini. Kantor ini terlalu tidak nyaman bagiku, ini adalah satu-satunya tempat yang bisa mempertemukan aku dan Beni kapan saja dan itu tak pernah aku inginkan. Sampai perasaan ini hilang, aku akan menjauh darinya, entah itu akan memakan waktu yang sangat lama ataupun tidak, namun itulah yang terbaik bagiku saat ini.
            “Kau yakin?” Alex bertanya padaku
            “Sangat yakin” jawabku lantang
            Alex membantuku membawakan semua barangku ke mobil. Aku sudah mendapat pekerjaan baru, walau tidak setinggi jabatanku disini namun itu cukup untukku hidup. Lebih baik aku bekerja sebagai karyawan biasa daripada aku menjadi manajer namun hatiku tersiksa setiap harinya.
            “Aku akan mengunjungimu nanti malam” ucap Alex
            Aku mengangguk dan tersenyum padanya. “Aku akan masak yang paling enak”
            “oke.. hati-hati di jalan. Hubungi aku jika kau sudah sampai rumah”
            “Oke”
            Aku mengendarai mobilku sendiri sampai rumah. Hanya butuh waktu setengah jam dan aku sudah sampai di rumah dengan selamat.
            Aku langsung merapihkan semua barang-barangku, namun tiba-tiba ponseku berdering.
            “Hallo..”
            “Kau gila! Untuk apa kau keluar? Ai, kau tidak perlu melakukan semua ini hanya untuk menghindariku. Kau dan aku bukan remaja lagi, kita bisa membicarakan ini. Apa yang kau lakukan sekarang sungguh kekanakan! Aku akan kesana sekarang jadi diam di rumah....”
            “Tidak!” aku menyela “Jangan sampai kau kesini, jangan pernah mendekatiku Ben. Aku minta maaf, namun ini memang yang terbaik bagiku sekarang”
            “Baik? Baik kau bilang? Jangan hanya karena aku, kau mengorbankan karirmu seperti ini Ai. Kau harus melihat laki-laki lain, Alex contohnya. Dia sangat mencintaimu, kau seharusnya melihat dia bukan aku. Aku akan tetap kesana nanti!” telepon pun terputus begitu saja.
            Aku menyandarkan tubuhku di sofa, mengatur nafasku yang tiba-tiba saja menderu. Beni memang benar, mengapa aku tak pernah merasakan apapun untuk Alex? Padahal dia yang selalu ada didekatku, padahal dia yang selalu mencintaiku tanpa mengharapkan balasan apapun dariku. Haruskah aku membuka hatiku untuknya?
            Hari sudah mulai sore, aku mulai memasak untuk makan malam. Aku sudah putuskan untuk menerima Alex saat ini, mungkin dengan begitu aku bisa melupakan Beni.
            Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan suara mobil Alex sudah terdengar di depan rumahku. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membukakan pintu.
            “Aku bahkan belum menekan bel nya” Ucap Alex
            “Aku bisa tahu itu kau hanya dengan mendengar suara mobilmu. Ayo masuk, aku sudah membuat makanan yang banyak untukmu” aku menggandeng tangan Alex
            “Airin....” panggil Alex, “kau tidak salah makan?” Alex menoleh ke tangannya yang aku pegang.
            Aku menggeleng dan menariknya untuk segera masuk.
            “Airin, kau baik-baik saja?” tanya Alex setelah kami sudah berdiri didepan meja makan.
            “Mengapa kau menanyakan hal-hal seperti itu?”
            “Kau memegang tanganku Airin, ini tidak seperti biasanya”
            “Alex... saat ini, aku putuskan untuk membuka hatiku untukmu” aku menatapnya
            “Airin...” Alex memegang kedua pipiku “Hanya karena kau tidak bisa bersama Beni, bukan berarti kau sembarangan menerima laki-laki lain di hatimu. Cinta tak semudah itu Airin”
            Aku menunduk sejenak lalu kembali menatapnya, “aku tahu, tapi Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan apa yang kita inginkan. Mungkin Tuhan memberikan anugerah kepadamu untuk mencintaiku karena aku membutuhkanmu. Bisakah kau membantuku?”
            “apa?”
            “Ajari aku cara mencintaimu” ucapku mantap
            “Airin, aku tak bisa mengajarimu, namun aku tetap bisa mencintaimu. Jadi, kau hanya perlu menerimanya dan nanti saatnya tiba, kau akan bisa mencintaiku tanpa perlu aku ajari apapun kepadamu”
            Aku memeluk Alex. Pelukannya selalu bisa membuatku tenang dan nyaman. Aku berdoa bahwa Tuhan akan menganugerahkan cintaku untuknya suatu saat nanti, ya aku akan mulai berdoa tentang itu sekarang.
            “Bisakah aku ikut makan?” suara Beni
            Aku melepas pelukanku pada Alex, “Beni...”
            “Tentu.. kita semua satu kantor bukan” jawab Alex tanpa persetujuanku.
            Kami akhirnya makan dalam hening. Aku tak berani melihat Alex dan Beni. Jantungku bisa saja mati jika berdetak sebegini cepatnya.
            “Aku perlu bicara dengan Airin. Bisakah kau meninggalkanku dengannya?” Beni bertanya pada Alex
            “Tentu...” jawab Alex lalu mendekat padaku dan mencium keningku, “Aku akan berada di teras, hubungi aku jika terjadi sesuatu”
            Aku sangat terkejut mendapat perlakuan seperti itu dari Alex. Namun, hal itu membuat detak jantungku lebih tenang dan aku bisa bernafas seperti biasanya.
            “Ada apa antara kau dengan Alex?” tanya Beni saat Alex sudah terlihat menutup pintu
            “Apa itu yang ingin kau bicarakan?” tanyaku balik
            “Tidak” Beni berjalan dan duduk di sampingku, “Ai, aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu. Mengapa kau harus keluar dari kantor? Kau tahu posisimu disana sudah sangat bagus”
            “Aku tak mementingkan posisi Ben, aku mementingkan hatiku. Apa kau pikir nyaman bekerja saat hatimu sakit? Tidak Ben, aku tidak bisa seperti itu terus”
            “Dan kau memutuskan keluar dan menjalin hubungan dengan Alex? Itu terlalu cepat Airin”
            “Kau yang menyuruhku Ben dan aku tak pernah ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganmu dengan Sherly. Bukankah kau bilang kau sanga mencintainya?”
            “Tapi tidak secepat ini dan kau meninggalkanku begitu saja. Kau membuatku hampa di kantor dengan seperti ini Ai” Beni memegang kedua pipiku
            “Ben, kau tidak bisa mendapatkan seluruh hal yang kau inginkan di dunia ini. Kau sudah mendapatkan Sherly dan itu berarti kau harus kehilanganku”
            “Tidak! Aku cabut kata-kataku tentang Alex. Berhentilah berhubungan dengannya!” Beni memukul meja seraya berdiri.
            “Ben kau tidak bisa seegois itu. aku tak ingin dalam hubunganmu ada aku sebagai orang ketiga dan aku juga tidak ingin dalam hubunganku ada kau sebagi orang ketiga. Mungkin ini jalan bagi kita Beni. Hidup dengan kebahagiaan masing-masing” aku ikut beridiri dan menatapnya
            Tiba-tiba saja Beni memelukku, “Kau sahabatku yang tak akan pernah aku lepaskan” beni memelukku lebih erat
            “Ben lepas... Beni!” usahaku sia-sia, Beni tak melepaskannya
            “Lepaskan dia!!” Alex menarik lenganku dan dengan begitu aku langsung jatuh kepelukan Alex. “Jika kau terus disini, kau hanya akan menyakitinya jadi aku mohon, pergilah”
            Tuhan itu adil, ya aku percaya itu. Tuhan adil dalam menentukan kebahagiaan seseorang dan Tuhan adil dalam memberikan sesuatu pada hamba-Nya. Aku tak mendapat kebahagiaan yang aku inginkan, namun Tuhan memberikan kebahagiaan yang lebih dari itu. Aku tak mendapatkan orang yang aku cintai, namun Tuhan memberikan seseorang yang sangat mencintaiku. Mencintai seseorang memang membahagiakan, namun dicintai lebih lah sangat bisa membuatku bahagia. Karena aku tak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan sahabatku, aku harap Tuhan juga akan menjauhkan orang ketiga dalam hubunganku, Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar